Posted in

JANGAN BILANG-BILANG INI REDD+

thumbnailTerkatung-katungnya negosiasi perubahan iklim di tingkat dunia membuat praktisi proyek percontohan REDD+ (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation and enhancing carbon stocks in developing countries) di Indonesia mulai ragu. Sampai-sampai ada yang enggan mengumumkan ke masyarakat setempat bahwa daerahnya itu akan jadi proyek REDD+. Bogor-Jargon REDD+ semakin hari semakin kerap terdengar diributkan di berbagai media massa. Perdebatan antar politisi, pemerintah dan lembaga non pemerintah membuat bayangan seakan-akan banyak uang segera mengucur begitu sebuah area ditetapkan menjadi daerah proyek percontohan REDD+. Salah paham ini mulai membuat para praktisi daerah percontohan REDD+ di lapangan jadi ketar-ketir sendiri. Mereka berpikir dua kali saat ingin mengumumkan ke masyarakat lokal sekitar proyek bahwa daerah itu akan menjadi proyek percontohan REDD+. Salah satunya adalah The Nature Conservacy (TNC), sebuah lembaga non pemerintah yang mengelola proyek percontohan REDD+ di Berau, Kalimantan Timur. Dicky Simorangkir, Direktur Program Kehutanan TNC mengakui keengganan mereka. “Takutnya mereka (masyarakat sekitar) berpikir REDD+ akan langsung mendatangkan banyak duit, sementara negosiasi iklimnya malah mogok, wah,gawat kita!,” kata Dicky. Sejenak tangannya terangkat ke leher seakan hendak menggorok diri sendiri. Kekhawatiran TNC akan mekanisme REDD+ ini memang bersumber pada negosiasi perubahan iklim di UNFCCC (United Nations Framework Conference of Climate Change). Negosiasi iklim internasional itu bertahun-tahun tak mampu juga menghasilkan keharusan yang mengikat secara hukum. Sehingga para negara maju belum juga punya keharusan memotong emisi karbonnya di titik tertentu pasca Protokol Kyoto 2012 nanti. Kalau-kalau perundingan tingkat dunia itu masih saja menemui jalan buntu, Dicky khawatir, harga karbon di pasar dunia akan anjlok. Maklumlah, harga karbon dalam mekanisme pasar memang bergulir layaknya harga saham yang bisa naik turun seiring isu berkembang. Nah, jika mekanisme pasar gagal, otomatis REDD+ bisa jalan hanya dengan harga sukarela hasil kesepakatan dengan negara donor. Ini artinya Indonesia akan membutuhkan kemampuan diplomasi tingkat tinggi merayu negara donor  untuk sepakat di tingkat harga karbon yang tinggi. Dan itu bukan hal yang mudah. The Sydney Heraldmelaporkan Pemerintah Australia sebagai salah satu negara donor REDD+,  akhir Mei 2011 justru sibuk menolak usulan kelompok hijau mereka sendiri untuk menetapkan harga karbon pada US $ 40 per ton. Entah bagaimana reaksi mereka jika usulan itu datang dari luar negaranya. Wajarlah jika Dicky deg-degan memulai Berau. Secara ekologis, Kabupaten Berau memang kandidat yang cukup oke. Berau dinilai sukses mempertahankan 75 persen daerah tutupan hutannya dan menjadi salah satu wilayah hutan hujan dataran rendah terbesar di Indonesia. Prestasi ini membanggakan. Tapi tetap saja, desakan ekonomi mengintai kelestarian hutan ini lewat pembalakan liar, perkebunan sawit, tambang batu bara dan tanaman industri. Jadi REDD+ dipandang sebagai mekanisme yang tepat untuk menjaga Hutan Berau tetap lestari dan ceruk kuali warga tetap terisi.   Maka jadilah TNC bersama Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten Berau memutuskan 800 ribu hektar hutan hujan daerah ini masuk program REDD+. Rencananya, luas hutan itu akan mampu mencegah emisi karbon 10 juta ton per tahun  dalam tempo lima tahun hingga 2015. Tak hanya itu, orang utan pun akan bersenang hati tetap punya tempat konservasi. Sementara dapur masyarakat setempat tetap ngebul  gara-gara boleh memanfaatkan hutan sesuka hati. Tanpa menebangnya tentu saja.   Namun di atas kertas TNC tetap lebih suka menyebut proyek mereka sebagai “Program Karbon Hutan Berau” saja. Alasannya seperti yang diungkapkan Dicky, mereka khawatir rakyat setempat telah salah mengerti tentang REDD+ dan menggantungkan harapan tinggi untuk mendapatkan dana besar dari program itu. Memang program ini sudah dimodali bersama US $ 50 juta. Tapi itu bukan jaminan program ini akan sukses menangguk laba karbon. Terutama jika negosiasi iklim internasional terus jalan di tempat. Daripada dilempari batu gara-gara tak bisa membayar janji, Dicky berpikir sebaiknya TNC jangan ribut-ribut. Pokoknya, jangan bilang-bilang ini REDD+.   Chief Technical Officer UN REDD Indonesia Machfudz bisa memahami kekhawatiran TNC itu. Apalagi program Berau memang tidaklah murni REDD+. Artinya, daerah itu sebenarnya sudah lama jadi wilayah proyek konservasi keanekaragaman hayati TNC. Proyek percontohan REDD+ hanyalah semacam tambahan keuntungan bagi wilayah yang sudah dilestarikan ini. Tak salah juga jika mereka lebih suka menyebutnya sebagai “Program Karbon Hutan Berau”.   “Jadi tidak akan ada desakan masyarakat untuk menanyakan proyek apa Berau itu. Mereka (TNC) memang sudah ada lama di sana,” kata Machfudz.   Tapi masyarakat setempat tetap punya hak untuk tahu. Pasalnya REDD+ sendiri sudah mengakui hak keterlibatan masyarakat setempat, yang di dalamnya termasuk masyarakat adat. Keterlibatan ini seharusnya dimulai dari awal perencanaan sampai implementasi REDD+ di lapangan. Termasuk berapa harga karbon dan apa mekanismenya nanti seharusnya diberitahukan ke masyarakat. Kewajiban ini punya jargonnya sendiri yaitu Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam REDD+.  Artinya masyarakat sekitar berhak secara bebas dan bahkan diutamakan untuk mendapatkan informasi detil mengenai REDD+ di daerahnya. Bahkan garangnya, masyarakat setempat dan masyarakat adat berhak saja menolak kehadiran proyek REDD+ di tempatnya. Itu kalau ada sesuatu dalam mekanismenya yang mereka rasa akan merugikan masyarakat sekitar.   Tapi masalahnya kembali lagi ke negosiasi iklim internasional yangmandeg-mandeg saja.   “Sampai sekarang negosiasinya (UNFCCC) memang masih berjalan, sehingga negara berkembang dipersilahkan mengembangkan proyek-proyek percontohan mereka sendiri,” kata Machfudz.   Maksudnya baik, agar REDD+ yang belum sempurna ini dikembangkan sendiri dengan cara belajar langsung di lapangan. Hitung-hitung sambil menunggu negosiasi rampung.   Namun Machfudz mengaku izin jalan sendiri-sendiri ini sering bikin masalah. Proyek-proyek percontohan itu tak selalu bisa diandalkan akan patuh pada keharusan FPIC. Ada yang sama sekali tidak melaksanakan FPIC dan ada yang melaksanakannya hanya separuh-paruh saja. Yang paling sering adalah FPIC pragmatis. Caranya, lembaga non pemerintah atau donor menganggap pemerintah sebagai perwakilan masyarakat setempat. Jadi tidak usah pusing menggalang sosialisasi dan sebagainya dulu ke masyarakat sebelum proyeknya benar-benar jadi.   Tapi toh bukan berarti semua pihak menerima jalan tengah itu. Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menolak membenarkan “potret lapangan” proyek REDD+ tersebut.   “Kalau dari sudut pandang pasar karbon, saya bisa mengerti kekhawatiran mereka. Tapi dari segi hak masyarakat adat seharusnya mereka tetap melakukan tindakan prepareness danreadiness (persiapan dan kesiapan) REDD+ sesuai Deklarasi Cancun,” kata Abdon.   Negosiasi iklim terakhir di Cancun, Meksiko Desember 2010 menghasilkan sebuah deklarasi yang salah satu isinya mengharuskan badan atau pemerintah pelaksana proyek percontohan REDD+ melakukan persiapan dan kesiapan FPIC. Persiapan dan kesiapan itu salah satunya dilakukan dalam bentuk pemetaan hak-hak adat di hutan. Jadi tidak hanya sekedar menyiapkan mekanisme pasarnya. Pengertian hak masyarakat adat dalam FPIC dalam Deklarasi Cancun ini pun didasarkan kepada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menjadikan hak FPIC sebagai bagian dari hak asasi manusia.   “Jadi tidak ada itu namanya FPIC pragmatis karena pemerintah tidak bisa dikatakan mewakili hak asasi masyarakat. Yang ada hanya satu, yaitu FPIC,” kata Abdon.   Pengakuan FPIC sebagai hak asasi manusia ini otomatis membuatnya berhak pula atas “fasilitas” lain dari pemerintah. Tak pernah ada dalam kamus kehidupan ini, hak asasi manusia seenaknya diwakilkan pemerintah setempat. Sebaliknya sesuai Piagam PBB, pemerintah justru wajib menghormati, mengakui, melindungi dan menyediakan hak asasi manusia bagi masyarakatnya.   Karena itu menyiapkan suatu wilayah menjadi proyek percontohan REDD+ tanpa FPIC bisa dikategorikan keliru menurut hukum internasional. Organisasi-organisasi pengamat seperti AMAN juga secara teori berhak membatalkan sertifikasi proyek itu di masa depan, jika terbukti proses FPIC tidak benar-benar dijalankan. Dan Abdon dari AMAN tak segan melakukannya.   “Kalau sampai terjadi (REDD+ tanpa FPIC), maka AMAN akan meminta pembatalan sertifikasinya di tingkat dunia,” kata Abdon, yang juga duduk dalam badan pengawas pemerintah untuk pelaksanaan REDD+ ini.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.