Posted in

TEKNOLOGI NANO LEBIH RAMAH LINGKUNGAN

thumbnailJakarta – Televisi layar datar atau flat, memang lebih sedikit menggunakan energi listrik bila dibandingkan dengan jenis televisi lainnya. Tetapi fakta yang mengejutkan, tabung layar televisi yang dianggap hemat energi itu ternyata mengandung banyak sekali logam berat di dalamnya.

Di Amerika Serikat (AS), diperkirakan sekitar 70 persen logam berat di tempat pembuangan berasal dari alat-alat elektronik yang sudah tidak terpakai lagi. Dalam hitungan sepuluh hingga lima belas tahun ke depan, sangat mungkin sekali jika televisi layar datar yang kita miliki akan berakhir masa pemakaiannya di sebuah tempat, di mana kemungkinan besar logam berat itu akan menyatu dengan tanah di tempat pembuangan.

Kabar terbaru menyebutkan bahwa Tel Aviv University ternyata memiliki solusi terhadap permasalahan logam berat yang terdapat di televisi layar datar. Solusi ini berdasarkan kepada sebuah penemuan dalam teknologi nano yang memanfaatkan sistem “peptide nanotubes”, di mana sistem ini akan mengurangi jumlah kebutuhan logam berat di industri alat-alat elektronik.

Peneliti dari Department of Electrical Engineering di Tel Aviv University, Nadav Amdursky dan Prof. Gil Rosenman, percaya bahwa teknologi nano tersebut tidak hanya membuat produksi televisi layar datar menjadi lebih ramah lingkungan, tetapi juga dapat digunakan untuk membuat peralatan medis, di mana kebanyakan merupakan jenis peralatan yang sensitif.

Teknologi tabung televisi layar datar itu terinspirasi dari bio-material yang dilibatkan dalam sebuah penelitian terhadap penyakit Alzheimer. Penelitian tersebut dilakukan oleh seorang ilmuwan dari Department of Microbiology and Biotechnology di Tel Aviv University, yakni Profesor Ehud Gazit.

Dengan menerapkan disiplin ilmu biologi dan fisika, para ilmuwan di sana telah mengembangkan material nano biologis baru yang merupakan dasar bagi teknologi teranyar, yakni teknologi light-emitting diode (LED)/pemancar cahaya yang ramah lingkungan.

“Kami tengah mengembangkan sumber cahayanya,” papar Amdursky, seorang mahasiswa yang terlibat dalam penelitian itu, seperti dilansir dalam situs EarthTechling, Kamis (2/9).

Tidak hanya sumber cahaya saja yang tengah dikembangkan, tetapi juga berbagai perangkat transmisi yang terkait dengan teknologi LED itu. Teknologi LED tersebut dipercaya dapat menghasilkan cahaya dan sinyal yang kuat. Dengan begitu, dapat juga diaplikasikan dalam berbagai kebutuhan lainnya.

Teknologi baru itu kemudian dikenal juga sebagai teknologi nano organik, di mana bahan utama pembuatannya adalah karbon. Teknologi ini dinilai lebih murah dan juga ramah lingkungan. Baru-baru ini, tim dari Tel Aviv University tersebut telah membuat hak paten untuk jenis teknologi terbaru ini.

Dalam kesempatan berbeda, Rabu (15/9), ahli teknologi nano dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nurul Taufiqu Rochman, menjelaskan bahwa penerapan teknologi nano di dunia selama ini lebih banyak didominasi oleh industri yang sifatnyacustomer goods, misalnya saja industri pakaian, kaca anti-gores, obat-obatan, bidang pertanian, dan lain sebagainya.

“Penerapan teknologi nano di dunia untuk peralatan elektronik seperti televisi, handphone, dan lain-lain hanya sebesar 10 persen saja. Sementara penerapan teknologi nano untuk barang-barang yang sifatnya customer goods besarnya mencapai 90 persen,” tutur Nurul.

Dalam kaitannya dengan penerapan teknologi nano di Indonesia, Nurul juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan penerapan teknologi tersebut.

“Negara-negara berkembang seperti Indonesia, memiliki kekayaan bahan baku yang bisa digunakan untuk mengembangkan penerapan teknologi nano. Terlebih lagi penerapan teknologi nano lebih didominasi oleh industri yang sifatnya customer goods,” sambung Nurul. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.