Posted in

INDUSTRI EKSTRAKTIF BEBAS RUSAK LINGKUNGAN

thumbnailJakarta – Industri ekstraktif seperti pertambangan dan energi, dianggap banyak mendapat kemudahan dan merugikan masyarakat. Sektor ini seperti memiliki kekebalan hukum, jaminan keamanan, investasi tambang yang dapat subsidi, dengan bebas menggunakan fasilitas umum, dan bebas merusak lingkungan.

 

Seperti dikatakan oleh koordinator Jatam, Andrie S Wijaya, bahwa industri ekstraktif ini cenderung kebal hukum. Hal tersebut dikatakannya terlihat dari kasus pajak yang melibatkan beberapa perusahaan di sektor pertambangan batubara.

Mereka mengurangi pajak tanpa tersentuh hukum. Ini temuan BPK bahwa mereka menemukan ada tunggakan pajak sebesar Rp 2,1 triliun,” ungkap Andrie di sela-sela acara diskusi Industri Ekstraktif di Jakarta (8/7).

Menurut Andrie, jika temuan BPK tersebut baru dalam jangka waktu yang dekat ini, tidak tertutup kemungkinan kasus yang sama telah terjadi beberapa kali, dan bukan hanya sekali ini saja. Sebab, imbuhnya, mentalitas korupsi itu kalau tembus sekali, pasti akan terus berlanjut, kecuali terungkap media dan ada investigasi dan penegakkan hukum yang berjalan.

Kalau ini beru terungkap, mungkin kasus yang sama juga sudah pernah terjadi,” ujar Andrie

Dalam kasus ini, pihaknya (Jatam) melihat ini adalah sebuah kelemahan dari sistem pemerintahan, baik dari sisi pengawasan di lapangan maupun dari sisi penegakan hukum di Indonesia.

“Ini adalah suatu kelemahan dari sistem pemerintahan kita saat ini baik dari sisi pengawasan di lapangan, maupun dari sisi penegakkan hukum itu ini adalah `poin penting`,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Studi Minyak Bumi dan Ekonomi Energi Kurtubi mengatakan bahwa arsitektur industri ekstraktif di Indonesia saat ini perlu diperbaharui, karena cenderung merugikan rakyat, dan perannya sangat kecil terhadap penerimaan Negara, hanya sekitar sekitar 30 persen, dengan tingkat produksi yang sangat besar.

Indonesia termasuk produsen sekaligus eksportir terbesar batubara, tapi tidak bisa mensejahterakan rakyat. Tapi hanya menimbulkan kerusakan lingkungan,” ujar Kurtubi, pada kesempatan yang sama.

Kurtubi juga menganggap bahwa sistem pengelolaan tambang di Indonesia saat ini masih sangat kental berbau kolonial, karena dalam proses penambangan masih menggunakan sistem kontrak karya (KK).

Dia menegaskan, bahwa pengelolaan industri ekstraktif di Indonesia harus kembali pada pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang Undang Dasar 1945, bahwa kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Pengolahan dan penguasaan industri ekstraktif kita harus kembali pada pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945,” tegasnya.

Ia menambahkan, bahwa semenjak adanya Undang-undang Minyak dan Gas ( UU Migas) yang baru, produksi minyak Indonesia selalu anjlok, karena proses investasi yang berbelit-belit, pengolahannya yang tidak efektif sehingga merugikan Negara dan rakyat.

Seharusnya pemerintah bertanggungjawab, dan jangan masih mempertahankan pengelolaan yang seperti ini. Dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah Menteri Teknisnya, bukan Presiden, karena yang lebih tau kenyataan yang sebenarnya itu adalah Menterinya,” ucap Kurtubi keras. (teddy setiawan)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.