Izin konsesi menyebabkan masyarakat Sawai di dekat wilayah pertambangan dan kawasan industri kehilangan lahan yang sudah jadi ruang hidup mereka turun menurun. Berbagai usaha dilakukan untuk melawan. Sementara pemerintah daerah menunggu keputusan pemerintah pusat, perusahaan mengklaim telah menjalani semua berdasarkan prosedur.

Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 10 Januari 2021 dengan judul “Masyarakat adat Sawai kehilangan ruang hidup”.

Oleh Mahmud Ichi

Hernemus Takuling, tak lagi setiap hari ke kebun. Warga Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara ini ke kebun saat mau panen pala atau kelapa saja. Pemasukan buat keperluan sehari-hari kini dia dapatkan dari usaha sewa kapal ikan jenis pajeko yang dibeli dua tahun lalu.

“Saya punya kapal ikan, saat ini dikontrak pengusaha Weda,” katanya.

Usaha ini sebagai bagian dari mencari jalan hidup setelah sebagian lahan dibeli perusahaan tambang nikel PT Weda Bay Nikel (WBN). Nemo, begitu dia biasa dipanggil terpaksa jual lahan karena sudah di kelilingi konsesi perusahaan.

“Lahan ini dilepas karena sudah dikurung perusahaan dan tidak bisa diakses lagi,” katanya.

Sebenarnya, Hernemus, salah satu warga yang gigih mempertahankan lahan sejak awal. Sejak 2008, saat perusahaan datang mau beli lahan warga, Nemo sudah menolak. Pada 2013, Nemo masuk penjara selama setahun atas vonis Pengadilan Negeri Soasio Tidore. Dia dianggap mengancam karyawan WBN yang kala itu melakukan pembebasan lahan.

“Sejak 2008 hingga 2013, di kawasan sekitar tambang memanas karena penolakan kami,” katanya. Dia protes karena pembebasan itu tak sesuai aturan dan mekanisme.

“Saya merasa apa yang dilakukan perusahaan kala itu salah, maka saya pertahankan tanah dan kebun. Tidak ada orang mau beli barang, pemilik harus ikut keinginan pembeli. Tidak bisa,” katanya.

Dia lalu mengandaikan, ada orang datang mau membeli baju ke toko. Datang ke penjual, tanya harga lalu tawar menawar. Jadi, katanya, tergantung pemilik mau berikan atau tidak.

“Bukan pembeli datang seenaknya tentukan harga lalu ambil barang. Begitu juga dengan lahan yang dimiliki sejak nenek moyang ratusan tahun lalu. Jika, tiba- tiba perusahaan datang mau ambil dengan mau sendiri tentu harus dipertahankan.”

Perusahaan, katanya, masuk membawa izin dan menentukan harga sendiri. Perusahaan minta per meter Rp8.000. “Tidak bisa tidak, harus diikuti pemilik lahan. Ini masalah.”

Dia terpaksa melepas sekitar 12 hektar lahan. Lahan produktif Nemo masih sekitar empat hektar berisi kelapa, pala dan cengkih. Ada juga lahan cadangan untuk kebun sekitar lima hektar.

“Saya berkebun dari dulu menanam tanaman tahunan. Tanaman itu sudah menjamin hingga anak cucu. Ketika perusahaan masuk harta jadi habis,” katanya.

Tak bisa penuhi pangan mandiri 

Nemo melawan perusahaan bersama-sama warga lain. Dia mengkonsolidasi 66 keluarga dari 300 keluarga di Desa Lelilef ini. Ribut warga tak hanya dengan perusahaan. Setelah investasi masuk, antara warga pun terjadi pro dan kontra. Orang yang setuju pembebasan lahan berhadap-hadapan dengan warga penolak. Bahkan, ada saudara, kakak-adik berseteru gara-gara terima dan tolak pembebasan.

Kala itu, perusahaan, gunakan orang kampung sebagai kaki tangan berhadapan dengan Nemo dan kawan kawan.

Nemo pun terjerat hukum karena penolakan ini. Ceritanya, lahan Cristopel, warga penolak, digusur perusahaan. Nemo datang untuk setop penggusuran tetapi berujung proses hukum dengan tuduhan mengancam perusahaan.

“Saya ke hutan menuju tempat penggusuran dan berusaha menghentikan. Saat itu, saya dihadang petugas karena bawa pisau akhirnya dikriminalisasi dan proses hukum,” katanya. Dia tentu heran ke hutan bawa pisau dianggap mengancam. Nemo setahun di penjara.

Nemo kuat menolak harga tanah sesuai tawaran perusahaan. “Harga itu tidak cukup beli satu kilogram gula. Itu yang bikin saya tolak.”

Lahan Nemo yang terpaksa dijual itu lepas dengan harga Rp35.000 per meter, lebih tinggi dari harga beli perusahaan ke petani lain.

“Dua belas hektar dibayar perusahaan denga harga berbeda. Saya tidak mau kompromi dengan harga yang ditawarkan pada masyarakat.”

Sejak perusahaan nikel ini datang, lahan-lahan produktif warga menyusut, bahkan ada yang tak lagi garap lahan. Tak pelak, katanya, bahan pangan seperti pisang, sagu atau hasil kebun lain terpaksa pasok dari luar desa dan harus beli. Pisang, misal, kebanyakan dari Tobelo, Halmahera Utara.

“Di kampung ini mau kita cari pisang saja susah, tidak ada yang punya kebun pisang. Rata-rata didatangkan dari luar,” kata Nemo.

Tidak hanya pisang, sayur mayur sampai cabai dijual warga transmigrasi yang masuk ke desa pakai motor. Di Weda Tengah, ada dua kawasan transmigrasi yakni Wale dan Kobe.

Nemo lantas memprediksi, lima sampai 10 tahun mendatang, bukan mustahil ledakan kemiskinan warga di sekitar tambang ini, terutama mereka yang menjual lahan. Saat itu, katanya, uang penjualan lahan sudah habis dan tak bisa menanam lagi. Di situlah kesengsaraan mulai dirasakan masyarakat.

PT Weda Bay Nikel (WBN), merupakan perusahaan joint venture antara PT Aneka Tambang (Antam) dengan Eramet Group, perusahaan asal Prancis. Berdasarkan Kontrak Karya (KK) Generasi VII tahun 1998, WBN berhak atas konsesi pertambangan seluas 76.280 hektar di sekitar Teluk Weda. Kontrak Karya WBN ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998.

Data di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan 90% saham Strand Mineralindo PTE Ltd (Eramet) dan 10% PT Antam. Kini, tak hanya perusahaan tambang, tetapi kawasan industri, dengan nama perusahaan, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park.

Data AMAN Maluku Utara menyebutkan, konsesi pertambangan tumpah tindih dengan kawasan hutan seluas 72.775 hektar, terdiri dari hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektar, hutan produksi terbatas (HPT) 20.210 hektar. Kemudian, hutan produksi tetap (HPT) 8.886 hektar, dan hutan produksi dikonversi (HPK) 8.524 hektar.

Wilayah eksploitasi tambang PT WBN di Desa Lelilief Sawai. Credit: M Ichi / Mongabay Indonesia Credit: M Ichi / Mongabay Indonesia

Orang Sawai dan sejarahnya

Izin konsesi ini menyebabkan masyarakat Sawai di dekat wilayah pertambangan dan kawasan industri kehilangan lahan yang sudah jadi ruang hidup mereka turun menurun.

Ada tiga komunitas adat Sawai tang berada di dalam konsesi Indoenesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) saat ini, yakni Lelilef Woebulen dengan 385 keluarga, Lelilef Sawai 279 keluarga dan Gemaf 266 keluarga.

Komunitas Sawai Desa Gemaf, bikin plang soal putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012, mengenai hutan adat bukan hutan negara. Meski begitu, setelah terpasang plang dicabut lagi oleh petugas perusahaan.

“Dipasang berulang-ulang tetapi tetap dicabut petugas. Saat ini plang itu sudah tidak ada karena dianggap berada dalam izin konsesi,” kata Supriyadi Sawai, Humas AMAN Maluku Utara (Malut).

Hingga kini , wilayah adat Sawai juga belum masuk data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) karena belum adanya pemetaan partisipatif.

Alfonsius Gabariel Budiman, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora-Universitas Halmahera (Uniera) dalam riset tentang orang Sawai, menjelaskan, Cekel disebut cikal bakal keturunan Sawai yang mendiami pesisir Weda bagian Timur yakni Desa Kobe Gunung, Kobe Peplis, Lelilef Wo’e Bulan, Lelilef Sawai, Gemaf, Sagea, Yeke, Sepo, Wale, Mesa dan Dote.

Orang Sawai percaya Cekel, selalu melindungi mereka ketika berada dalam ancaman bencana alam, manusia yang ingin membunuh atau juga ketika sakit. Mereka yakin ketika ada orang masuk hutan Sawai tanpa izin dari masyarakat setempat akan mendapat malapetaka.

Karena itu, kalau ada perusahaan masuk wilayah ini harus minta izin melalui tua–tua adat Sawai dengan membuat upacara khusus meminta izin pada roh nenek moyang Cekel agar selamat dari bahaya.

“Dari pandangan mereka lebih tinggi itu disebut Jou (Tuhan). Ada juga yang melihat bahwa Jou itu sebutan Kepada Sultan,” tulis Alfonsius dalam risetnya.

Sawai, katanya, memiliki makna air yang terpancar. Kini, warga Suku Sawai penduduk memeluk Islam dan Kristen Protestan.

Masyarakat Sawai hingga kini masih punya kepercayaan pada pohon, batu, dan goa–goa yang dianggap keramat. Bagi mereka ada kekuatan khusus. Selain itu, satu kepercayaan lagi adalah kepercayaan terhadap Legae Peay, setelah moyang Suku Sawai Cekel, meninggal dimakamkan di satu tempat yang diberi nama Lagae Lo’y (orang/paitua besar). Tempat ini selalu dipakai sebagai berziarah bagi orang Sawai.

Di Halmahera Tengah, selain masyarakat adat Sawai, juga ada Tobelo Dalam. Mereka hidup di pedalaman hutan Halmahera Tengah. Mereka diperkirakan datang dari Boenge Tobelo, satu kawasan di Halmahera Utara. Sebagian dari mereka ini masih nomaden di tengah hutan Halmahera. Sekali- sekali Orang Tobelo Dalam turun ke pantai.

Masyarakat adat Sawai di depan papan yang tertulis putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 mengenai hutan adat bukan hutan negara. Credit: AMAN Mauku Utara Credit: AMAN Mauku Utara

Kawasan industri

Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional menyebutkan, kawasan industri Teluk Weda di Halmahera Tengah masuk sebagai kawasan strategis provinsi.

Industri ini mengelola bahan tambang feronikel dan turunan jadi baterai untul kendaraan listrik, stainless steel dan fasilitas pendukung, sekaligus berfungsi sebagai smelter.

Dalam dokumen KATR/BPN itu menyebutkan, KI Teluk Weda sebagai wilayah pusat pertumbuhan industri sebagai penggerak utama yang perlu lahan 867,44 hektar. Pengelolanya, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park.

Pembangunan tahap I perlu lahan mencapai 3.250,92 hektar, tahap kedua 5.356,52 hektar.

“Kawasan Industri ini juga diproyeksikan menyerap tenaga kerja tambang hingga 100.000 orang. Tahap pertama 55.362 orang dan kedua 44.638 orang,” begitu isi dalam dokumen rencana detil tata ruang kawasan industri (RDTR KI) Teluk Weda.

Lahan skala besar itu berdampak pada ruang hidup terutama hutan dan lahan pertanian warga adat Sawai.

Munadi Kilokoda, anggota Komisi II DPRD Halmahera Tengah mengatakan, ruang hidup masyarakat makin terdesak karena kawasan industri ini. Lahan lebih dari 3.000 hektar ini lebih fokus untuk pembangunan kawasan industri, perumahan bahkan kawasan wisata, katanya, bakal berisiko terhadap ruang hidup masyarakat.

Dia juga mempertanyakan luas pasti kawasan industri ini. Awal saja sudah 3.000 hektar lebih. Tahap selanjutnya dibuka lagi 5.000 hektar lebih, nanti diatur lebih jelas dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk industri dan kawasan pendukung.

“Presentasi dokumen ini saya hadir dua kali. Saya berdebat soal dokumen KLHS-nya. Selain itu sangat nyata terkena dampak adalah kawasan perkebunan milik warga di pesisir.”

Dia bilang, kemungkinan besar warga tergusur karena lokasi sebagian besar di kawasan pesisir. Dengan pembangunan ini, katanya, akan ada pembebasan lahan lagi. “Yang terkena dampak masyarakat kecil terutama petani dan nelayan di kawasan itu.”

Bahkan, usulan tambahan lahan 8.000 hektar diajukan dan masuk revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tengah yang masih dibahas DPRD.

Supriyadi mengatakan, perusahaan raksasa akan mengambil lahan dan sumber produksi warga sekitar tambang. Setelah mendapat izin, maka legal menggusur kebun warga. Sekitar 8.000 hektar tanah di desa-desa sekitar tambang bakal masuk kawasan industri.

“Ada izin dari negara, warga sedang disiapkan menjadi buruh di perusahaan setelah sumber-sumber penghidupan mereka habis.”

Masyarakat, katanya, dipaksa menerima sistem yang tidak pernah mereka pikirkan. Kebun habis, katanya, di situ pula kemiskinan struktural berjalan atas legitimasi pemerintah.

“Saat ini, warga sudah pasrah pada keadaan karena kebun habis. Jika begitu, habis pula masa depan. Mereka juga harus menerima beban lingkungan yang tidak lagi ramah. Menghirup udara kotor dari aktivitas tambang maupun asap pabrik yang menggunakan batubara,” kata Supriyadi.

Kini, warga sudah merasakan debu terutama musim kemarau dampak aktivitas pertambangan. Jalan trans Weda-Patani, Halmahera Tengah, melewati kawasan pertambangan ini.

Jahri, sopir angkutan umum Desa Wale Weda Utara mengatakan, debu sudah jadi makanan sehari hari saat melewati Kawasan Industri PT IWIP. “Setiap hari kami melewati kawasan ini, merasakan debu ini,” katanya.

Soal ini diperkuat data Puskesmas Weda Utara yang menunjukkan penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menempati posisi tertinggi. Data 10 jenis penyakit di kecamatan ini, ISPA Januari sampai Oktober 2019 sebanyak 442 kasus. Data Januari-Oktober 2020 ada 227 kasus.

Pemerintah Halmahera Tengah melalui Salim Kamaluddin, Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan (Bappelitbang) mengatakan, sosialisasi RDTR sudah dua kali dalam forum konsultasi publik dan diskusi terfokus melibatkan instansi terkait dan stakeholder seperti camat, kades, dan tokoh masyarakat.

Dia bilang, untuk luasan wilayah yang masuk kawasan industri IWIP berdasarkan koordinasi dan konsultasi kepada kepala daerah, ada tiga opsi delianasi kawasan. Hasil keputusan kawasan ini akan meliputi Kecamatan Weda Utara dan Weda Timur.

Masyarakat di dalam kawasan industri sejauh ini, katanya, belum ada pembahasan untuk relokasi. Pemerintah daerah, lanjut Salim, juga sudah memediasi soal ganti rugi lahan masyarakat. “Eksistingnya lahan pertanian. Pemilik dianggap sudah tidak produktif, karena itu mereka memilih menerima tawaran perusahaan untuk ganti rugi.”

Mengenai kelangsungan hidup masyarakat, katanya, Pemkab Halmahera Tengah, tetah memikirkan melalui kebijakan dan program strategis pemberdayaan masyarakat terutama sektor industri, pariwisata, dan UKM.

Saat ini, menurut Salim, dokumen dalam proses penyusunan dan sudah tahap validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Pemerintah Halmahera Tengah juga menunggu persetujuan substansi di pemerintah pusat baru kembali ke daerah untuk jadi peraturan daerah atau dengan peraturan bupati.

Apa kata perusahaan?

Agnes Megawati, Humas PT IWIP saat dikonfirmasi mengatakan, luasan lahan yang masuk konsesi mereka berdasarkan dokumen analisis mengenal dampak lingkungan (amdal) yang disetujui Komisi Amdal Maluku Utara mencakup 4.622 hektar. Ia berada di Kecamatan Weda Tengah.

“Tidak masuk sampai ke Weda Utara,” katanya.

Mengenai warga terdampak terutama mereka yang habis lahan, kata kata Agnes, sesuai RKL dan RPL perusahaan, ada rencana untuk program dengan nama livelihood restoration. “Untuk rencana jangka panjang hasil dari program ini akan masu ke dalam kerangka Corporate Ssocial Responsibility (CSR) IWIP,” kata Agnes.

Soal masalah lingkungan hidup, terutama debu dan dampak udara lain yang muncul dari aktivitas perusahaan, kata Agnes, perusahaan telah melakukan langkah langkah pengelolaan debu secara berkala saat proses transportasi ore dan mobilisasi alat berat.

Di pabrik smelter, katanya, perusahaan menggunakan teknologi electrostatic precipitator (ESP). Dia bilang, ini teknologi menangkap abu sebagai filter udara untuk menyaring debu dan polutan lain sebelum lepas ke udara.

“Jadi, dapat dipastikan sebaran debu dari smelter tidak mencapai kawasan permukiman warga.”

Dia bilang, hasil monitoring udara ambien di sekitar kawasan saat ini juga tidak ada indikasi baku mutu yang dilanggar alias kualitas udara ambien termasuk baik.

Terlepas dari klaim pemerintah dan perusahaan, bagaimana kira-kira nasib warga yang tak lagi punya lahan atau lahan menyusut ke depannya?

“Lima tahun lagi harga rica selangit. Sementara uang penjualan lahan sudah habis. Jika lahan kebun sudah tak punya kelaparan akan melanda,” kata Nemo.

Baca juga: Perda, hutan adat, dan pentingnya pengakuan bagi masyarakat adat

Liputan ini didukung oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) melalui program workshop dan fellowship dengan tema ‘Masa Depan Masyarakat Adat’.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.