Posted in

DICARI TEMAN PERANGI PERUBAHAN IKLIM

thumbnailPalangkaraya – Berbagai cara mitigasi bisa dilakukan untuk membantu mengerem laju karbondioksida (CO2), penyebab perubahan iklim di angkasa. Namun tanpa bantuan masyarakat, upaya tersebut ibarat menyiapkan senjata untuk berperang, namun tanpa teman untuk berjuang bersama.

 

Sampai pertengahan Juli 2010, Taman Nasional Sebangau (TNS) di Kalimantan Tengah (Kalteng), sudah melakukan reforestasi terhadap 850 ha lahan gambut. Reforestasi lahan gambut itu terkait dengan program pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from forest Deforestation and Degradation/REDD).

Konservasi lahan gambut menjadi sangat penting karena secara alamiah keberadaan lahan gambut tersebut akan menahan terlepasnya karbondioksida ke atmosfer. Jika bio-massa dari lahan gambut di pindahkan atau dipotong, maka akan terjadi pelepasan CO2 dengan jumlah yang cukup besar.

Pada perjalanan melihat kawasan Taman Nasional Sebangau, mulai Senin-Jumat (20-24/7) lalu, Adventus Panda, selaku Koordinator Program Konservasi WWF Indonesia menerangkan kepada SIEJ bahwa keberadaan lahan gambut memang sangat penting dalam kaitannya dengan pengurangan emisi akibat perubahan iklim. Hal ini karena 1 cm air di lahan gambut dapat menahan sepersekian ton CO2 per cm3 lahan gambut. “Sehingga kalau kita mampu menaikkan level air tanah di lahan gambut hingga ke permukaan, maka akan banyak besaran karbon yang dapat ditahan agar tidak terlepas ke atmosfer,” urai Adventus.

Untuk memitigasi dampak tersebut, kemudian dilakukan ujicoba program REDD di Sebangau. Hasilnya telah dilakukan re-greening (reforestasi), kanal blocking, pembangunan sarana dan prasarana penunjang, serta pemberdayaan masyarakat sekitar.

Mengenai kanal blocking, TN Sebangau bersama WWF Indonesia telah melakukan pemblokiran terhadap lebih dari 150 dam di 80 kanal, dari total lebih dari 400 dam di sana. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kembali level air gambut, sehingga dapat terhindar dari kekeringan di musim kemarau yang menjadi salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan.

 

Menyiapkan Senjata

Landasan untuk pengukuran jumlah besaran CO2 yang berhasil disimpan, terus dilakukan. Meskipun ternyata metodologi pengukuran pengurangan emisi dari lahan gambut baru sedang dibuat. Namun prinsip MRV (Measurable, Reportable, and Verifiable) dipastikan menjadi konsep dasar.

“Metodologi untuk mengukur pengurangan emisi dari lahan gambut memang sedang kita buat. Ke depannya, pengukuran ini tentu terkait dengan prinsip MRV di mana setiap proyek yang terkait dengan upaya pengurangan emisi nasional harus bisa diukur, dilaporkan, dan divalidasi,” papar Adventus lagi.

Sambil mempersiapkan metodologi pengukuran yang baku, saat ini TN Sebangau tengah memasuki tahap demonstration activities, yang merupakan bagian sebelum REDD resmi diterapkan di dunia internasional. “Sebelum REDD full diberlakukan pada tahun 2012, ada tahap bernama demonstration activities seperti yang kini tengah dilakukan di TN Sebangau. Dari demonstration activities itu, kita akan bisa menarik pelajaran terhadap apa yang akan dilakukan ke depannya, khususnya lagi untuk kawasan TN Sebangau sendiri,” sambung Adventus lagi.

Namun, masalahnya sekarang adalah kerusakan yang terjadi di kawasan TN Sebangau terhitung parah. Tercatat antara tahun 2002 hingga 2007, dari lahan seluas 568.700 hektar, sekitar 66.000 hektar mengalami kebakaran hutan dan penebangan liar. Kondisi tersebut makin diperparah dengan dibangunnya kanal-kanal air mulai tahun 1990. Karena aktivitas tersebut membuat TN Sebangau rentan terhadap degradasi hutan, baik karena alam atau pun akibat ulah manusia. Degradasi hutan itu yang memicu terlepasnya karbon dioksida yang sangat tinggi ke atmosfer.

Kerusakan yang terjadi di kawasan TN Sebangau dibenarkan oleh Kepala Seksi Pengelolaan TN Sebangau, Rosdy Abaza. “Sekitar 66.000 ha dari total kawasan TN Sebangau memang telah terdegradasi. Hal ini sangat disayangkan mengingat TN Sebangau kaya akan lahan gambut yang memiliki dua fungsi penting, yaitu sebagai gudang air dan sebagai penyerap karbon,” tandasnya, sambil duduk diatas perahu.

 

Peran Maksimal Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu ukuran keberhasilan penerapan program REDD. Sebab bagaimanapun baiknya membantu mengurangi penyebab perubahan iklim, tanpa partisipasi masyarakat di dalamnya, maka program tampak seperti tanpa makna saja.

“Upaya pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan terkait dengan pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TN Sebangau sendiri. Selain itu, kita juga memberikan bantuan bibit tanaman kepada masyarakat. Tujuannya adalah agar ke depannya masyarakat tidak lagi mengambil kayu di hutan,” ucap Rosdy Abaza lagi.

Hanya kemudian yang dirasa perlu dikedepankan merupakan proses sosialisasi REDD, agar masyarakat makin merasa perlu dan mau membantu mendukung program ini. “Secara terminologi, masyarakat di sekitar kawasan TN Sebangau memang belum mengenal istilah REDD. Tapi hingga kini masyarakat sudah ikut aktif dalam persiapan menjelang diterapkannya REDD pada tahun 2012 nanti. Oleh karena itu, yang mesti dilakukan sekarang ini adalah sosialisasi REDD bukan dengan bahasa teknisnya, tetapi menggunakan bahasa yang sederhana. Prosesnya pun tidak akan instan dan cepat,” tutur Adventus menambahkan.

Sekarang ini, sosialisasi REDD kepada masyarakat sekitar TN Sebangau bisa dikatakan sudah memberikan hasil yang positif, meskipun memang disampaikan dengan bahasa yang sederhana. Seperti komentar dari salah seorang warga masyarakat bernama Priyono, yang tinggal di Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau. “Saya dulu adalah penebang kayu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Penyuluhan yang dilakukan oleh Balai TN Sebangau bekerja sama dengan WWF Indonesia membuat saya sadar bahwa menebang kayu berbahaya bagi lingkungan,” tandasnya.

Namun sayangnya, proses sosialisasi REDD ini ternyata belum berjalan secara merata di wilayah lainnya di sekitar TN Sebangau tersebut. Hingga saat ini, kegiatan illegal logging masih dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar taman nasional. “Penduduk masih sering mengambil berbagai jenis kayu di kawasan TN Sebangau dan sama sekali tidak dilarang oleh pihak taman nasional. Selain itu, tidak ada juga penangkapan dan teguran yang dilakukan oleh pihak taman nasional jika terjadi pengambilan kayu di hutan,” papar Mamat, penduduk Desa Tumbang Ronen, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan.

Mamat menambahkan bahwa penduduk desa mengambil kayu di hutan dengan berbagai tujuan, terkait kebutuhan hidup mereka masing-masing. Misalnya saja mengambil kayu untuk membangun rumah dan membuat perahu. Dalam hal membuat perahu, jenis kayu yang dominan digunakan adalah jenis kayu dari pohon Meranti.

Dari kondisi tersebut jelas belum maksimal sebenarnya nilai partisipasi masyarakat, dalam kaitan program REDD. Namun bila mengingat dominannya nilai REDD dalam angka penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Seperti dituturkan Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar, dimana sektor kehutanan dan lahan gambut merupakan sektor yang memiliki target penurunan emisi paling besar, yaitu sebesar 22,8 % atau 0,672 giga ton CO2e, dari total target penurunan emisi dengan upaya sendiri sebesar 26 % atau 0,767 giga ton CO2e pada tahun 2020. Ditakutkan bisa tak tercapai bila partisipasi masyarakat terus tak maksimal mendukungnya. Sama kira-kira seperti menyiapkan senjata untuk perang, namun tak mengajak saudara untuk menang. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.