Posted in

WAPRES PUN KRITIK TREN PENGELOLAAN HUTAN

thumbnailAsal tebang lalu tinggal, sudah bukan jamannya lagi. Tak peduli sumber daya alam apapun di bawah hutannya. Paling tidak itu yang tersirat dari pidato pembukaan Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono dalam Konggres Kehutanan Indonesia ke-5 di Manggala Wanabakti, Kementerian Kehutanan, Jakarta.
Jakarta- Pembukaan resmi Konggres Kehutanan Indonesia (KKI) di Kemhut kali ini menjadi tempat kritik Wapres Boediono agar semua pihak yang terlibat pengelolaan hutan untuk “mengubah tren pengelolaan hutan yang selama ini biasa dilakukan”.
Kritik Boediono berdasarkan fakta semakin menurunnya peran ekonomi sektor kehutanan saat ini akibat tindakan eksploitasi sumber daya alam di kawasan kehutanan yang lalu dibiarkan tanpa dipulihkan lagi. Menurutnya, sekalipun kawasan hutan ini bisa kembali pulih, biasanya justru beralih menjadi wilayah perkebunan atau perumahan, yang tidak terlalu efektif jika dilihat dari kacamata ekonomi.
“Sampai dua dasawarsa lalu hasil-hasil kehutanan seperti kayu lapis telah menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi dan pendapatan daerah, tapi itu catatan masa lalu, karena kini peran kehutanan di sektor ekonomi terus merosot karena banyak dieksploitasi tapi tidak dipulihkan lagi,” kata Boediono, yang juga profesor ekonomi makro itu.
Karenanya Wapres meminta pola “hantam lalu tinggalkan” harus diubah menjadi tren pengelolaan kehutanan yang lebih berkelanjutan. Semuanya agar kawasan hutan tak sampai kehilangan nilai ekologisnya dan berbuntut membawa bencana alam.
“Tren pengelolaan hutan tak berkelanjutan hanya membawa lebih banyak nilai kurang daripada nilai tambah karena bencana alam yang membawa kerugian ekonomis yang besar,” kata Boediono, mengritik.
Sementara itu Menteri Kehutanan Zulkilfi Hasan mengakui mengubah tren pengelolaan hutan saat ini sangatlah kompleks karena belum ada lembaga kehutanan yang cukup kuat untuk memecahkan masalah tumpang tindih wewenang lintas departemen dan lintas sektor, serta konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.“Kami akui ini, jadi kami akan segera memperbaikinya,” kata Zulkilfi.
Selama ini konflik kehutanan menjadi isu kompleks di Indonesia karena kerap melibatkan pemain lintas sektor antara sosial masyarakat dengan sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Pada 21/11, Konggres Kehutanan sebelumnya mendiskusikan usulan-usulan metode resolusi konflik kehutanan yang berakhir dengan debat hangat.
“Semakin kita mempelajari konflik kehutanan Indonesia, sebenarnya kita semakin dihadapkan pada dikotomi masalah. Di satu sisi kita ingin segera menyelesaikannya tapi di sisi lain kita sadar kalau tidak akan ada satu mekanisme penyelesaian tunggal yang bisa berlaku bagi semua konflik kehutanan di Indonesia,” kata Myrna A. Safitri dari HuMA, lembaga bantuan penguatan hukum lingkungan untuk masyarakat.
Diskusi resolusi konflik kehutanan itu berakhir dengan rekomendasi agar konggres menghasilkan tekanan reformasi tenurial hutan untuk mengakui hak-hak masyarakat ada/komunitas lokal, pembuatan rencana resolusi konflik kehutanan nasional dan review semua perijinan kehutanan dan kawasanannya untuk menata kembali perijinan yang tumpang tindih. Usulan ini diusung Kamar Masyarakat di Konggres Kehutanan untuk menjadi bagian Garis-Garis Besar Haluan Kehutanan.
Konggres yang bertema Kembalikan Hutan Kami Sebagai Napas Kehidupan dan Ekonomi Bangsa ini, diselenggarakan dari 21-24 November 2011 dengan tujuan akhir menetapkan Garis-garis Besar Haluan Kehutanan untuk 5 tahun ke depan. Konggres dihadiri unsur pemerintah, masyarakat, bisnis, akademisi dan LSM

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.