Posted in

BERTAHAN HIDUP DI ALAM BEBAS

thumbnailJakarta – Kewajiban untuk meliput ke lokasi-lokasi tertentu, misalnya lokasi pertambangan ilegal atau mungkin pusat deforestasi di sebuah hutan lindung, seakan menjadi hal yang tidak dapat dielakkan lagi oleh seorang wartawan lingkungan. Terjun langsung ke lapangan, mewawancarai narasumber lokal, dan melihat kerusakan lingkungan yang ada, menjadi sensasi tersendiri yang mendorong seorang wartawan lingkungan untuk menjawab agenda liputan yang menantang tersebut. Namun fatalnya, seorang wartawan lingkungan seringkali mengabaikan resiko yang mungkin muncul dalam peliputan di lapangan itu.

 

Tentu hal itu bukannya tanpa alasan. Ketidakpahaman seorang wartawan lingkungan akan persiapan untuk peliputan di alam bebas dan kondisi-kondisi tidak terduga yang mungkin terjadi di sana menjadi beberapa faktor yang terkait di dalamnya. Oleh karenanya, sebelum melakukan peliputan di lapangan, seorang wartawan lingkungan mesti memiliki beberapa pengetahuan mengenai bagaimana bergiat di alam bebas. Pengetahuan dan pemahaman bergiat di alam bebas akan menjadi senjata yang ampuh untuk meminimalisir resiko yang mungkin muncul dari liputan langsung di lapangan.

Secara umum, bahaya yang mungkin muncul dari bergiat di alam bebas – termasuk di dalamnya adalah liputan di lapangan bagi seorang wartawan lingkungan –  dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari diri sendiri (subjective danger) dan yang berasal dari lingkungan atau alam bebas (objective danger). Contoh subjective danger misalnya adalah keteledoran seseorang, persiapan yang tidak matang, pengetahuan yang minim tentang bergiat di alam bebas, dan sebagainya. Sementara objective danger merupakan bahaya yang mengancam dari luar diri seseorang yang bergiat di alam bebas, yang muncul dari lingkungan atau alam bebas itu sendiri, misalnya gempa bumi, banjir, kehadiran binatang buas, dan lain-lain.

Meskipun semua persiapan telah dilakukan untuk menghindari bahaya dan meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dalam bergiat di alam bebas, satu waktu mungkin sekali seseorang yang bergiat di alam bebas tersebut – atau mungkin seorang wartawan lingkungan yang sedang meliput di lapangan – dengan terpaksa akan menghadapi situasi yang tidak pernah diharapkan sebelumnya. Situasi-situasi yang tidak terduga memang mungkin saja akan terjadi dan menimpa siapa pun orang yang tengah aktif berkegiatan di alam bebas. Tersesat beberapa hari di tengah hutan dengan bekal makanan yang kian menipis, atau mungkin saja terapung-apung dan tenggelam di tengah lautan. Kondisi-kondisi kritis seperti itu kemudian dapat digolongkan sebagai kondisi survival.

Kemampuan Survival

Kata survival sendiri berasal dari kata survive, dan secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya atau usaha untuk mempertahankan hidup. Kemampuan survival atau kemampuan bertahan hidup adalah kemampuan yang dapat digunakan untuk menolong seseorang untuk tetap dapat bertahan pada situasi yang berbahaya (misalnya gempa bumi) atau lokasi yang berbahaya (misalnya padang pasir, gunung, atau hutan). Kemampuan survival ini termasuk juga cara membuat api, menemukan atau membuat perlindungan, membuat atau mencari air yang aman untuk diminum, menemukan dan mengidentifikasi makanan, mengobati luka atau cedera, serta menggunakan peralatan yang sangat minimal.

Pada kenyataannya, setiap tipe lingkungan yang berbeda memang akan memberikan tantangan dan bahaya yang berbeda pula. Sementara itu, pentingnya mempertahankan hidup (survival) sangat berkaitan dengan munculnya kondisi kritis tertentu. Pertanyaannya kini adalah apa yang menyebabkan kondisi kritis itu muncul? Atau dengan kata lain aspek apa yang akan kita hadapi dalam keadaan bertahan hidup (survival)? Hal-hal yang akan kita hadapi nantinya memang akan sangat bergantung kepada spesifikasi kondisi tersebut, misalnya saja tersesat di gurun pasir atau di kutub pasti akan memunculkan aspek yang berbeda pula.

Namun di sisi lain, dapat juga ditemukan kesamaan tertentu pada aspek yang akan muncul dalam setiap kondisi survival. Secara umum, aspek-aspek itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu aspek psikologis, fisiologis, dan lingkungan. Aspek psikologis yaitu panik, takut, cemas, kesepian/sendiri, bingung, tertekan, kebosanan, dan lain-lain. Aspek fisiologis yaitu sakit, lapar, haus, luka, lelah, dan lain-lain. Sementara aspek lingkungan yaitu panas, dingin, kering, hujan, angin, vegetasi, fauna, dan lain-lain.

Prioritas dalam Survival

Terdapat lima prioritas yang harus ditentukan pertama kali ketika kita tengah berada dalam kondisi survival. Pertama adalah sikap mental yang positif. Kedua, menemukan atau membuat perlindungan yang mampu menjadikan seseorang tetap merasa hangat dan kering. Ketiga, memastikan keberadaan air (sumber air) yang berhubungan dengan kondisi fisik alam, meskipun memang manusia dapat hidup selama tiga hari tanpa air. Keempat adalah memastikan ketersediaan sumber api untuk memberi kehangatan, menetralisir dan membuat air layak untuk diminum, menakut-nakuti binatang liar, menghindari nyamuk dan binatang lainnya, serta memberikan tanda kepada manusia lainnya. Kelima adalah memastikan ketersediaan makanan, meskipun memang manusia dapat bertahan hidup selama seminggu tanpa makanan, akan tetapi kelaparan akan membuat seseorang menjadi tidak jernih dalam berpikir, lemah, dan mudah diserang penyakit.

Prioritas tersebut memang tidak bersifat mutlak, namun dapat bergeser atau berubah sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Akan tetapi, yang sangat penting untuk tetap ada adalah ketersediaan tempat berlindung (shelter) yang dapat menjaga kita dari kondisi apapun. Dari beberapa kasus survival yang terjadi, terdapat beberapa kesamaan yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mengatasi kondisi survival, yaitu:

1. Semangat untuk bertahan hidup

Keinginan yang kuat untuk tetap hidup pasti akan memunculkan kekuatan tertentu dalam diri seseorang ketika menghadapi kondisi-kondisi kritis. Keyakinan diri yang kuat tersebut merupakan modal dasar yang sangat penting dan dapat mempengaruhi modal dasar lainnya.

2. Kesiapan diri

Kesiapan diri memiliki arti bahwa seseorang yang ingin bergiat di alam terbuka mesti memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan dalam menghadapi kondisi-kondisi survival, misalnya pengetahuan dan keterampilan navigasi darat, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), tali-temali, biologi praktis, ilmu survival, ilmu medan dan penaksiran, dan lain sebagainya.

3. Alat pendukung

Jumlah dan jenis peralatan yang dimiliki juga mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menghadapi kondisi survival. Menghadapi keadaan survival tanpa memiliki peralatan apapun tentunya akan berbeda dengan menghadapinya ketika memiliki peralatan tertentu. Pada kasus-kasus survival, nilai guna sebuah pisau atau kapak tentu akan jauh lebih berharga bila dibandingkan dengan kartu kredit atau emas berlian. Jadi, kesimpulannya adalah peralatan yang dimiliki ketika menghadapi keadaan survival akan mempengaruhi keberhasilan dalam menghadapi keadaan survival.

Pada dasarnya, untuk mengatasi segala bentuk cuaca yang mungkin terjadi di alam terbuka, diperlukan perlindungan yang baik terhadap tubuh kita, baik dari dalam maupun dari luar diri kita sendiri. Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diusahakan antara lain:

a.) Bivak

Tujuan membuat bivak adalah sebagai tempat perlindungan yang nyaman untuk menjaga diri kita dari faktor-faktor alam yang ekstrim, misalnya cuaca panas, dingin, basah, angin, kehadiran binatang buas, dan sebagainya. Ketika membuat bivak, syarat-syarat yang mesti diperhatikan antara lain adalah bagaimana kondisi medan yang ada (punggungan atau lembahan, basah atau kering, terbuka atau tertutup), ketersediaan fasilitas alam yang menunjang (pohon, daun-daunan, goa, lubang), dan peralatan yang kita bawa (ponco, jas hujan, plastik, dan sebagainya). Sementara itu, yang harus diingat dalam membuat bivak adalah jangan sampai bivak bocor dan pilihlah lokasi yang baik. Dan, yang patut diingat adalah jangan sampai kita merusak alam di sekitarnya.

b.) Pakaian

Untuk menjaga agar panas tubuh kita tidak keluar terlalu banyak, sebaiknya kita melindungi tubuh dengan pakaian tahan air dan tahan dingin. Bagi seseorang yang ingin bergiat di alam bebas, pengetahuan mengenai jenis pakaian yang cocok digunakan di alam bebas sudah barang tentu menjadi kewajiban sebelum terjun langsung ke lapangan.

c.) Makanan

Salah satu penunjang yang dibutuhkan bagi perlindungan tubuh yang berasal dari dalam diri kita sendiri adalah ketersediaan asupan makanan yang dibutuhkan untuk menambah kalori, memberikan tenaga pada otot, dan mengganti sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh yang rusak. Dalam keadaan survival, sumber makanan dapat kita peroleh dari tumbuhan dan binatang di daerah sekitar kita.

d.) Api

Selain dapat digunakan untuk menghangatkan tubuh, fungsi penting dari api adalah dapat meningkatkan semangat psikologis. Seseorang yang tengah berada dalam kondisi survival, pertama kali akan memilih untuk membuat api sebelum mengerjakan hal lainnya. Fungsi lain dari api antara lain adalah untuk penerangan, memasak makanan atau minuman, dan membuat tanda atau kode untuk orang lain mengenai keberadaan kita. Ketika kita tidak memiliki bahan yang mudah terbakar untuk membuat api, kita harus menyiapkan bahan bakar sendiri yang dapat kita peroleh langsung dari lingkungan di sekitar kita. Bahan bakar tersebut dapat berupa potongan-potongan kecil kayu kering atau serbuk-serbuk penyala. Sementara itu, panas yang dapat digunakan untuk membuat api dapat kita peroleh dari korek api, lensa pembesar, batu penyala, dan lain-lain.

e.) Air

Ketersediaan air memang sangat diperlukan dalam setiap aspek kehidupan, dan merupakan prioritas dalam keadaan survival. Jika kita kekurangan air, maka dapat mengakibatkan dehidrasi (tubuh kekurangan cairan). Kondisi dehidrasi ini terjadi karena adanya proses penguapan dari dalam tubuh, dan keadaan dehidrasi yang berlebihan dapat juga menyebabkan kematian. Bila seseorang tidak mendapatkan air sama sekali dalam waktu tiga hari, maka ancaman kematian semakin mendekati orang tersebut. Cara mengatasinya adalah dengan cukup minum, kurang lebih sekitar dua liter per hari. Jika persediaan air habis, maka kita harus mampu untuk mencari sumber air di sekitar kita.

Dalam keadaan survival, klasifikasi air dapat dibagi menjadi empat bagian. Pertama, air yang dapat diminum langsung, syaratnya adalah tidak berwarna dan tidak berbau. Contohnya adalah air dari mata air, air sungai, air danau, dan air hujan. Jika sama sekali tidak diperoleh sumber air seperti yang disebutkan, maka kita dapat mencari tumbuhan yang mengandung air dan tidak beracun. Jenis tumbuhan yang mengandung air antara lain tumbuhan yang beruas-ruas (misalnya rotan), tumbuhan yang merambat (misalnya lumut), dan tumbuhan khusus (misalnya kantung semar).

Kedua, sumber air dari jejak binatang. Jejak binatang yang menyusui juga dapat digunakan untuk menunjukkan lokasi mata air, karena pasti pada pagi dan sore hari binatang-binatang tersebut akan membutuhkan minum. Ketiga, air yang tercemar dan membutuhkan proses yang rumit untuk dapat bisa diminum. Contohnya adalah air belerang, air rawa dengan tingkat keasaman tinggi, air dari limbah pabrik, dan sebagainya. Keempat adalah air yang tercemar tetapi dapat diminum setelah melalui proses yang sederhana, misalnya air yang tergenang, air berlumpur, air dari sungai besar, dan lain-lain.

Dalam menghadapi keadaan survival dan ketika air menjadi sebuah masalah yang kritis, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai kita memakan sesuatu apapun. Hal ini karena air tidak hanya dipakai untuk melancarkan makanan melalui usus, tetapi juga untuk melunakkan dan mencairkan makanan. Proses kimiawi antara makanan dan usus sendiri memang sangat membutuhkan air. Dari semuanya, dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa dalam menghadapi keadaan survival, terdapat tiga teknik untuk mendapatkan air, yaitu dari penguapan, dari tumbuhan, dan proses penyaringan air.

Melihat kondisi ekstrim yang mungkin saja terjadi ketika seorang wartawan tengah menjalani tugas liputan lapangan langsung –  baik itu di hutan, laut, sungai, atau tempat apapun –  maka sudah semestinya seorang wartawan lingkungan membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman soal teknik mempertahankan hidup (survival) di alam bebas. Kondisi-kondisi ekstrim seperti yang sudah disebutkan di atas memang tidak pernah diharapkan terjadi oleh siapa pn, apalagi oleh seorang wartawan lingkungan sendiri. Namun, antisipasi dini mengenai kondisi ekstrim yang mungkin muncul dalam peliputan di lapangan tentu akan menjadi kredit poin tersendiri bagi seorang wartawan lingkungan. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.