Posted in

Sulitnya Mereklamasi Tambang

Upaya mereklamasi areal bekas tambang jelas bukan pekerjaan mudah. Pasalnya, jika dilakukan secara sembarangan, alih-alih mengembalikan kelestarian lahan, malah menimbulkan ancaman lingkungan lebih dahsyat. Sebab proyek reklamasi tak melulu bicara soal menghutankan kembali areal bekas pertambangan.

Upaya mereklamasi areal bekas tambang jelas bukan pekerjaan mudah. Pasalnya, jika dilakukan secara sembarangan, alih-alih mengembalikan kelestarian lahan, malah menimbulkan ancaman lingkungan lebih dahsyat. Sebab proyek reklamasi tak melulu bicara soal menghutankan kembali areal bekas pertambangan.

Umumnya proses penghutanan kembali bisa cepat dilakukan dalam waktu lima tahun. Lahan bekas pertambangan biasanya diratakan sebelum diuruk dengan empat lapisan material sebelum akhirnya ditutupi dengan tanah (top soil). Tahap berikutnya, lahan yang telah tertutup tanah tadi ditanami pohon. Proses selanjutnya adalah pemeliharaan pohon-pohon itu agar tidak mati.

Yang paling rumit justru mengelola bekas genangan air di lubang bekas galian tambang dan pengelolaan tailing. Di bekas galian tambang, bebatuan yang umumnya bersifat asam (pH rendah) berpotensi mempercepat reaksi pelepasan logam-logam berat –tembaga, timbal/timah hitam, merkuri, arsen, seng, dan sebagainya– yang terkandung dalam batuan.

Jika tak hati-hati, kubangan air di bekas galian tambang berpotensi menghasilkan air asam tambang. Air ini biasanya terbentuk bebeberapa tahun sejak proses penambangan dihentikan. Sekali terbentuk, sulit dihentikan dan bisa berlangsung sampai ribuan tahun. Air asam tambang ini sangat berbahaya karena berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah.

Potensi ancaman jangka panjang juga bisa muncul dari tailing. Jika pengelolaannya tidak baik, tailing bisa mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dan mencemari lingkungan. Apalagi, kebanyakan perusahaan tambang di Indonesia membuang tailing-nya ke laut. Hal itu bisa mengancam kelangsungan hidup biota laut bahkan manusia yang mengonsumsi ikan dari perairan yang tercemar.

Pembuangan tailing di laut memang masih mengundang perdebatan. Perusahaan tambang beralasan, limbah itu aman, sebab telah diproses dan tak lagi mengandung bahan B3. Selain itu, kedalaman laut juga akan membuat lumpur itu stabil.

Sedangkan aktivis lingkungan menganggap teknologi itu tidak tepat digunakan di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, yang suhu permukaan dan suhu kedalaman lautnya berbeda. Perbedaan suhu yang tinggi itu mengakibatkan terjadinya perputaran arus laut, yang membuat limbah lumpur tailing tidak stabil, lalu mencemari air laut.

Karena itu, dalam mereklamasi daerah bekas tambang, pemerintah memang seharusnya membuat standar tertentu agar bisa diikuti perusahaan-perusahaan tambang. Pada saat ini, pemerintah baru mewajibkan perusahaan tambang mengajukan dokumen tutup tambang. Namun prosedurnya diserahkan ke tiap-tiap perusahaan.

Padahal, sebaiknya pemerintahlah yang menetapkan standar pengelolaan penutupan tambang yang aman. Selain itu, pemerintah juga mesti mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan pemantauan jangka panjang untuk mengetahui dan bertanggung jawab jika nanti bekas tambangnya terbukti menyebabkan pencemaran.

M. Agung Riyadi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.