Kantin ramah lingkungan di Bambankerep, Semarang, Jawa Tengah, menggunakan gas metana yang dihasilkan dari tempat pembuangan sampah serta menerima pembayaran dengan sampah plastik.

Semarang, JAWA TENGAH. Kantin sederhana yang terletak pada jalur masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang tidak menggunakan uang sebagai transaksi jual beli, melainkan sampah plastik.

Kantin Gas Metan dikelola pasangan suami istri, Sarimin (52) dan Suyatmi (47), yang sebelumnya berprofesi sebagai pemulung mencari rongsok di TPA Jatibarang, sejak tahun 2014 silam.

Penggagasnya adalah Agus Junaidi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah TPA Jatibarang.

“Idenya muncul ketika iseng menyulut korek di atas galian timbunan sampah, lalu bisa keluar api biru. Kalau malam pun, petugas sering membakar ubi menggunakan gas metana tersebut,” ungkap Agus kepada Ekuatorial, Rabu (31/10).

Gas metana muncul dari sampah yang tertimbun di TPA selama bertahun-tahun.

Lebih lanjut, Agus mengatakan bahwa setiap satu meter kubik gas metana setara dengan energi yang dihasilkan 0,48 kg elpiji.

TPA Jatibarang, yang memiliki luas 46 hektar, berpotensi menghasilkan gas metana dengan kapasitas 72 meter kubik per sumur, dari total sepuluh sumur, yang kemudian disalurkan ke 100 rumah warga di Dusun Bambankerep, Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang sebagai alternatif bahan bakar memasak setiap hari.

Citra Sateli lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA Jatibarang, Kota Semarang, Jawa Tengah.

“Pertimbangannya sederhana, saya hanya ingin membantu warga sekitar TPA agar bisa memanfaatkan gas metana ini secara cuma-cuma untuk bahan bakar masak. Apalagi gas metana ini berbahaya kalau terlepas ke udara, jadi lebih baik dimanfaatkan,” lanjut Agus.

Biaya penyaluran gas metana ke rumah warga didanai oleh anggaran APBD sebesar hampir Rp 200 juta untuk membangun instalasi, antara lain blower, pengadaan dan pemasangan pipa sepanjang 1,2 kilometer, serta pemberian kompor bagi 100 kepala keluarga.

Suyatmi, yang ditawari mengelola kantin berbayar sampah, mengatakan api yang dihasilkan oleh gas metana berwarna biru dan cepat matang untuk memasak, sama halnya dengan gas elpiji.

“Sama sekali tidak bikin langes (hitam) alat masak. Kompor yang digunakan juga khusus. Kalau mau masak tinggal buka keran pipa (gas),” kata Suyatmi yang membuka kantinnya mulai dari pukul lima pagi hingga sembilan malam.

Awalnya, Suyatmi dan suaminya hanya menerima sampah plastik sebagai alat pembayaran, meskipun kini mereka juga mulai menerima rongsok logam dan kertas.

Para konsumen yang didominasi oleh para pemulung sampah di TPA Jatibarang, bisa mencatatkan bon dan tagihan dibayar apabila sampah yang ditimbang sesuai dengan harga makanan.

“Dulu ribet, tiap orang mau makan di sini sampahnya ditimbang dulu. Sekarang tinggal catat bon, setor sampah lalu dihitung masih ada berapa selisihnya,” kata Suyatmi, kepada Ekuatorial, Rabu (31/10).

Satu kilogram sampah plastik dihargai Rp1.000, sampah kertas Rp1.500 dan kardus Rp1.100 di kantin tersebut. Sementara, harga makanan yang disediakan berkisar antara Rp 6.000 hingga Rp11.000. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sampah yang terkumpul dari para pelanggan kantin diambil dua kali dalam sepekan oleh pengepul dari luar kota, seperti Demak dan Kudus.

“Sekali diambil (pengepul), bisa dapat lebih dari satu juta rupiah malah kadang sampai dua juta rupiah,” jelasnya.

Ia mengatakan bisa mendapatkan penghasilan bersih sekitar lima juta per bulan dan membiayai kuliah kedua putranya.

“Alhamdulillah semua berkat sampah,” lanjutnya.

Selain menguntungkan secara ekonomi, pemanfaatan gas metana juga dirasakan oleh warga Dusun Bambankerep yang mengalami pemutusan gas sementara akibat pengerjaan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) TPA Jatibarang.

“Gas metana dari TPA biasanya untuk merebus air. Sebelum ada gas dari TPA, satu tabung elpiji tiga kilogram bisa habis satu minggu. Jadi, suplai gas metana ini bisa menghemat pengeluaran,” kata Agusmanto, salah satu warga Dusun Bambankerep.

Suprapto, salah seorang pengawas lapangan TPA Jatibarang, mengatakan bahwa aliran gas ke rumah warga hanya dihentikan sementara karena adanya kegiatan penataan lahan untuk PLTSa, termasuk sumur-sumur yang mengeluarkan gas.

“Nanti kalau proyek PLTSa sudah selesai akan disalurkan kembali gas metana ke rumah-rumah warga,” kata Suprapto.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, Semarang dan 11 kota lainnya, — DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang dan Manado –, menjadi kota percontohan dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) untuk menghasilkan energi.

Proyek pembangunan PLTSa TPA Jatibarang memakan total biaya hingga Rp71 miliar, — dana hibah Pemerintah Denmark Rp44 miliar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp18 miliar dan Pemerintah Kota Semarang Rp9 miliar –, dikerjakan oleh kontraktor dari Malaysia.

Anggaran digunakan untuk pembuatan landfill, tempat pengolahan sampah menjadi gas metana untuk menggerakkan turbin hingga menghasilkan energi listrik dengan kekuatan 0,8 Megawatt.

Ia mengatakan bahwa ada dua teknologi yang dikembangkan terkait dengan PLTSa TPA Jatibarang, yaitu teknologi landfill gas, mengubah gas metana sampah menjadi energi listrik melalui turbin, dan insinerator berkapasitas 12 megawatt.

“Insinerator itu teknologi tinggi dan tidak menghabiskan lahan, tapi signifikan mampu mengurangi sampah sampai 90 persen. Sedangkan, teknologi pemanfaatan gas metana tidak mengurangi sampah, namun bisa mengurangi polusi udara,” jelasnya.

Untuk PLTSa tenaga turbin direncanakan mulai beroperasi pada April 2019, sementara insinerator ditargetkan mulai berjalan pada Januari 2019.

Winardi Dwi Nugraha, pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro, Kota Semarang mengatakan bahwa PLTSa menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi persoalan sampah padat.

“Saya kira pembakaran sampah menjadi energi dengan insinerator ini sudah tidak ada emisi maupun limbah abu yang sekiranya membahayakan lingkungan, sebab teknologi pembakaran bersuhu tinggi,” jelas Winardi.

Sementara, Yuyun Ismawati, Senior Advisor Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), mengatakan bahwa lebih dari 30 persen hasil pembakaran sampah, termasuk dengan teknologi insinerator, akan menghasilkan abu berupa fly ash dan bottom ash.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), kedua abu pembakaran tersebut digolongkan sebagai limbah B3 dan harus diolah di fasilitas pengelolaan limbah B3.

“Jika PLTSa akan dibangun di 12 kota sesuai Perpres No 35/2018, maka kota-kota tersebut harus juga dilengkapi dengan TPA limbah B3 yang memenuhi standar TPA Kelas 1,” ujar Yuyun.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan bahwa sampah menjadi masalah serius Kota Semarang, terutama sampah plastik.

“Dengan berbagai inovasi yang terus kami inisiasi, TPA Jatibarang ke depan bahkan dapat menjadi sumber dari berbagai energi terbarukan di Kota Semarang. Setidaknya kami tengah menyiapkan pengolahan sampah di TPA untuk bisa menghasilkan tiga jenis energi, yaitu energi gas, listrik, dan bahan bakar kendaraan bermotor,” jelas Hendrar.

About the writer

Hartatik

Hartatik is an editor at Suara Merdeka daily newspaper, based in Semarang City, Central Java, and has 14 years of experience as a journalist. She has an interest in covering environmental issues, climate...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.