Posted in

REDD Berpotensi Konflik di Masyarakat Adat

Jakarta – Program pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from forest Deforestation and Degradation/REDD) diprediksi akan memunculkan konflik di tengah masyarakat adat Indonesia. Potensi konflik muncul terutama jika prasyarat yang dibutuhkan oleh masyarakat adat terkait upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tidak dijalankan secara efektif.

Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, di Jakarta, Rabu (18/8). Abdon memperkirakan konflik dari penerapan REDD di Indonesia memang ada, terlebih lagi dengan kenyataan bahwa sebenarnya masyarakat adat secara tradisional sudah melaksanakan konsep REDD tersebut.

 

“Persoalannya saat ini adalah kecenderungan pemerintah yang memberikan konsesi REDD kepada pihak lain di luar masyarakat adat. Semestinya REDD berpihak kepada masyarakat adat dan pelaksanaannya pun dipercayakan kepada masyarakat adat karena mereka sudah terbukti mampu melakukannya. Pemerintah jangan lagi membuat sistem konsesi baru yang hanya akan menambah konflik, misalnya saja sistem konsesi ala Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau sistem konsesi ala pertambangan,” sambung Abdon.

 

Penerapan REDD di tengah masyarakat adat mutlak membutuhkan beberapa prasyarat. Tiga prasyarat yang mesti dipenuhi adalah terdapatnya kepastian hak dan pengelolaan wilayah bagi masyarakat adat, dukungan terhadap pengetahuan/kearifan tradisional sebagai alternatif solusi mitigasi dan adaptasi, serta memastikan terdapatnya kapasitas organisasi masyarakat adat yang kuat dan komunitas yang solid. Namun, yang perlu dicatat adalah kearifan tradisional di dalam masyarakat adat sudah semestinya diapresiasi, terutama dalam kaitannya dengan penerapan REDD.

Keterlibatan masyarakat adat secara alamiah bisa dibenarkan keadaannya. Seperti yang diungkapkan Fiser, perwakilan masyarakat adat To Kulawi, Sulawesi Tengah, saat ditemui di acara Perayaan Hari Masyarakat Adat Se-dunia, Senin (9/8) lalu.

“Dalam pembuatan rok tradisional yang berbahan utama kayu dari pohon beringin, sebisa mungkin kita tetap bijaksana dalam menebang pohon itu. Sebenarnya, hanya ranting pohon beringin saja yang dibutuhkan sebagai bahan pembuat rok, tidak perlu menebang pohon secara utuh. Jadi, kalau ada yang menebang pohon demi memperoleh kayu, maka orang itu akan diberi sanksi adat,” tutur Fiser.

Melihat kearifan tradisional yang sangat mendukung penerapan REDD, maka sudah semestinya dibentuk undang-undang yang khusus memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan tentunya dapat mengikat seluruh sektor yang ada di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan bahwa penerapan REDD dapat berjalan dengan lancar, baik dalam prinsip maupun ruang lingkup yang terkait di dalamnya. Sebut saja keberhasilan dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, keberhasilan dalam konservasi karbon stok dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, serta tentu saja meningkatnya stok karbon di hutan. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.