Posted in

Oh, Buyat, Riwayatmu Kini

Pada 2010, PT Newmont Minahasa Raya akan meninggalkan Buyat. Berbagai upaya pemulihan lingkungan akibat aktivitas penambangan telah dilakukan. Namun masyarakat Buyat masih dibayangi kekhawatiran terjadinya pencemaran. Sejumlah anggota masyarakat mengaku menderita penyakit aneh yang diduga akibat keracunan arsenik kronis.

Bukit Mesel kini laiknya perbukitan pada umumnya. Permukaan bukit setinggi 420 meter itu dipenuhi pohon berbagai jenis, yang diselingi semak-semak belukar. Delapan tahun lalu, kawasan di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara, itu adalah lokasi pertambangan emas yang diusahakan PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Hampir setiap hari di wilayah itu terdengar deru mesin-mesin pabrik dan derap roda truk berukuran raksasa. Juga kepulan asap hitam dari cerobong pabrik pengolahan emas.

Kini hiruk-pikuk kerja pertambangan tak terdengar lagi. Emas sebanyak 1,9 juta troy ounce telah tergali. Dan sejak 2004, PT NMR pun menutup tambangnya. Mesel direklamasi, dikembalikan menjadi hutan tanaman produksi terbatas. Seluruh bangunan pabrik, mes pekerja, dan perkantoran telah dibongkar. Sebagai gantinya, areal seluas 240 hektare itu ditumbuhi 155.000 jenis pepohonan buah, seperti jambu mete, durian, kakao, dan mangga, serta tanaman kayu bernilai ekonomi tinggi, seperti mahoni, nyatoh, dan jati.

Satu-satunya tanda bahwa di sana pernah ada pertambangan adalah sebuah danau besar seluas 700 x 500 meter dengan kedalaman 135 meter, bekas kawah galian tambang utama yang juga bernama Mesel. Selain itu, ada pula jalan berbatu-batu bekas jalan tambang yang sebagian masih mulus.

Kini jalan itu kerap dilalui ”mobil rambo” –sebutan untuk mobil berpenggerak empat roda beratap terbuka. Mobil itu digunakan penambang rakyat untuk mengambil bijih emas di bekas tambang milik Belanda yang terletak di bagian paling atas bukit.

Untuk melakukan reklamasi itu, Newmont mengeluarkan dana tak kurang dari US$ 5,6 juta. Menurut David Sompie, Site Manager PT NMR, proyek reklamasi itu seharusnya berlangsung sampai tahun 2016. Namun, karena Newmont berhenti beroperasi sejak 2004, pelaksanaannya dipercepat hingga tahun 2010. Proyek ini dipantau Departemen Kehutanan. Jika dinilai oke, Bukit Mesel bisa dikembalikan kepada pemerintah. ”Setelah itu, kami akan angkat kaki dari sini,” kata David kepada Gatra.

Selain areal perbukitan, areal bekas mes karyawan Newmont juga akan diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. ”Kemungkinan di sini akan didirikan hotel,” ujar David. Sesuai dengan rencana, setelah Newmont hengkang dan tak lagi bisa digunakan untuk pertambangan, daerah itu akan dijadikan daerah wisata. Terutama wilayah Teluk Buyat dan Totok, yang akan dijadikan daerah wisata bahari, seperti memancing, menyelam, dan snorkeling.

Untuk itu, PT Newmont juga melakukan reklamasi laut dengan penanaman terumbu karang buatan (reef ball). Tak kurang dari 3.000 reef ball ditanam di dasar laut untuk tempat tumbuh kembangnya karang dan ikan. ”Karang-karang itu tumbuh baik. Ini dapat dilihat dari mulai banyaknya ikan kupu-kupu yang merupakan indikator kesehatan karang di wilayah ini,” kata Jerry Kojansow, Manajer Lingkungan Newmont.

Newmont bekerja keras untuk membuktikan janjinya kepada pemerintah, yang dituangkan dalam perjanjian iktikad baik, 16 Ferbuarai 2006. Intinya, Newmont berjanji meninggalkan wilayah Buyat dalam kondisi baik dan bebas pencemaran. Sebelum perjanjian itu lahir, sempat terjadi peristiwa tak mengenakkan bagi Newmont.

***

Pada 2004, dunia ramai membicarakan tentang pencemaran di Teluk Buyat. Anwar Striman, 38 tahun, mantan warga Buyat Pante yang kini tinggal di Duminanga, mengaku masih ingat kejadiannya. Peristiwa itu dimulai dengan matinya ribuan ikan di Teluk Buyat secara tiba-tiba. ”Hal serupa sebenarnya pernah terjadi pada 1997 sampai 1999,” kata Anwar kepada Gatra. Ketiak itu, warga belum terlalu khawatir.

Kematian ikan pada 2004 itu kemudian diikuti dengan jatuh sakitnya kebanyakan warga Buyat Pante, yang pada saat itu berjumlah 74 kepala keluarga (KK). Warga menderita benjolan di kulit seperti tumor serta mengalami pusing, kejang, dan lumpuh. Kekhawatiran warga bertambah setelah mereka juga menemukan adanya ikan kerapu yang memiliki benjolan yang sama. Kejadian yang dialami warga Buyat Pante pun menarik perhatian berbagai aktivis lingkungan hidup.

Berbagai penelitian dilakukan, antara lain oleh Markus Lasut, kandidat doktor pada Minamata Institute, Jepang, dan peneliti Kanada, Evan Edinger, yang meneliti kandungan mineral di Teluk Buyat. Hasilnya cukup mengejutkan. Mereka menemukan kandungan merkuri yang cukup tinggi di Teluk Buyat. Kadarnya mencapai 5,5 miligram per liter (mg/l). Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 51/2004, standar tercemarnya air laut oleh merkuri adalah 1 mg/l.

Selain merkuri, dua ahli itu juga menemukan pencemaran logam berat lainnya, seperti sianida, arsenik, kadnium, antimon, dan mangan. Bahan-bahan inilah yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit yang sama pada warga dan ikan yang ada di Teluk Buyat. Ketakutan terjadinya penyakit minamata di kalangan warga pun merebak. Minamata adalah penyakit kelumpuhan saraf akibat keracunan merkuri yang awalnya terjadi di Minamata, Jepang, pada 1956 akibat pencemaran di Teluk Minama.

Sebagian warga, persisnya 68 KK, memilih pindah ke Duminanga, sekitar 100 kilometer dari Buyat, termasuk Anwar Striman. ”Setelah pindah, kondisi kami berangsur-angsur baik dan tak lagi mengalami penyakit itu,” kata Anwar. Sisanya, 7 KK, memilih bertahan. Newmont pun dituding para aktivis lingkungan bertanggung jawab atas kejadian itu. Yang dijadikan dasar tudingan adalah proses pembuangan tailing –limbah yang dihasilkan dari kegiatan tambang– oleh Newmont ke perairan Teluk Buyat pada kedalaman 82 meter.

Pada kedalaman itu, menurut Rignolda Jamaluddin, ahli kelautan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang juga kerap mendampingi warga Buyat, tidak terdapat lapisan termoklin yang bisa menahan bahan-bahan berbahaya dari tailing agar tetap berada di dasar laut. Termoklin adalah lapisan yang bagian tengahnya memiliki massa air dengan kekentalan tinggi. Menurut dia, termoklin baru bisa ditemukan pada kedalaman di atas 300 meter.

Warga Buyat Pante dan aktivis lingkungan pun menuntut Newmont di pengadilan, dengan tuduhan pencemaran lingkungan. Petinggi Newmont, Richard B. Ness dan David Sompie, sempat dijadikan tersangka, tapi dibebaskan Pengadilan Negeri Manado pada 2007. Kasus ini kemudian mandek di Mahkamah Agung ketika jaksa penuntut umum melakukan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Manado.

Sampai saat ini, belum ada kepastian hukum apakah Newmont bersalah mencemari Teluk Buyat atau tidak. Newmont sendiri berkali-kali membantah telah melakukan pencemaran lingkungan. Pernyataan itu didukung dengan hasil penelitian.

***

Sejak 2006, lewat Panel Ilmiah Independen (PII) Newmont, kondisi Teluk Buyat terus dipantau. ”Hasilnya, baku mutu air Teluk Buyat sangat baik,” kata David Sompie. Menurut dia, PII membuktikan bahwa di perairan Buyat tidak terjadi pencemaran. Kandungan logam berat seperti merkuri dan arsenik masih berada di bawah ambang aman.

Menurut David, itu juga membuktikan bahwa tailing yang dibuang Newmont ke perairan Buyat tak mengandung bahan berbahaya karena telah diolah. Apalagi, kedalaman 82 meter, kata David, cukup aman karena hasil penelitian Newmont menunjukkan, lapisan termoklin di perairan Buyat sudah terdapat pada kedalaman 60-an meter. Ia berharap, warga tak lagi khawatir atas kondisi Buyat setelah Newmon hengkang nanti.

Toh, persoalannya tak sesederhana itu. Belakangan terungkap, warga di Buyat Kampung yang letaknya satu kilometer dari Buyat Pante mulai merasakan gejala serupa dengan yang dialami warga Buyat Pante. Sejak 2003, banyak warga Buyat Kampung yang menderita sakit berupa benjolan, kulit berbintik hitam, yang diikuti mual dan lumpuh.

Sardjono Paputungan, seorang warga Buyat yang ditemui Gatra, mengaku menderita benjolan di pipi kanannya sejak 2004. Mulanya, benjolan itu muncul di pipi kiri. Namun, setelah dioperasi, kini benjolan itu muncul di sebelah kanan. Beberapa warga lain menderita gejala serupa. Faisal Paputungan, misalnya, selain menderita benjolan, kulitnya melepuh berbintik hitam. Ia mengaku pun kerap merasakan sakit persendian yang luar biasa.

Sedangkan Harmin Moleong menderita lumpuh pada persendiannya setelah mengalami gejala yang sama dengan Faisal sejak 1997, ketika dia masih aktif bekerja di bagian produksi Newmon. Warga Buyat Kampung khawatir, pencemaran akibat aktivitas pertambangan juga terjadi di wilayah mereka. Apalagi, sejak 2004, angka kematian warga cukup tinggi, yaitu 59 orang dari 3.000-an warga. ”Mereka meninggal akibat penyakit itu,” tutur Faisal.

Seorang peneliti Jepang yang juga ahli arsenik, Nobuyuki Hotta, kemudian meneliti sumur-sumur warga Buyat Kampung. Hasilnya, ia menemukan kandungan arsenik cukup tinggi pada 43% sumur warga. Kandungan arsenik di sumur warga rata-rata di atas 0,05 ppm. Padahal, baku mutu air minum Indonesia mensyaratkan maksimal 0,05 ppm. Bahkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lebih ketat, yaitu 0,01 ppm.

Selain itu, Hotta juga menemukan kemiripan gejala penyakit yang diderita warga Buyat Kampung dengan gejala keracunan arsenik kronis (cronic arsenic poisoning –CAP). Ciri CAP adalah terjadinya melanosis yang terlihat dari lidah yang membiru, hiperkeratosis yang ditandai dengan mengerasnya telapak kaki dan munculnya warna kuning pada telapak tangan. Jika dibiarkan, akan terjadi bowen desease, yakni kulit berbintik merah besar. Jika sudah parah, bisa mengakibatkan tumor, kelumpuhan saraf, bahkan kematian.

Hotta memang tak menyimpulkan bahwa naik tajamnya kandungan arsenik di sumur warga berasal dari aktivitas tambang. Namun ia sangat merekomendasikan adanya penelitian lanjutan soal itu. Satu-satunya penelitian yang menyimpulkan adanya kaitan antara kegiatan pertambangan dan naiknya kadar arsen di Buyat Kampung adalah penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan tim hidrogeologi Ikatan Ahli Geologi Indonesia.

Dalam penelitian yang dilakukan pada 2005 itu, pada salah satu kesimpulannya disebutkan, potensi kandungan arsen yang tinggi di Desa Buyat, antara lain, akibat penambangan (buangan tambang). Tetapi tidak diketahui secara pasti pathway (alur terjadi)-nya. Sayang, hasil penelitian ini tidak pernah diseminarkan dan dibuka ke publik.

Karena itu, warga menuntut kejujuran pihak-pihak terkait, termasuk Newmont dan pemerintah. ”Kami sakit dan kami ingin tahu apa sebabnya,” kata Ishak. Menurut dia, jika memang terjadi pencemaran, sebaiknya warga diberitahu agar bisa mengantisipasinya. ”Kami tak menuntut banyak. Kami hanya menuntut kejujuran,” tutur Ishak.

M. Agung Riyadi (Minahasa)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.