Posted in

REGULASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA MASIH SEKTORAL

thumbnailJakarta – Conference of the Parties (COP) ke-10 Convention on Biological Diversity (CBD) baru akan dilaksanakan bulan depan, tepatnya pada tanggal 18 – 29 Oktober 2010, di Nagoya, Jepang. Namun, isu terbesar dari konvensi PBB tentang keanekaragaman hayati itu, yakni masalah akses dan benefit sharing, seperti menuntut Indonesia agar segera membenahi regulasi yang ada terkait dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki.

Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Perencana, Evaluasi, dan Monitoring Bidang Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosichon Ubaidillah, Sabtu (18/9), bahwa satu masalah yang muncul terkait dengan keanekaragaman hayati di Indonesia adalah belum adanya regulasi bersifat nasional yang dapat mengatur keluar-masuknya keanekaragaman hayati dari dan ke Indonesia.

“Selama ini, hanya regulasi sektoral saja yang mengatur masalah tersebut, misalnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), atau Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dan kita pun masih berlindung kepada regulasi internasional untuk masalah ini,” tambah Rosichon, pada kesempatan yang sama.

Keberadaan regulasi nasional ini menjadi sangat penting mengingat isu akses dan benefit sharing terkait keanekaragaman hayati tengah menjadi perbincangan yang paling hangat saat ini. Indonesia pun sudah semestinya melindungi kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki dari berbagai kepentingan yang mungkin muncul, terutama yang berasal dari negara-negara maju yang kebanyakan tidak kaya akan keanekaragaman hayati.

“LIPI memang tengah mengadakan berbagai diskusi dengan kementerian-kementerian terkait untuk membahas mengenai regulasi nasional untuk keluar-masuknya keanekaragaman hayati. Selama regulasi nasional ini belum dapat digunakan sebagai rambu-rambu, kita dapat berlindung kepada keputusan atau peraturan yang dihasilkan oleh COP-10 CBD nanti,” lanjut Rosichon.

Upaya untuk berlindung kepada keputusan COP-10 CBD itu memang sangat dimungkinkan, mengingat dalam pasal  15 CBD dijelaskan bahwa masing-masing negara memiliki kedaulatan untuk menentukan pihak yang berhak mendapatkan akses terhadap keanekaragaman hayati (sumber daya genetik) di negaranya, dan dapat menciptakan kondisi (dalam rangka fasilitas akses) atas hal tersebut.

Mengenai aplikasi dari regulasi sektoral yang sudah ada, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI, Siti Nuramaliati Prijono, Selasa (21/9), menjelaskan bahwa selama ini pengaturan masalah keluar-masuknya keanekaragaman hayati, khususnya untuk tumbuhan dan satwa liar, dilakukan oleh Kemenhut sebagai otoritas pengelola di Indonesia. Menteri Kehutanan akan memberikan izin keluarnya tumbuhan dan satwa liar setelah memperoleh saran dari LIPI selaku otoritas keilmuan di Indonesia.

“Setiap peneliti asing yang akan membawa sampel tumbuhan dan satwa liar serta mikroba dari Indonesia harus menandatangani Material Transfer Agreement (MTA) terlebih dahulu. Selama ini MTA sudah diterapkan sesuai dengan sampel yang akan dibawa,” sambung Siti Nuramaliati Prijono, yang akrab dipanggil Lili.

Misalnya, jika terkait dengan sumber daya genetik pertanian, maka MTA yang digunakan adalah MTA dari Kementan. Jika sampel biologi terkait dengan kesehatan, maka MTA yang digunakan adalah MTA dari Kemenkes dan harus mengikuti aturan KepMen Kesehatan No. 732/MenKes/SK/VII/2008. Jika sampel yang akan dibawa ke luar Indonesia adalah sampel tumbuhan dan satwa liar, maka harus mengikuti aturan Kepmenhut  No. 447/Kpts-II/2003. MTA yang digunakan pun bisa saja MTA yang dikeluarkan oleh LIPI atau MTA yang oleh LIPI telah dianggap memenuhi syarat.(prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.