Posted in

NEGARA MAJU HARUS BERANI TURUNKAN EMISI LEBIH BESAR

thumbnailJakarta – Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim tidak dapat dihindari. Negara maju dinilai jauh lebih siap menghadapi perubahan iklim dengan kelengkapan infrastruktur dan ketersediaan dana. Upaya adaptasi akan sangat bergantung pada kemauan negara-negara maju, untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan jumlah yang lebih besar. Target pengurangan emisi negara maju saat ini dinilai tak akan mampu menghindari ancaman bahaya perubahan iklim.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Program Iklim dan Energi Word Wide Fund (WWF) Indonesia, Ari Muhammad dalam diskusi dengan Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) di Jakarta (23/11/2010).

Dikatakan Ari, untuk menghindari dampak yang lebih buruk dari perubahan iklim, negara-negara maju harus segera menurunkan emisi gas rumah kacanya secara drastis. Sebab, tindakan tersebut akan sangat membantu dalam upaya adaptasi. Jika tidak, akan sangat berdampak serius pada kesiapan dan kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan dampak perubahan iklim pada negara-negara berkembang.

“Tak ada pilihan selain mereka yang tergabung dalam negara-negara maju tadi mau mengurangi emisinya dalam jumlah yang besar,” ujar Ari.

Laporan kelompok kerja IPCC yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi akan naik sebesar 1,8 – 4 C, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK).

Dikatakan Ari, untuk menekan tingkat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim di Indonesia, perlu dilakukan pendekatan melalui pembangunan yang memperhatikan manajemen lingkungan hidup dan memperdulikan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh suatu pembangunan terhadap ekologi serta ekosistem wilayah.

Disisi lain, tambah dia, perlunya meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat. “Ini adalah sebagai langkah untuk memperkuat kesiapan perekonomian dan penduduk agar lebih tahan terhadap dampak negatif perubahan iklim tersebut,” tutur dia.

Fokus Di Tingkat Nasional

Untuk menghadapi ketidakpastian lahirnya perjanjian mengikat dari COP 16 yang akan diselenggarakan di Cancun yang akan datang, ia menilai Indonesia harus fokus pada kesiapan dan langkah kongkrit di dalam negeri untuk menjawab persoalan dan tantangan terhadap ancaman dan dampak perubahan iklim tersebut.

“Kita harus fokus pada kesiapan di dalam negeri. Ini merupakan jawaban terhadap ketidakpastian lahirnya perjanjian mengikat dari CoP 16 Cancun dan selanjutnya serta negosiasi lainnya dibawah UNFCCC,” tambahnya.

Meski demikian, imbuhnya, kebijakan yang telah dikembangkan dan program serta aktifitas adaptasi yang akan dibangun harus tetap memperhatikan isu dan wacana yang berkembang dalam forum negosiasi. Sebab, lanjutnya, keputusan atau komitmen dibawah UNFCCC akan mempengaruhi kebijakan nasional karena isu dan persoalan adaptasi sangat erat dengan kebutuhan teknologi dan pendanaan.

“Selain itu, kegiatan dan aktifitas adaptasi Nasional akan memberikan pengaruh terhadap kepentingan dan posisi Indonesia di forum negosiasi internasional untuk perubahan iklim (UNFCCC),” imbuhnya.

Selain memperhatikan wacana dan keputusan yang akan dihasilkan pada COP 16, dalam mempersiapkan adaptasi di tingkat nasional, perlu mengetahui kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal tersebut diperlukan untuk menilai kesiapan dan ‘kesungguhan’ melalui perangkat/instrument yang dimilikinya.

“Tinggi atau rendahnya antisipasi ini sangat menentukan terhadap peluang ancaman yang ditimbulkan terhadap target pertumbuhan ekonomi dan capaian pembangunan lainnya yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang,” jelasnya.

Untuk itu, menurutnya, perlu dibangunnya mekanisme kerja yang jelas, detail dan prioritas serta capaian kerja yang terukur. Kejelasan dimaknai oleh hasil sikap yang disepakati secara konsisten oleh instansi atau sektor yang terkait dengan perubahan iklim.

Pada kesempatan sama, Deputi I Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, yang juga merupakan Sekretaris program REDD+ di Indonesia Heru mengatakan bahwa saat ini pendanaan yang ada untuk mitigasi sebesar US$30 juta dari Norwegia. Dana tersebut selain dipakai untuk membuat organisasi yang akan menangani masalah perubahan iklim, juga dipergunakan untuk melakukan pemetaan hutan di Indonesia. Sebab, hingga saat ini, terdapat perbedaan persepsi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan mengenai hutan.

Setelah itu, tambahnya, pihaknya akan mempersiapkan lembaga keuangan yang juga akan memikirkan mekanisme pendanaan sampai ke tingkat kabupaten. (teddy setiawan)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.