Tiga belas tahun sejak tsunami melanda Aceh, para nelayan Lhok Seudu tetap melaut dengan metode yang ramah lingkungan.

Aceh Besar, ACEH. Tiga belas tahun berlalu sejak ie beuna atau aloen buluek (red: tsunami) meratakan propinsi Aceh di tabun 2004, masyarakat Desa Teupin Layeu, Kabupaten Aceh Besar, yang sebagian besar merupakan nelayan, tetap setia melaut di Teluk Lhok Seudu secara tradisional.

Kebanyakan nelayan Lhok Seudu masih menggunakan palong, yaitu bagan apung yang ditopang oleh dua perahu lebih kecil, untuk menangkap ikan.

Metode ini merupakan metode tradisional masyarakat Aceh yang sudah dijalani selama puluhan tahun dan dianggap lebih aman untuk lingkungan karena hanya menggunakan alat-alat sederhana, seperti lampu dan jaring untuk menarik perhatian dan menangkap ikan.

“Penggunaan Palong memang sudah lazim disini karena sasaran kami memang ikan-ikan kecil yang bisa ditangkap dengan jhab atau jaring palong,” kata Hasan Is, salah seorang pemilik palong.

Satu palong dipimpin oleh satu orang pawang (red: nahkoda) atau tekong yang bertugas mencari titik labuh dan lokasi ikan. Pawang biasanya dibantu oleh tujuh nelayan dalam mengoperasikan palong.

Para nelayan mulai bekerja pukul 2.30 dini hari hingga 6.30 pagi. Mereka bekerja menjelang pagi untuk menjaga kesegaran hasil tangkapan mereka karena tidak membawa es.

“Kami bekerja pada pukul 2.30 pagi untuk menjaga hasil tangkapan agar tetap segar. Ikan-ikan kecil cenderung cepat busuk jika kami bekerja (misalnya) sejak pukul 10 malam,” jelas Zaenal, salah seorang nelayan Palong yang ditemui Ekuatorial.

Untuk menangkap ikan, mereka menyebarkan jaring (jhab) di sekitar palong yang dilengkapi oleh lampu dengan tujuan untuk menarik perhatian ikan.

“Lampu-lampu itu berguna untuk menarik perhatian ikan agar masuk ke dalam jhab, lanjutnya menambahkan mereka menebar dan menarik jhab hingga tiga kali dalam semalam.

Hasil tangkapan berupa ikan teri, cumi-cumi atau gurita akan langsung di angkut ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lhok Seudu tanpa menggunakan es dan pengawet.

“Rata-rata palong tidak membawa es untuk menghemat biaya operasional,” kata Sabirin (42), pawang kapal Palong.

Untuk satu hari kerja, para nelayan akan mengambil satu keranjang lalu dibagikan untuk dibawa pulang dan sisanya dijual. Hasil penjualan tangkapan, jelas Zaenal, berkisar antara lima sampai sepuluh juta rupiah per minggu.

“Kalau cuaca lagi bagus, kami bisa membawa pulang 80 sampai 100 keranjang ikan teri per hari, satu sampai dua ton per minggunya. Tapi, kadang-kadang dalam sehari, ikan bisa tak ada,” sambung Zaenal menambahkan para nelayan biasanya bekerja enam hari seminggu, kecuali hari Jumat.

Hasan, pemilik palong, menjelaskan bahwa nelayan akan mendapatkan upah kerja tergantung dari hasil penjualan yang sudah dibagi dua, antara pemilik dan tujuh nelayan lainnya. Jumlah ini, lanjutnya, sudah dipotong biaya operasional sebanyak empat hingga lima juta rupiah per-minggu.

“Para nelayan menerima upah kerja setiap Jumat per minggunya. Jumlahnya bervariasi tergantung hasil penjualan yang dibagi dua antara pemilik palong dan tujuh orang nelayan,” jelas Hasan yang memiliki satu palong.

Meski dianggap adil, Zaenal menyatakan bahwa para nelayan masih belum puas karena belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Perjanjian bagi hasil antara nelayan dan pemilik palong sudah adil dan sesuai dengan penjualan, tapi kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari memang belum memadai,  maka untuk menambal kebutuhan sehari-hari setiap pagi sepulang dari melaut saya bertani bersama istri saya, siang beristirahat lalu kembali melaut sore harinya,” ungkap Zaenal.

About the writer

Fahreza Ahmad is a photojournalist based in Banda Aceh. His main interest is the climate crisis. Fahreza is actively covering environmental issues and has published with both local and national media.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.