Pembabatan mangrove seluas 110 hektar di Desa Sungai Sayang menggerus penghasilan nelayan dan perburuk dampak krisis iklim terhadap masyarakat pesisir.

Dampak pembabatan mangrove terasa pada pertengahan Desember 2023, ketika hujan turun bersama air laut pasang. Orang-orang pesisir berhamburan, berjibaku mengusung tanah dari tepian sungai.

Mereka menumpuknya di tepi jalan menjadi benteng air. Para perempuan membawa tanah dengan karung. Para lelaki mendorong lori berisi tanah. Namun, air yang ganas tetap menerabas tanggul, lalu menyebar dengan cepat. 

“Air naik, buat tanggul! Jangan sampai jalan kita tenggelam,” teriak Ambo Angke (48), warga Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjab Timur, Jambi, kala melihat air telah sampai di bibir jalan. 

Satu-satunya akses jalan untuk keluar dari desa itu telah tenggelam. Beberapa sepeda motor yang melintas mengalami gangguan mesin dan akhirnya mogok. Tinggi genangan air nyaris sepinggang orang dewasa. 

Rumah-rumah yang memiliki tiang tinggi aman dari jangkauan air. Sementara rumah tanpa tiang, bangunan sekolah, dan tempat ibadah, terendam banjir rob. Makam warga lokal yang sakral pun ditelan banjir. 

“Belum pernah air sebesar itu. Bangunan sekolah dan rumah ibadah juga terendam,” kata Ambo Angke saat menceritakan banjir di pantai Desa Sungai Sayang, yang juga terjadi awal Februari 2023. 

Desa Sungai Sayang memang berada di pesisir bagian timur Pulau Sumatra. Jaraknya dengan bibir pantai kini tak sampai satu kilometer. Sungai terbesar yang melintas di desa itu berasal dari Laut Natuna atau China Selatan. 

Banjir melanda desa ini berawal dari perusahaan tak bertanggung jawab menebang mangrove seluas 110 hektare (ha) pada Mei 2022. Padahal, mangrove berfungsi membentengi desa dari terjangan ombak laut.

“Kami orang pesisir berteman dengan laut. Tapi karena mangrove yang ditebang, pelindung pun hilang. Bencana yang datang,” kata Ambo Angke. 

Deforestasi dan alih fungsi lahan untuk permukiman, perkebunan, pertanian, dan tambak, telah mengurangi tingkat kerapatan mangrove di pesisir timur Provinsi Jambi. 

Menurut data studi kerapatan mangrove yang dikeluarkan Achmad dkk. dari Universitas Jambi, ukuran kerapatan mangrove pada 1989 yang sangat tinggi seluas 7.151,31 ha, kerapatan sedang 308,95 ha, dan rendah 300,13 ha. 

Setelah pembukaan mangrove besar-besaran untuk perkebunan sawit pada tahun 2000, mangrove dengan kerapatan tinggi menghilang 2.925,11 ha. Hampir dua dekade kemudian, tutupan mangrove tersisa 2.076,44 ha.

Daerah dengan laju kehilangan mangrove tertinggi adalah Kecamatan Sadu dan Sabak Timur, Kabupaten Tanjab Timur. 

“Kawasan mangrove dengan deforestasi tinggi, maka terjadi pengurangan daratan (abrasi),” tulis Achmad dalam jurnal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan Universitas Jambi. 

Infografis kerapatan Mangrove
Studi kerapatan mangrove memengaruhi perubahan garis pantai. Infografis: Suwandi/Kompas

Warga yang hidup di pesisir laut, 80 persen menggantungkan hidup pada kebun kelapa, sisanya nelayan. Ambo Angke mengenang pada tahun 2008 saat masif alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit berdampak pada lahan kelapa seluas 2.000 ha di Desa Alang Alang, Kecamatan Sabak Timur, yang mati.

Hal itu terjadi lantaran air laut merendam pohon kelapa dalam waktu yang lama. Bahkan, untuk tanaman kelapa yang terendam dan masih hidup, produktivitasnya menurun sekitar 30-35 persen. 

“Kami khawatir air laut kembali merendam kebun kelapa. Kebun kelapa menjadi harapan ketika nelayan sudah susah cari ikan,” kata Ambo Angke. 

Sementara, Kabid Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tanjab Timur, Hardani, mengatakan, ekonomi daerah masih ditopang perkebunan kelapa, sawit, dan perikanan. Luas perkebunan kelapa mencapai 50.342 ha. Sementara produksinya mencapai 57.295 ton. Perkebunan kelapa melibatkan 22.862 kepala keluarga. 

“Persoalan petani kelapa memang air pasang. Untuk mencegah air laut merusak kebun warga, kita luncurkan program tata air mikro,” kata dia. 

Memperburuk abrasi 

Abrasi di Kecamatan Sadu terus mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut Achmad, abrasi di daerah ini sama dengan abrasi di Bekasi, Jawa Barat, sekitar 35 meter persegi setiap tahun. Kondisi ini diperparah oleh penebangan mangrove pada 2022. 

Warga Sungai Sayang mengerti hantaman air laut bertubi-tubi yang saban hari mengikis daratan. Untuk itu, mereka membiarkan mangrove hidup alami. Kampung dibuka jauh ke dalam. Jaraknya lebih dari 1 kilometer. 

Untuk daerah lain yang berada di pesisir timur masih dilindungi pulau-pulau kecil seperti Berhala dan Kepulauan Lingga. Pulau-pulau yang mengelilingi daerah itu menjadi pemecah ombak alami. Sehingga relatif aman dari gelombang tinggi. Sementara desa-desa yang berada di Kecamatan Sadu tak seberuntung itu karena menantang laut lepas yang ganas, termasuk Desa Sungai Sayang. 

Memang ekosistem mangrove di garis pantai Kecamatan Sadu tidak termasuk kawasan lindung. Mangrove yang berstatus kawasan lindung adalah cagar alam pantai timur dari Kecamatan Mendahara-Nipah Panjang seluas 4.126,60 ha, kawasan ekosistem esensial Pantai Cemara seluas 450 ha, dan Taman Nasional Berbak seluas 162.700 ha. 

Oleh karena itu perusahaan, maupun pribadi, membabat mangrove tanpa batas untuk kepentingan perkebunan sawit dan kelapa. Ketika berada di tepi pantai Sungai Sayang, Ambo Angke menunjuk kayu-kayu mati yang berada jauh di laut. 

“Daratan setahun lalu itu berada di situ. Sekarang sudah tenggelam dan air sudah sampai ke sini,” kata Ambo Angke. 

Penebangan mangrove tidak hanya mengancam Desa Sungai Sayang, tapi juga lima desa lainnya, yaitu Desa Cemara, Desa Sungai Itik, Desa Jambat, Desa Air Hitam Laut, dan Desa Remau Baku Tuo. 

Kami orang pesisir berteman dengan laut. Tapi karena mangrove yang ditebang, pelindung pun hilang. Bencana yang datang.

Ambo Angke

Ambo Angke yang merupakan keturunan Bugis ini menceritakan, pada tahun 2008 warga Desa Cemara ramai-ramai pindah dari kampung dan direlokasi pemerintah karena sebagian besar wilayah mereka telah tenggelam. 

Air tidak hanya menenggelamkan rumah, tetapi ratusan hektare kebun kelapa. Puing-puing bekas pemukiman masih terlihat di bibir pantai. 

Dampak abrasi mengkristal dalam benak setiap orang di pesisir, termasuk Tomi (40), seorang nelayan yang tinggal di Sungai Lokan. Rumahnya berjarak 10 kilometer dari Sungai Sayang.

Dia ingat betul ketika gudang kelapa miliknya berdiri jauh dari laut. Namun, belum genap satu dekade, kini nyaris terendam air. Gudang Tomi letaknya di Air Hitam Laut, sekitar 15 kilometer ke arah selatan Desa Sungai Sayang. 

“Gudang saya di Air Hitam Laut itu dulu jaraknya lebih dari 100 meter dari tepi laut. Kini air sudah menerjang dinding-dindingnya,” kata Tomi. 

Untuk mengamankan gudang warisan orang tua dari terjangan ombak, Tomi membangun tanggul dengan menumpuk karung berisi pasir. Tanggul yang dibangun terasa padat dan kuat. Namun, dalam semalam lenyap disapu air ke laut lepas. 

Terjangan ombak saban hari membuat Tomi menderita kerugian. Kelapa kering yang sudah siap jual rusak terkena air laut. Kini gudang pindah ke lokasi baru di Sungai Lokan yang berada jauh dari tepi laut. Gudang yang lama dibiarkan hancur dilumat laut. 

Mangrove pelindung daratan 

Suyadi dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan, hutan mangrove melindungi ekosistem perairan, pantai, dan daratan. 

“Mangrove membantu manusia untuk mendapatkan iklim dan cuaca yang paling aman untuk mencegah bencana,” kata Suyadi. 

Selain itu, mangrove membentengi masyarakat pesisir dari abrasi dan gelombang besar, termasuk tsunami. Bahkan secara ekologi, sebagai tempat berkembang biak kepiting, ikan dan udang. Termasuk menangkap sedimen untuk membentuk daratan. 

Selain itu, stok karbon di hutan mangrove sekitar 1.023-1.083 metrik ton setiap 1 hektare. Artinya, mangrove dapat menyerap ekuivalen karbon dioksida (CO2e) sampai 3.754-3.975 metrik ton setiap hektarenya. 

Dengan kehilangan mangrove seluas 110 ha, maka potensi kehilangan serapan karbonnya mencapai 437.250 metrik ton. 

“Kalau mangrove terbuka, tentu akan melepas karbon. Itu berdampak langsung terhadap perubahan iklim,” kata dia. 

Annisa Fauziah, Koordinator Bidang Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi menuturkan, wilayah pantai timur telah berubah. 

Saat ini, pihaknya saban hari memberikan peringatan dini cuaca ekstrem, terutama periode Desember-Juni 2022-2023. Bentuk cuaca ekstrem ini beragam, mulai dari angin kencang sampai gelombang tinggi.

Pada periode 2015-2020, tren kenaikan gelombang laut terus berubah. Terkadang mencapai 6-8 meter. Begitu juga dengan kecepatan angin, senantiasa berada di atas rata-rata, mencapai 30-40 km/jam. “Normalnya itu 10 km/jam,” kata dia. 

Selain itu, tren suhu bulanan terus menghangat sekitar 0,185oC secara akumulatif 10 tahun terakhir. Semakin terbukanya mangrove di pantai timur, maka akan terus berkontribusi terhadap seringnya terjadi cuaca ekstrem seperti angin kencang, gelombang tinggi, dan petir, serta membuat masyarakat pesisir semakin rentan terhadap dampak krisis iklim. 

Rumah kepiting yang genting 

Di antara Desa Sungai Sayang dan pantai Laut Natuna, hutan mangrove telah hilang ratusan hektare. Lahan gundul itu menyisakan genangan air dan daratan yang ditumbuhi rumput liar. 

Pohon-pohon mangrove yang tumbang membusuk terendam air, adapula yang kering terpanggang sinar mentari. Semakin ke ujung lahan, desau angin menguat dan debur ombak terdengar. 

Norma (37), salah satu warga Desa Sungai Sayang menuturkan, di tempat ini dia mencari kepiting dan udang sebelum hutan mangrove ditebang. Dalam waktu lima jam, Norma mampu mendapatkan udang sebanyak 20 kilogram. 

“Pergi habis magrib, pulang sebelum tengah malam,” kata Norma. Namun kini, di lahan yang sama tanpa mangrove, dia hanya mampu mendapatkan udang 5 kg dengan durasi mulai tengah hari sampai sebelum tengah malam. 

Kerusakan mangrove yang telah terjadi hampir setahun membuat keluarga Norma ingin meninggalkan profesi sebagai nelayan. Keluarga kecil nelayan ini sedang mengumpulkan modal untuk membeli tanah. Suami Norma juga terpaksa melaut lebih jauh untuk mendapatkan ikan. 

Untuk mencari ikan, kata Norma, suaminya membutuhkan biaya besar. Mereka mengeluarkan uang lebih dari Rp500.000 setiap melaut. Sementara pendapatan hanya berkisar Rp700.000. Selisih antara pendapatan dan pengeluaran yang begitu kecil membuat mimpi beralih profesi menjadi petani kelapa harus dilupakan. 

Selain itu, waktu melaut nelayan kini lebih pendek. Selain diganggu angin kencang dan gelombang tinggi, mereka mengalami fase “laut mati”. Fase ketika pada waktu tertentu arus bawah tak menalir di lautan, sehingga nelayan kesulitan menjaring ikan.

Ketika tidak bisa melaut karena cuaca ekstrem, Norma biasanya pergi ke hutan mangrove mencari kepiting dan udang. Harganya lumayan, ukuran besar dan bisa laku Rp100.000-Rp 120.000 per kg. Sementara ukuran sedang sekitar Rp80.000/kg. 

“Setelah hutan mangrove ditebang, kami nelayan melaut lebih jauh. Modal banyak keluar, dapatnya untung-untungan, risiko juga tinggi,” kata Norma. 

Norma berharap pemerintah memberikan bantuan modal. Pendapatan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan menambal biaya pendidikan anak. 

Hal yang sama dialami Tomi. Nelayan di Sungai Lokan ini juga merasakan dampak cuaca ekstrem di laut. Tidak hanya gelombang tinggi, kesulitan lain di saat laut mati. 

“Gelombang tinggi sulit mencari ikan. Kalau laut mati (tanpa arus) juga tidak ada ikan,” kata Tomi. 

Awal mula petaka 

Kondisi sejumlah desa di Kecamatan Sadu sangat miris. Padahal, sudah tiga kali ganti bupati. Daerah ini termasuk daerah tertinggal dan terisolasi. Hal ini juga tampak dari infrastruktur jalan yang masih buruk. 

Arie Suryanto, pendiri Komunitas Cinta Hijau Pesisir Indonesia (KCHPI) menuturkan, penebangan mangrove seluas 110 hektare bermula ketika S, salah satu karyawan bagian kebun PT EWF yang mewakili perusahaan, membeli lahan warga. 

Sebanyak 30 warga yang memiliki lahan seluas 130 ha, ramai-ramai menjual tanah dengan harga bervariasi dengan total harga mencapai Rp5,28 miliar. Pembayaran dicicil sembilan kali, periode 2015-2016 dan semuanya dilakukan di kantor PT EWF. 

Pembelian tanah di Desa Sungai Sayang ini diduga efek penetapan kawasan megaproyek pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung di Desa Sungai Itik, Kecamatan Sadu, oleh pemerintah pada November 2014. 

Namun, pembangunan pelabuhan mangkrak setelah pandemi Covid-19 datang. Pengusaha yang terlanjur membeli lahan memutar otak. Mereka membabat mangrove untuk ditanami sawit pada Mei 2022. 

Arie mendatangi lokasi usai menerima informasi dari warga yang menyatakan mangrove ditebang sampai bibir pantai. Arie dan warga berusaha menghentikan eksploitasi sepadan pantai. Namun, perusahaan mengabaikan dan tetap melanjutkan pekerjaan dengan menanam sawit. 

Setelah hutan mangrove ditebang, kami nelayan melaut lebih jauh. Modal banyak keluar, dapatnya untung-untungan, risiko juga tinggi.

Norma

Pada September 2022, pemerintah menyegel lahan itu. Dengan demikian, perusahaan harus mencabut sawit yang telah ditanam dan menghentikan aktivitas secara permanen. 

Usai penyegelan, sambung Arie, perusahaan cuci tangan. Semua kesalahan dibebankan kepada seseorang berinisial “S”. Mulai dari pembelian tanah warga, penebangan mangrove tanpa izin, dan penanaman sawit. Menurut perusahaan tindakan tersebut dilakukan S secara pribadi. 

Saat dihubungi Kompas.com, S enggan menyampaikan klarifikasinya terkait penebangan mangrove seluas 110 ha. “Mohon maaf, Pak, lain waktu saja,” kata S dan langsung menutup telepon, Kamis (2/3/2023). 

KCHPI kemudian melaporkan S ke Polres Tanjab Timur pada 9 Septeber 2022 dengan tuduhan pelanggaran UU No 32 Tahun 2009 dan PP No.51 Tahun 2016 Tentang Batas Sepadan Pantai. S dipandang telah merusak sepadan pantai dengan menebang mangrove seluas 110 ha. 

“Laporan ke polisi tentang penebangan mangrove kini statusnya SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3),” kata Arie. 

Penyidikan kasus dihentikan lantaran S membeli lahan masyarakat. Laporan terkait kondisi buruk sempadan pantai tidak berlaku. Sekarang, lahan sempadan pantai yang dilindungi negara sudah habis dilahap abrasi. Yang tersisa adalah lahan milik masyarakat. 

Menurut Arie, pembabatan hutan mangrove di Sungai Sayang adalah bukti pemerintah daerah tidak konsisten menjaga lingkungan dan tidak serius menangani persoalan pesisir. 

Melalui KCHPI, Arie berencana untuk melayangkan gugatan terhadap Pemda Tanjab Timur. Pengusutan kasus penebangan mangrove layu sebelum berkembang. Arie menuturkan dirinya menyaksikan kesepakatan pemerintah dan perusahaan untuk melakukan rehabilitasi lahan seluas 110 hektare. 

“Isi perjanjian rehabilitasi dimulai Maret 2023,” kata Arie. 

Dia menambahkan, kebijakan pemerintah dalam tataran pelaksanaan belum memihak kelompok rentan atau masyarakat yang hidup di pesisir. Padahal mereka yang paling merasakan dampak krisis iklim. 

Dia juga menyoroti penghargaan Wetland City Acreditatiton yang didapatkan Bupati Tanjab Timur, Romi Hariyanto, yang berlangsung di Jenewa, Swiss, pada 5-13 November 2022. 

“Saya minta kepada lembaga internasional Wetland City Acreditatiton untuk mencabut penghargaan yang diberikan kepada Bupati Tanjab Timur (Romi Hariyanto), apabila persoalan penebangan mangrove di Sungai Sayang tak mampu diselesaikan,” kata Arie. 

Dirinya meyakini pemberian penghargaan seharusnya bukan untuk prestise atau ajang meraih kehormatan belaka, tetapi untuk upaya nyata memperbaiki dan menjaga ekosistem di lahan basah, terutama daerah-daerah yang rawan terdampak krisis iklim. 

Sementara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tanjab Timur, Adil P Aritonang membenarkan pembelian tanah di Desa Sungai Sayang tidak melibatkan PT EWF, melainkan lewat S secara pribadi. 

Dia menyebut, perusahaan tidak pernah mengajukan izin untuk menggarap wilayah itu. Pemerintah tidak bisa menjatuhkan sanksi ke PT EWF karena belum menemukan bukti keterlibatan perusahaan sawit itu. 

“Kasus ini hanya warga dengan warga biasa. Namun, karena S bagian dari PT EWF, perusahaan berjanji ingin menghijaukan kembali 110 hektare itu dengan reboisasi,” kata Adil. 

Sampai sekarang, pemerintah hanya menunggu perusahaan merehabilitasi mangrove yang dibabat dan tidak bisa memaksa karena tidak memiliki wewenang. 

Adil mengakui masyarakat Desa Sungai Sayang mengalami kerugian ekonomi karena pembabatan mangrove. 

Hanya saja, pemerintah belum memiliki solusi atas persoalan itu. Masyarakat didorong memanfaatkan lahan tersebut untuk membuat tambak udang dan kepiting, sebelum proses reboisasi mangrove berjalan. 

Sementara, ketika ditanyakan terkait perjanjian rehabilitasi, Adil mengakui bahwa S berjanji akan merehabilitasi mangrove yang ditebang. Namun, ia menambahkan, pemerintah tidak bisa memaksa S. 

Romi Hariyanto adalah bupati pertama di Indonesia yang dianugerahi Wetland City Acreditatiton. Alasannya, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dianggap berhasil mengintegrasikan manajemen konservasi dan keberlanjutan lahan basah dengan menjaga kelestarian lahan basah, yang menjadi ekosistem satwa. 

Saya minta kepada lembaga internasional Wetland City Acreditatiton untuk mencabut penghargaan yang diberikan kepada Bupati Tanjab Timur (Romi Hariyanto), apabila persoalan penebangan mangrove di Sungai Sayang tak mampu diselesaikan.

Arie Suryanto, Pendiri, Komunitas Cinta Hijau Pesisir Indonesia

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Romi untuk menjaga kelestarian lahan basah adalah menerbitkan regulasi yang melindungi kelestarian Pantai Cemara yang satu garis pantai dengan Desa Sungai Sayang yaitu sekitar 30 kilometer arah selatan dengan luas 450 hektare. 

Lokasi ini menjadi tempat burung migrasi dari Siberia menuju Australia pada rentang September hingga Desember. Regulasi lainnya adalah melindungi daerah konservasi hutan bakau pantai timur seluas 4.126,6 ha dan hutan lindung gambut di Sungai Buluh seluas 23.748 ha di Kecamatan Mendahara Ulu. 

Adil berdalih penghargaan yang diterima Bupati Tanjab Timur tidak bisa dikaitkan dengan kerusakan mangrove di Desa Sungai Sayang. Berkas untuk penghargaan sudah lebih dulu diserahkan sebelum kemunculan insiden pembabatan mangrove. 

Gotong royong tanam mangrove 

Kini masyarakat Desa Sungai Sayang bergotong royong menanam mangrove atas inisiatif sendiri untuk meredam abrasi dampak penebangan. Rencana penanaman paling lambat akan dilakukan akhir tahun ini. 

Dengan dukungan dari KCHPI, mereka sudah menyemai 5.000 bibit batang mangrove. Usianya sudah lebih tiga bulan dan tingginya sudah sekitar 10-15 cm. 

“Ibu-ibu secara sukarela turut menyemai bibit mangrove dan merawatnya. Tapi bibit mangrove banyak yang mati karena dimakan kepiting. Kepiting itu masuknya dari lahan yang ditebang,” kata Ambo Angke. 

Lokasi penanaman bibit mangrove akan dilakukan di sepanjang pantai seluas 30-50 ha. Kendati demikian, warga enggan menanam di lokasi perusahaan. Menurut mereka, kerusakan murni tanggung jawab pemerintah dan perusahaan. 

Penanaman mangrove oleh masyarakat, kata peneliti BRIN, Suyadi, sebagai salah satu solusi untuk menjaga kelestarian mangrove secara berkelanjutan. Pemerintah harus mendorong kantong-kantong komunitas, yang berusaha ‘menghidupkan’ kembali mangrove. 

Sementara menurut Arie, ketika ekosistem mangrove dilestarikan di seluruh pesisir Indonesia, maka upaya untuk mengurangi dampak krisis iklim dapat dilakukan. Sebagai negara dengan potensi mangrove terbesar di dunia, Presiden Joko Widodo pada saat acara KTT G20, Rabu (16/11/2022), telah berkomitmen untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. 

Solusi dari KCHPI, kata Arie, pemerintah mendirikan tanggul pemecah ombak untuk melindungi daerah pesisir yang hutan mangrovenya telah gundul. Selanjutnya, pemerintah melakukan rehabilitasi mangrove secara total dengan menetapkan kembali daerah sepadan pantai Laut Natuna. 

“Pemerintah jangan mengabaikan krisis iklim yang memicu kenaikan permukaan air laut dan dapat menenggelamkan masyarakat pesisir. Segera lakukan adaptasi dan mitigasi risiko krisis iklim di pesisir timur,” kata Arie. 

Mengutip riset Climate Central, permukaan air laut diperkirakan bakal meningkat sekitar 20 sampai 30 sentimeter pada 2050 mendatang. Sementara data The Intergovernmental Panel on Climate Change, kisarannya masih 0,8-1 meter sampai tahun 2100. 

Kenaikan permukaan air laut juga diproyeksikan dapat menenggelamkan permukiman penduduk di kawasan pesisir Indonesia, termasuk Desa Sungai Sayang. 

Sementara, Norma mengaku tak mengetahui tentang perubahan iklim dan dampaknya. Namun, pembabatan mangrove membuat perempuan pesisir ini gamang desanya bakal diterjang banjir rob dan ruang hidup menghilang. 

“Kalau hutan mangrove semua ditebang, kami bisa tenggelam. Kami berharap pemerintah berpihak kepada kami, untuk masa depan anak-cucu,” ujar Norma. 


Laporan ini didukung Internews’s Earth Journalism Network dan pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 24 Juni 2023.

About the writer

Suwandi

Suwandi is a journalist based in Jambi, Sumatra. Interested in covering the issue of the climate crisis and environmental crimes. He is active in writing social culture for indigenous people, which has...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.