Keterbatasan ketersediaan air bersih semakin meningkat di berbagai wilayah di Indonesia bahkan menurut Litbang Dirjen SDA Kementrian PUPR, kondisi ketersediaan air di Pulau Jawa kritis. Selain krisis iklim, penggunaan air tanah yang berlebihan serta buruknya pengelolaan sumber daya ini, diniliai penyebab utamanya.

Oleh Jekson Simanjuntak

Sumber mata air Djoebel, di punggung gunung Welirang, Jawa Timur, kini menjadi saksi bagaimana pembuatan sumur resapan yang memadai mampu mengatasi kecenderungan meningkatnya keterbatasan ketersediaan air bersih, sebuah fenomena yang juga semakin dialami berbagai daerah di Indonesia,

Program Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua, IUWASH PLUSdari USAID yang mendata mata air di sejumlah daerah memperlihatkan bahwa sekitar lima persen dari sumber yang diamati  sudah tidak lagi mengeluarkan air.

“Sedangkan yang masih mengalir, debitnya menurun rata-rata 35-65 persen,” ujar Asep Mulyana, Spesialis Air baku IUWASH PLUS, saat bertemu di mata air Djoebel, di kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Sementara mata air dengan kondisi stabil tak kurang dari 10 persen. Termasuk yang berada di kawasan paling rendah yang kini keberadaannya mulai terancam. 

Asep mengatakan perubahan iklim, dengan pola hujan yang berubah, adalah salah satu penyebab utama kelangkaan air. Suhu tinggi dan kemarau yang semakin panjang juga berdampak pada kekeringan.

“Belum lagi, banyak mata air di wilayah bawah sudah terokupasi oleh pembangunan fisik,” paparnya.

“Ditambah lagi penurunan muka air tanah yang sangat cepat, akibat pemakaian tidak terkendali (over pumping), mengakibatkan amblesan tanah dan intrusi air laut dibeberapa kota,” imbuhnya.

Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setelah melakukan riset dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, menemukan bahwa 20 persen hingga 40 persen mata air di Indonesia telah mengering dan hilang.

Di tahun 2018, KLHK berhasil menginventarisir 10.321 mata air. Dari jumlah itu, laju hilangnya mata air diketahui cukup besar. 

Dengan 65 persen penduduk Indonesia menyesaki pulau yang luasnya hanya tujuh persen dari keseluruhan luas daratan negeri ini, Jawa hanya memiliki ketersediaan air sekitar 1.600 m3 per kapita per tahunnya, data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah memperlihatkan sepuluh tahun yang lalu. 

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

 

Angkanya bagi Papua dan Maluku, misalnya, pada saat yang sama berada pada 25.500 m3/kapita/tahun.

Tren penurunan debit mata air terjadi secara merata di Indonesia. Untuk wilayah seperti Solo, hilangnya mata air bahkan mencapai 40 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Di kawasan Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang, data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu 2017, memperlihatkan penurunan debit air pada 31 dari total 111 mata air yang ada. 

Sementara di Serang, Bandung, Makassar, Ternate, rata-rata penurunannya di atas 35 persen sampai 60 persen.

“Mata air seperti dispenser yang dikasih pencetan. Karena muka airnya sudah turun, otomatis yang paling atas tidak kebagian,” papar Asep.

IUWASH PLUS juga mencatat 2.400 dari 17.000 daerah aliran sungai (DAS), sudah mengalami kondisi kritis. Sebagian besar berada di Jawa.

Krisis air tanah yang terjadi saat ini sejatinya bukan bencana alam, melainkan kesalahan dalam mengelola air. “Mohon dicatat. Itu bukan bencana alam, tetapi kesalahan manajemen manusia,” tegas Asep.

Kesalahan, karena tidak mampu meresapkan air dengan baik. Jika saja tata guna lahan tidak terganggu, maka tanah mampu menyimpan air, dan Indonesia tidak akan kekuarangan air.

Krisis air tanah juga berdampak pada sungai. Jika mata air kering, dipastikan sungai-sungai, seperti; Citarum, Ciliwung, Brantas akan ikut kering.

“Karena apa? Sumber Brantas berasal dari mata air yang ada di catchment area. DAS-nya ada di Malang, Mojokerto dan sebagainya. Citarum juga sama, Jika Bandung Selatan, mengering, Citarum ikut kering,” papar Asep.

Pembangunan fisik yang tidak mengindahkan daya tampung, daya dukung lingkungan hingga kesesuaian lahan juga berdampak pada penyerapan air oleh tanah. Padahal lereng merupakan tempat menyimpan air. 

“Orang kota, kan, senangnya tidak hanya manjakan perut, namun memanjakan mata. Semakin tinggi ke atas, semakin bagus dan semakin mahal. Padahal itu merusak fungsi lahan sebagai penyimpan air,” kata Asep.

“Lahan boleh dipakai, tetapi bagaimana caranya jangan mengganggu siklus air, lingkungan dan ekosistem.”

Kekeringan, menurut Direktur Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Mojokerto Fayakun Hidayat, bukan karena airnya hilang, namun karena di musim penghujan, air tidak ditahan. Seandainya ditampung, diantaranya lewat sumur resapan, maka tidak akan terjadi kekurangan air.

“Kita harus tahu bahwa siklus air tidak berubah. Yang berubah hanyalah jalur distribusi dan kualitas air, jika tidak dijaga,” kata Fayakun.

Ia mencontohkan mata air Djoebel, yang mutu airnya kini masih sangat baik. “Airnya luar biasa. Kalau dibandingkan Aqua itu gak ada apa-apanya. Gak usah diproses, airnya bisa langsung diminum,” Fayakun mengatakan.

Sumber Djoebel, yang berada pada ketinggian 735 meter diatas permukaan laut, di Dusun Gendom, Desa Kembangbelor, Kecamatan Pacet, merupakan sumber air baku utama bagi PDAM Kabupaten Mojokerto. Djoebel memasok air bersih bagi sejumlah kota di Jawa Timur, seperti di Mojokerto, Jombang, hingga Sidoarjo.

Namun,volume air Djoebel sempat pernah menurun drastis. 

Sumber mata air Djoebel mensuplai sekitar 20% dari sumber air mentah PDAM di Kabupaten Mojokerto. Matriks Risiko Aset diatas menunjukkan bahwa Mata Air Djoebel sangat rentan terhadap kekeringan dibawah kondisi saat ini, dan terlebih lagi dibawah kondisi perubahan iklim. Sumber: IUWASH PLUS (2018).

 

PDAM Kabupaten Mojokerto mencatat debitnya mencapai 18,4 liter per detik di tahun 2012. Padahal di tahun 90-an, debitnya mencapai 70 liter per detik.

“Menurut sejarahnya, sumber Djoebel yang dibangun Belanda, debitnya pernah mencapai 100 liter per detik di tahun 1929,” ungkap Asep., merujuk pad tahun ketika pemerintah kolonial Belanda kala itu, merampungkan instalasi air bersih di Djoebel.

Penurunan debit di Djoebel ini terjadi karena perambahan kawasan hutan yang menjadi daerah tankapan air di Mojokerto, di dasawarsa 1990-an yang kemudian merubah wilayah ini menjadi gersang.

Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperingatkan, wilayah hulu Mojokerto (kawasan Pacet dan sekitarnya) pada 2040 akan mengalami penurunan curah hujan sekitar 20 persen.

Erstayudha Nurrizqi, GIS Specialist dari Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) USAID mengingatkan bahwa penurunan curah hujan sedemikian akan berdampak buruk bagi kawasan hulu seperti Pacet. Karena itu, pembuatan sumur resapan  dianggap pilihan terbaik untuk mengembalikan air kedalam tanah.

“Model sumur komunal cocok untuk wilayah sempit, seperi di perkotaan, sementara di pedesaan, seperti Claket, lahannya masih luas,” ujar Erstayudha.

IUWASH PLUS, juga menganjurkan sumur resapan untuk merawat pasokan air tanah. Program ini telah membangun 11.000 sumur resapan di beberapa lokasi di Indonesia, jumlah yang walaupun besar, masih jauh dari memadai.

“Karena itu, kami mengapresiasi desa yang berhasil mencadangkan air tanah melalui sumur resapan, yang pendanaannya dibantu LSM atau perusahaan,” ujar Asep.

Sumber: IUWASH PLUS (2018)

 

Bagi Muklis, warga Desa Claket di Kecamatan Pacet,kehadiran sumur resapan memberikan manfaat nyata. Terbukti dari hasil pertanian organik, seperti kentang dan pisang godog, panennya melimpah berkat sumur resapan.

“Selain secara ekonomi lebih menguntungkan karena tidak menggunakan pupuk non organik, juga berkontribusi positif menjaga kualitas air tanah di Desa Claket”, ujar Mukhlis bersemangat, menjelaskan mengapa ia memilih bercocok tanam secara organis.

Muklis bahkan mengajak temannya bergabung dalam kelompok tani untuk mengembangkan pertanian organik. Ia aktif menjaga kualitas air tanah agar tidak terkontaminasi bahan tak ramah lingkungan. Ia juga memberi contoh, dengan mengorbankan pekarangannya sebagai lokasi sumur resapan.

“Sumur resapan terbukti ampuh meningkatkan cadangan air tanah. Caranya, air hujan dibiarkan masuk ke dalam tanah”, kata Muklis.

Air yang masuk ke tanah, kemudian mengalir ke mata air di lereng gunung. Salah satunya sumber air Djoebel. 

Sejauh ini, sumur resapan milik Muklish memiliki daya serap yang baik. Buktinya, sumur resapannya tidak pernah penuh.

“Di musim hujan, meskipun air sangat deras selama tiga jam, sumur resapan saya tidak bakal penuh” ujarnya.

Muhammad Fakhruddin peneliti Limnologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut sumur resapan berbeda dengan sumur pada umumnya. 

“Jika sumur kerap dipenuhi air, maka sumur resapan sebaliknya”, ujar Fakhruddin dengan menambahkan bahwa sumur resapan merupakan metode yang efektif untuk menabung air, disamping pembuatannya yang murah serta tidak mengganggu estetika.

“Karena sumur resapan dapat menyerap air dalam waktu sangat singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya genangan air”, ungkap Fakhruddin.

Sementara bagi Asep mengingatkan solusinya tidak hanya sebatas sumur resapan, namun juga kebijakan yang berpihak pada pelestarian air.

Warga Claket lainnyapun merasakan langsung manfaat sumur resapan. Jika dulu, air hujan kerap menggenangi rumah yang posisinya lebih rendah dari rumah Muklis. Kini hal itu tidak terjadi lagi.

Kini, tak hanya kebutuhan air masyarakat yang terpenuh, namun mata air Djoebel juga kini terawat. Dan merawat Djoebel, tak ubahnya merawat kehidupan itu sendiri. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.