Posted in

JEPANG SUDAH KEMBALI

thumbnailDi sela-sela negosiasi perubahan iklim dunia di Durban, Afrika Selatan, Jepang menunjukkan mereka ingin kembali diperhitungkan sebagai salah satu donatur terbesar  untuk isu perubahan iklim di Indonesia.
Durban-Duta Besar untuk Masalah Lingkungan Global dari Delegasi Jepang, Masahiko Horie, 6/12, ikut hadir dalam Peluncuran Buku Rachmat Witoelar on Climate Change  yang dilaksanakan di Paviliun Indonesia. Horie menyatakan, dia hadir untuk mempertegas hubungan baik Jepang-Indonesia yang dekat secara historis, kultur maupun ekonomi.
“Saya hadir di sini karena Indonesia dan Jepang memiliki hubungan yang dekat, dan tahun in juga adalah tahun kepresidenan Indonesia dalam ASEAN dan ASEAN + 3,” kata Horie yang adalah orang kedua tertinggi dalam tim negosiasi Jepang di Durban.
ASEAN berencana mewujudkan kawasan regional ekonomi pada 2015, yang menarik perhatian banyak negara-negara ekonomi besar Asia Timur seperti Korea Selatan, Jepang dan China untuk ikut bekerjasama. Untuk menampung hasrat ketiga negara inilah, dibentuk Asean plus 3, yang kemudian juga dilanjutkan dengan pembetukan Asean Regional Forum, saat Uni Eropa, Rusia dan Amerika mulai menunjukkan minat yang sama berebut kue di wilayah ekonomi Asean.
Setiap tahun, Deputi Direktur Jendral JICA untuk masalah lingkungan Karasawa Masayuki menyatakan badan donor Jepang ini telah berkomitmen menyumbang USD 2 Milyar untuk program-program pembangunan berkelanjutkan di Indonesia, termasuk di dalamnya program mitigasi seperti REDD+ atau program pelaporan mitigasi tersebut yang dikenal dengan MRV.
Masayuki menyatakan JICA saat ini memprioritaskan dana bantuannya untuk India, Bangladesh, Vietnam dan Indonesia.
“Tapi Indonesia mendapat dana paling banyak, karena sejarah panjang kedua bangsa, dan harus dimengerti dana bantuan ini timbal balik dampaknya. Apa yang menguntungkan bagi pertumbuhan kalian juga akan menguntungkan bagi kami,” kata Masayuki, merujuk pada banyaknya industri-industri kerjasama Jepang-Indonesia yang berkembang di nusantara.
Sejak janji kucuran dana REDD+ mulai hangat dibahas akhir 2010 di publik, Uni Eropa terutama Norwegia tampak sebagai negara donatur yang lebih menonjol dibandingkan Jepang, Australia bahkan Amerika di Indonesia. Terutama setelah ribut-ribut moratorium, Norwegia tampak mengambil perhatian terbanyak.
Rully Prayoga, Koordinator Asia Timur dari 350 derajat menyatakan kini Jepang mulai unjuk diri lagi dalam sesuatu yang disebutnya sebagai “Permainan Dana Bantuan”. Menurut Rully, permainan dana bantuan ini biasa digunakan negara-negara donor untuk mempengaruhi posisi suatu negara lainnya dalam negosiasi perubahan iklim atau untuk menunjukkan berapa besar program yang telah mereka lakukan tanpa harus berkomitmen kepada sesuatu yang mengikat secara legal.
“Mungkin saja permainan bantuan yang sama juga dilakukan di sini, sama seperti yang sedang dilakukan Amerika untuk memecah belah posisi Uni Afrika di negosiasi ini,” kata Rully.
Jepang sekarang distigma sebagai salah satu negara yang bikin macet negosiasi perubahan iklim. Bersama Rusia dan Kanada, negara matahari terbit ini menolak melanjutkan komitmen kedua Protokol Kyoto, dengan alasan tidak adanya keharusan global memotong emisi yang adil antara negara maju dan negara berkembang di dalam perjanjian itu.
Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo tak menanggapi tudingan  “Permainan Dana Bantuan” ini. Dia hanya menegaskan posisi Indonesia yaitu ingin dunia melanjutkan komitmen kedua Protokol Kyoto, lengkap dengan semua komitmen pengurangan emisi negara maju plus peluang bagi negara berkembang untuk secara signifikan dapat dihitung “kontribusinya” dalam mengurangi emisi nasional mereka.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.