Pengakuan untuk hutan adat di Kabupaten Kampar, Riau telah diinisiasi dari tahun 2012. Atas dukungan organisasi masyarakat sipil yang membentuk tim percepatan proses ini di tahun 2017, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan SK untuk dua dari tujuh kenegerian adat. Namun perjalanan masyarakat adat Kampar, masih panjang.

Liputan ini pertama kali terbit di Suarariau.co pada tanggal 12 Januari 2021 dengan judul “Jalan terjal pengakuan hutan adat di Riau”.

Oleh Imelda Vinolia

Di tengah kepungan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, Hutan Imbo Putui masih tegak berdiri. Lestarinya hutan seluas 251 hektare tersebut berkat masyarakat adat Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang menjaganya turun-temurun.

Hutan yang diapit Sungai Tapung Kiri dan Sungai Petapahan tersebut,  menjadi sumber kehidupan bagi sekitar seribu jiwa masyarakat adat setempat. Sebuah mata air yang tak pernah kering selalu mengalir di dalamnya, meski di tengah musim kemarau.  Imbo Putui juga menjadi rumah sekitar 32 jenis burung dan 14 spesies mamalia.

Tak hanya itu, hutan ini menjadi salah satu plasma nutfah penting di Indonesia. Setidaknya ada 30 jenis pohon kayu utama, beberapa di antaranya tergolong langka seperti kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) dan meranti pirang (Shorea leprosula). Bahkan baru-baru ini masyarakat adat Desa Petapahan berhasil mendapatkan sertifikat sumber benih kulim kelas Tegakan Benih Teridentifikasi.

Makna penting Hutan Imbo Putui tercermin dari nama yang disematkan. Salah satu  dari pemuda Adat  Desa Petapahan, Habbib Bran’s menjelaskan, imbo berarti rimbo atau rimba, dan putui berarti putus. Dengan demikian, Hutan Imbo Putui artinya rimba yang menjadi tempat untuk memutuskan segala sesuatu yang penting dan  berkaitan dengan keberlangsungan kerajaan. “Intinya hutan adalah sumber segala sumber bagi masyarakat,” ujar Habib Bran”s pada suariau.co, Jumat (20/12/2020).

Hutan Imbo Putui djaga dengan sejumlah kearifan lokal. Apabila ada warga yang merambah, maka tokoh-tokoh adat akan memberikan sanksi denda berupa uang senilai dengan harga kayu yang ditebang per meternya. “Jika per meter kayu itu senilai 200 ribu rupiah, maka ia harus menggantinya sesuai dengan panjang kayu tersebut,” tutur Habib.

Hukum adat itu cukup ditaati oleh warga sehingga mengurangi laju degradasi hutan.

Jika dulunya warga menggunakan kayu hutan untuk membangun rumah, kini tidak lagi. Termasuk membiarkan pohon tua yang melapuk di dalam hutan. “Sebab, jika satu warga diberikan kesempatan menebang pohon, maka yang lainnya pasti akan menuntut. Makanya hutan ini hanya dibiarkan saja,” Habib menjelaskan.

Sebagai sumber kehidupan yang penting, masyarakat adat Desa Petapahan telah berjuang agar Hutan Imbo Putui tetap terjaga dan diakui negara. Mereka menyadari, masifnya investasi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, sewaktu-waktu bisa mengancam keberadaan Imbo Putui.

Didampingi oleh Tim Kerja Percepatan dan Penetapan Hutan Adat Kampar (TKP2HAK), masyarakat Kenegerian Petapahan mulai mengurus pengakuan Hutan Imbo Putui sejak 2017. Prosesnya dimulai dengan mengegolkan SK Bupati Kampar Nomor: 660 – 491 / X / 2019  dan mengajukan pengakuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui skema perhutanan sosial.

Perjuangan panjang masyarakat terbayar lunas dengan diberikannya  pengakuan hutan adat Kenegerian Petapahan oleh Presiden Joko Widodo pada Februari 2020, melalui SK nomor 2503/menlhk-PSKL/PTKHA/KUM-1/9/2019.

Dengan pengakuan itu, Habib lega karena masyarakat adat bisa mempertahankan keberadaan hutan yang tersisa. Kini, mereka sedang merancang menjadikan Hutan Imbo Putui sebagai ekowisata untuk membantu ekonomi warga.

Anak-anak di Desa Gajah Bertalut sedang menunggu sampan untuk menyeberangi sungai agar sampai ke sekolah mereka. Desa Gajah Berbalut merupakan satu dari tujuh desa yang mengajukan pengakuan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2019. Foto: Imelda Vinolia / Suarariau.co

Tantangan mendapatkan pengakuan

Imbo Butui adalah salah satu hutan adat di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang mendapatkan pengakuan melalui program perhutanan sosial. Program tersebut secara resmi berjalan melalui Peraturan Menteri LHK No 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Kebijakan tersebut dirancang sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak atau hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Untuk periode 2015-2019, pemerintah sebenarnya mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk perhutanan sosial melalui lima skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

Tonggak pengakuan hutan adat tersebut terjadi setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menetapkan hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi hutan negara. Putusan itu mengoreksi UU No 41 tahun 1999 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara. Pelaksanaan pengakuan wilayah adat tersebut lebih dulu harus ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah atau surat keputusan (SK) bupati/wali kota

Kabupaten Kampar dapat memperoleh pengakuan hutan adat  karena telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 11 tahun 1999 tentang Tanah Ulayat. Potensi indikatif hutan adat di kabupaten ini cukup besar yakni seluas 203.000 ha yang tersebar di berbagai wilayah, baik di Kampar Kiri, Kampar Kanan, maupun Kampar Hilir.

Namun untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, masyarakat adat harus menempuh jalan terjal. Oleh karena itu, untuk mendampingi masyarakat adat, sejumlah organisasi masyarakat sipil membentuk Tim Kerja Percepatan dan Penetapan Hutan Adat Kampar (TKPPHAK) pada 2017. Mereka terdiri dari Bahtera Alam, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar, pelopor, penyuluh pertanian dan hutan serta akademisi.

Direktur Perkumpulan Bahtera Alam, Harry Oktavian menjelaskan, inisiasi hutan adat di Kabupaten Kampar sendiri sebenarnya telah berlangsung sejak 2012. Masyarakat adat dibantu berbagai lembaga swadaya masyarakat melakukan sejumlah tahapan panjang dimulai dari sosialisasi, pengukuran ulang dan pemetaan partisipatif yang melibatkan ninik mamak serta masyarakat adat lainnya.

Apabila kawasan hutan adat berada di luar kawasan hutan negara, maka pengakuan cukup dilakukan hanya sampai kepala daerah. Tahapannya, masyarakat adat akan mengajukan ke kepala daerah dan ditindaklanjuti dengan turunnya tim verifikasi ke lapangan. Akhir dari proses ini adalah terbitnya Surat Keputusan (SK) kepala daerah tentang pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat.

Namun apabila tegakan hutan berada di kawasan hutan negara, maka masyarakat adat harus mengajukan pengakuan hutan adat ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Proses ini akan berakhir dengan terbitnya SK KLHK.

Tak sedikit tantangan yang harus dihadapi TKPPHAK saat mendampingi masyarakat adat. Antara lain, kurang pahamnya masyarakat adat pada peraturan perundang-undangan serta peta yang mereka miliki masih sederhana. Tantangan semakin besar lagi apabila wilayah masyarakat adatnya  berkonflik dengan perusahaan pemegang konsesi atau dengan wilayah desa lainnya.

Video: Mantan Koordinator Lapangan World Resources Institute Indonesia memberikan penjelasan tentang pemetaan lahan adat di sepanjang Sungai Subayang Kampar Kiri Hulu, Kabupateni Kampar, Riau. Sumber: Imelda Vinolia / Suarariau.co

Seperti yang sempat terjadi pada Hutan Imbo Putui. Sebelumnya, kawasan ini tumpang tindih dengan izin konsesi perkebunan sawit milik korporasi besar. Masalah lainnya, luas Imbo Putui telah menyusut karena dicaplok oleh desa lainnya semasa Orde Baru.  “Penelusuran dokumen hingga riwayat berkurangnya lahan harus bisa didudukan kembali dan disepakati lagi bersama warga. Proses ini semua memerlukan waktu yang tidak sedikit,” kata Harry.

Setelah proses panjang sekitar tujuh tahun, pada 2019, tujuh masyarakat adat di Kampar, akhirnya mengajukan pengakuan hutan adat kepada Kementerian Lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) seluas 10.318,5 hektare (ha).

Tujuh masyarakat adat itu terdiri dari 641 hektare hutan adat di Desa Batu Songgan, 4.414 ha di Desa Gajah Bertalut, 251 ha di Desa Petapahan, 1.827 ha di Desa Aur Kuning, 767 ha di Desa Terusan, 156,8 ha di Desa Kampa dan Desa Koto Perambahan serta 1871,7 ha di Desa Bukit Melintang.

Setahun kemudian, perjuangan masyarakat adat di Kabupaten Kampar dan TKPPHAK berbuah manis. KLHK menyetujui  dua hutan adat yakni Hutan Adat Imbo Putui untuk Kenegerian Petapahan seluas 251 ha dan Hutan Adat Ghimbo Boncah Lidah Kenegerian Kampa seluas 156,8 ha. Kini, mereka masih menunggu penetapan lima hutan adat lainnya.

Di tempat terpisah, Bupati Kampar Catur Soegeng berjanji untuk mengawal pengajuan lima hutan adat yang belum mendapatkan SK KLHK. Keberadaan masyarakat adat, kata dia, justru dapat menjaga kelestarian hutan dan berpotensi sebagai ekowisata. “Hutan adat menjadi sumber daya alam lestari dan memiliki potensi ekowisata bagi warga Kampar,” kata dia.

Anak-anak bermain di sungai yang jernih di sekitar hutan adat Imbo Putui. Sungai yang dangkal dan jernih ini selalu dikunjungi wisatawan dan menjadi salah satu objek wisata Imbo Putui. Sumber: dokumentasi Suarariau.co

Omnibus Law dan pentingnya pengakuan hutan adat di Riau

Dari  12 jumlah kabupaten dan kota di Provinsi Riau, selain Kampar, ada Kabupaten Siak yang telah menerbitkan perda perlindungan masyarakat adat. Ada delapan kampung adat di Siak yang sudah disahkan sejak 2015 melalui Peraturan Daerah No 2 Tahun 2015. Namun belum ada hutan adat di Siak yang ditetapkan.

Menurut hasil penelitian Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), sedikitnya ada 308 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 12 kabupaten/kota di Riau.

Masih banyaknya daerah di Provinsi Riau yang belum memiliki perda atau SK perlindungan masyarakat adat dan hutan adat, membuat sejumlah lembaga waswas. Apalagi dengan terbitnya UU Cipta Kerja,  menjadi ancaman serius bagi keberadaan hutan adat ke depannya.

Hal itu diingatkan oleh Deputi Bidang Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi pada Simposium Perempuan Adat yang diselenggarakan AMAN Pusat pada Selasa (15/12/2020). Menurut dia, pasca terbitnya Omnibus Law itu, pengakuan terhadap hutan adat bakal makin tersendat. “Omnibus Law disahkan untuk memberikan karpet merah investasi skala besar yang dapat merugikan masyarakat adat,” kata dia.

Direktur Perkumpulan Bahtera Alam, Harry Oktavian, mengatakan pengakuan hutan adat oleh pemerintah daerah cukup penting karena  hutan menjadi identitas dan tempat bergantung hidup komunitas adat. Saat ini, sebagian besar komunitas adat terutama dari daerah terpencil  di Provinsi Riau, kehilangan hutan adat mereka akibat perluasan kawasan hutan tanaman industri (HTI), kebun sawit atau pembangunan lainnya yang telah berlangsung panjang.

Hutan adat yang tersisa saat ini, kata dia, akan terancam apabila belum mendapat pengakuan. Ini menimpa Hutan Adat Imbo Ayo yang luasnya 240 ha yang dihuni Suku Sakai Bathin Sobanga,  Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis.

Imbo Ayo terancam karena adanya rencana pembangunan jalan tol Pekanbaru – Rantau Prapat yang menggerus sepadan hutan selebar  100 meter dan  80 meter.

Suku Sakai sempat mengajukan keberatan dengan rencana jalan tol itu dengan  mendatangi Gubernur Riau Syamsuar pada Oktober 2020. Protes tersebut berhasil, Gubernur Riau bersedia mengalihkan jalur tol tersebut.

Kini, menghindari ancaman serupa, Suku Sakai sedang berjuang mengajukan pengakuan hutan adat ke Gubernur Riau dan KLHK. Prosesnya sedikit tertunda karena dampak pandemi Covid-19.

Untuk mendorong percepatan pengakuan hutan adat di daerah-daerah lainnya di Provinsi Riau, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dan sejumlah lembaga menginisiasi Tim Asistensi Percepatan Pengakuan, Perlindungan dan Pemajuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (Tanjak)  pada 15 November 2019. Tim ini wadah serupa TKP2HAK yang dibentuk di Kabupaten Kampar. Selain LAMR, Tanjak juga melibatkan  World Resource Institute (WRI) perwakilan Riau, Bahtera Alam, AMAN dan BRWA.

Tim tersebut mempunyai tugas mendorong terbentuknya peraturan daerah Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Provinsi Riau. Selain itu, pada 4 November 2020, LAMR telah melakukan penandatangan kesepakatan (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Riau Pada Rabu 4 November 2020 tentang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Balai Adat LAMR.

Penandatanganan MoU dilakukan oleh Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar dengan Ketua Dewan Pimpinan Harian LAMR, Datuk Syahril Abubakar. MoU tersebut dalam rangka menuntaskan persoalan hutan adat atau tanah ulayat di Riau.

Menurut Ketua LAMR, Datuk Sri Syahril Abu Bakar, LAMR dan Tanjak sedang berfokus mengurus pengakuan hutan adat di wilayah yang berkonflik dengan pihak lain, seperti di  Bonai sebanyak 1.500 ha, suku Anak Rawa 1.800 ha dan juga Bathin Selapan di Duri sebanyak 240 ha.

“Khusus untuk Bathin Selapan sudah mendapat respon gubernur dan gubernur telah menurunkan timnya. Kini masih tertunda karena gubernur terpapar covid,” ujarnya. Direncanakan Januari tahun 2021, namun belum ada kepastian tanggal, “ tambahnya.

LAMR dan WRI Riau yang berada dalam Tanjak tetap optimistis bisa membantu perjuangan masyarakat adat di Riau memperoleh hutan adat, di tengah berlakunya Omnibus Law. Beberapa opsi advokasi bisa dilakukan untuk melindungi masyarakat adat dan hutannya.

“Kami masih memiliki harapan antara lain dengan judicial review ke MK, memberikan masukan untuk peraturan pemerintah, dan peluang lainnya,” kata Manajer Perhutanan Sosial Dan Transformasi Konflik World Resource Indonesia, Rahmat Hidayat, 18 Desember 2020.

Sementara Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mendesak agar KLHK mempercepat penetapan hutan adat. Sebab realisasi penetapan hutan adat paling kecil dibandingkan skema lainnya dalam program perhutanan sosial.

Berdasarkan data KLHK hingga 28 Desember 2020, menurut Teguh, realisasi perhutanan sosial baru mencapai 4,4 juta ha dari target alokasi seluas 12,7 juta ha.  Dari angka tersebut, realisasi hutan adat baru mencapai 56.903 ha dan peta indikatif hutan adat seluas 1.090.754 ha. “Saat ini pengakuan terhadap hutan adat sangat lamban sekali,” katanya.

Selain itu, Teguh juga mendesak agar pemerintah membereskan tumpang tindih perizinan di dalam alokasi lahan 12,7 juta untuk perhutanan sosial. Penyelesaian izin yang tumpang tindih dapat mempercepat target realisasi perhutanan sosial, termasuk hutan adat.

Bidang Perencanaan  Program Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Provinsi Riau, Rudi, mengatakan bahwa percepatan pengakuan hutan adat sangat bergantung usulan dari masing-masing kabupaten. Selain itu, juga kolaborasi  antara masyarakat adat, pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, KLHK dan NGO.

”KLHK Riau hanya sebagai fasilitator,” ujar Rudi yang juga sebagai anggota tim KLHK untuk pengakuan Hutan Adat Bathin Selapan, Duri ini.

Rudi mengakui, mengeluarkan hutan adat dari hutan negara membutuhkan proses yang sulit. Sebab, harus didukung dengan dokumen hukum adat, tegakkan hutan, peta, hukum sosialnya adat, dan eksistensi organisasi.

Oleh karena itu, kata dia, kebanyakan  masyarakat adat memilih mengajukan hutan dalam skema perhutanan sosial lainnya seperti hutan desa atau hutan kemasyarakatan. “Kalau mengajukan hutan desa atau hutan kemasyarakatan itu syaratnya lebih mudah dan  cepat,” ujarnya.

KLHK sendiri papar Rudi menargetkan realisasi perhutanan sosial untuk Riau seluas 1,3 juta ha, termasuk  hutan adat di dalamnya.

Liputan ini didukung oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) melalui program workshop dan fellowship dengan tema ‘Masa Depan Masyarakat Adat’.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.