Posted in

MANGROVE SULIT TUMBUH DI PANTAI TERBUKA

thumbnailJakarta – Sebagai salah satu bagian dari ekosistem pantai, tanaman mangrove diindikasikan sulit untuk tumbuh di wilayah pasir pantai yang terbuka. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Bidang Sarana Penelitian, Pusat Penelitian (P2) Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pramudji, Senin (15/11/2010).

“Jika ingin ditanam di wilayah tersebut, dibutuhkan pemecah gelombang (breakwater) untuk melindungi keberadaan mangrove di sana. Namun, pemecah gelombang hanya dapat diperoleh dengan biaya yang tinggi (high cost),” ungkap Pramudji.

Dia mencontohkan bahwa pemecah gelombang seperti yang ada di Bali dapat melindungi keberadaan mangrove di sana. “Di sana, mangrove ditanam di belakang pemecah gelombang tersebut,” sambungnya. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa mangrove lebih cocok dan lebih mudah tumbuh di wilayah muara sungai. Hal ini karena material di muara sungai yang berupa lumpur dan sedimen lainnya dapat membantu tumbuhnya mangrove. Selain itu, menurutnya, mangrove juga lebih cocok ditanam di wilayah pulau-pulau kecil.

Mengenai habitat mangrove, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) atau Center for Ocean Development and Maritime Civilization Studies (COMMITS), Suhana, Minggu (14/11/2010), juga menyatakan bahwa tanaman tersebut akan sulit tumbuh di wilayah pasir putih pantai.

“Jika mangrove ditanam di wilayah pantai yang 100 persen berupa pasir putih, maka akan sulit untuk tumbuh. Akan tetapi, mangrove bisa ditanam di wilayah yang agak ke darat dan ada media tanahnya,” urainya.

Menurutnya, jenis mangrove yang baik untuk ditanam di suatu wilayah adalah jenis mangrove yang pernah tumbuh di wilayah tersebut. Hal itu karena mangrove memiliki karakter yang berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. “Umumnya, bibit mangrove di setiap lokasi memiliki karakteristik tersendiri. Sebagai contoh adalah bibit mangrove dari Pulau Jawa yang tidak bisa ditanam di tempat lain karena berbeda karakternya. Hal ini pernah kita buktikan ketika melakukan penanaman mangrove besar-besaran di Aceh pascatsunami dan banyak mengalami kegagalan karena bibit mangrove-nya dibawa dari Pulau Jawa,” lanjutnya.

Lebih jauh, sambungnya, dari tahun ke tahun jumlah tutupan lahan mangrove di Indonesia selalu mengalami penurunan. Penyebabnya adalah peningkatan kegiatan konversi hutan mangrove untuk berbagai tujuan, seperti tambak, kawasan industri, permukiman, kayu arang, dan bahan bangunan. “Upaya pemerintah sebenarnya sudah banyak, misalnya melalui program rehabilitasi mangrove. Akan tetapi, program penyelamatan mangrove tersebut tidak sebanding dengan laju konversi hutan mangrove,” tutupnya. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.