Posted in

SAWIT DI KALIMANTAN DIKUASAI MALAYSIA

thumbnailJakarta – Penguasaan bisnis perkebunan sawit mulai dari hulu hingga hilir Indonesia oleh Malaysia mulai tampak sejak jaman pemerintahan orde baru. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan perkebunan inti rakyat (PIR) pada tahun 1982 yang didanai oleh Bank Dunia.

Demikian disampaikan oleh Kepala Divisi Kampanye dan pendidikan Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, Senin (23/8) di Jakarta.

Dikatakan Jefry, pada saat pemerintahan orde baru, setiap perusahaan Indonesia yang ingin bergerak dibisnis kelapa sawit mulai dari hulu (perkebunan) hingga hilir (pabrik) yang ingin mendapatkan dana dari Bank Dunia, wajib menggunakan konsultan dari Malaysia.

“Dari situlah kita tahu mulai dari situlah, perkebunan sawit PTPN yang sampai pada PTPN XX mulai berkembang karena mendapatkan dana dari Malaysia,” ujar Jefry.

Jefry, menambahkan, luasnya penguasaan perkebunan sawit Malaysia di Indonesia, khususnya di wilayah lintas batas adalah karena perusahaan sawit asal malaysia yang mencapai 40 persen dari 9 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Malaysia berani melakukan berbagai macam pendekatan seperti pendekatan secara ekonomi, pendekatan sosial serta pendekatan budaya dio wilayah perkebunan.

“Mereka berani bayar lebih mahal, kalau perusahaan Indonesia per hektarnya hanya mampu bayar Rp500 ribu-1 juta per hektar untuk mendapatkan ijin lokasi, sedangkan perusahaan Malaysia berani membayar sekitar Rp2-3 juta, kata Jefry.

Selain pendekatan ekonomi, perusahaan kelapa sawit Malaysia juga menggunakan pendekatan budaya seperti pengangkatan para kepala daerah di Kalimantan untuk menjadi kerabat Kerajaan Malaysia.

“Bupati ketapang yang aslinya orang batak dan kawin dengan orang Ketapang, tiba-tiba dia menjual konsesi lahannya pada Malaysia, kemudian dia diangkat menjadi kesultanan Ketapang oleh Malaysia, dan itu hampir semua bupati yang dijadikan kerabat keraton,”  ucapnya.

Selain melalui pendekatan-pendekatan, penguasaan perkebunan sawit di Indonesia oleh Malaysia juga akibat lemahnya posisi Indonesia dalam bisnis sawit di dunia internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari sulitnya perusahaan sawit asal Indonemsia untuk mendapatkanrountable on suataynable palm oil (RSPO) dan adanya dua pasar, serta dua mata uang yang berlaku di bisnis kelapa sawit dunia, yakni Dolar AS dan Ringgit malaysia.

“Hal ini karena gerak perusahaan sawit Indonesia itu terbatas sekali di forum-forum internasional dan selalu kalah. Makanya banyak perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia itu sebenarnya pengikut kebijakan-kebijakan sawit yang ada di Malaysia, dan saya pikir di situ kelemahan kita,” ujarnya.

Jika dilihat dari sisi hukum, tutur Jefry, penguasaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia oleh Malaysia tidak bisa disalahkan dan tidak melanggar hukum. Sebab, sistem hukum di Indonesia yang memungkinkan Indonesia untuk tidak berdaulat di bisnis kelapa sawit.

“Sebenarnya mereka tidak melanggar hukum, karena sistem hukum kita tidak memungkinkan kita untuk berdaulat seperti hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun yang proses perpanjangannya itu bisa sekaligus oleh pemilik perkebunan yang sama. Sekarang ini empat juta yang berhak mereka berhak kuasai selama 95 tahun. Pertanyaannya kita dapat apalagi dari bisnis itu,” tuturnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.