Posted in

INPRES MORATORIUM KELUAR TELAT SEHARI

thumbnailDijadwalkan terbit hari ini, Kamis (19/5), Inpres Moratorium Hutan Primer dan Lahan Gambut itu akhirnya molor sehari.   Jakarta-Beralasan telat diberi nomor, Instruksi Presiden (Inpres) tentang Moratorium Hutan Primer dan Lahan Gambut, Kamis (19/5) telat terbit sehari. Ketua Harian Dewan Perubahan Iklim Nasional (DNPI) Agus Purnomo menyatakan keterlambatan ini murni karena masalah administrasi saja dan bukan politis.   “Sudah ditandatangani Presiden sore ini (Kamis, 19/5), tapi karena prosedur birokrasi turunnya inpres itu agak terlambat dan orang yang mengurusnya sudah keburu pulang,” kata Agus.   Meski telat sehari Agus berjanji inpres moratorium itu akan segera terbit besok, Jumat (20/5). Dokumennya akan diterbitkan di www.setkab.go.id. Menurut Agus, peraturan tersebut dinamai inpres itu pada intinya akan melarang penebangan hutan primer dan hutan gambut di wilayah Indonesia. Sementara untuk hutan sekunder semacam hutan kemasyarakatan atau hutan tanaman industri akan tetap berlaku businesas usual. Sekalipun hal ini juga akan mendukung rencana Kemenhut memasukkan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Industri ke dalam mekanisme REDD+.   Agus tetap menolak mengirimkan dokumen moratorium itu sebelum diumumkan di situs resmi sekretaris kabinet. Dan sekalipun nampaknya condong ke versi moratorium usulan Kementerian Kehutanan, Agus menyatakan dokumen tersebut tidak memihak versi manapun.   “Tidak satu pun (versi dokumen moratorium Satuan Tugas REDD+ atau Kemenhut). Kita hanya akan melakukan moratorium berdasarkan peta hutan yang ada di Indonesia saja,” kata Agus Purnomo.   Dan moratorium itu akan dilaksanakan berdasarkan peta hutan nasional milik Kemenhut. Agus mengakui memang hingga kini Indonesia tidak memiliki peta baku hutan nasional yang sama dengan keadaan di lapangan. Karena desentralisasi, kerap kali peta hutan nasional miliki Kemenhut berbeda dengan realita di daerah. Artinya, kerap kali dalam peta nasional Kemenhut memasukkan suatu daerah sebagai hutan namun di lapangan sudah berubah menjadi perkebunan sawit atau bahkan kota.   Data lembaga riset kehutanan CIFOR menemukan tumpang tindih peta hutan nasional ini tak hanya terjadi di daerah terpencil. Sebagian besar wilayah Kota Palangkaraya misalnya, sempat tercatat sebagai wilayah hutan.   Agus menyatakan untuk mengantisipasi peta yang tak akurat ini, inpres itu mengharuskan Kemenhut memperbaharui peta hutan nasional mereka sekurangnya setiap 6 bulan sekali terhitung dari Jumat, 20/5, tanggal inpres itu dikeluarkan.   “Yah, kita (DNPI) juga tidak akan malu-malu meminta Kementerian Kehutanan memperbaiki petanya setiap kali ada laporan temuan yang berbeda di lapangan,” kata Agus.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.