Posted in

INDONESIA SERUKAN KESEPAKATAN PENDANAAN

thumbnail

 

Negara berkembang dan maju masih terus berdebat tentang kelembagaan pendanaan. Indonesia serukan masing-masing pihak melonggarkan argumennya, agar kesepakatan pendanaan ada.

KOPENHAGEN(RP) – Indonesia menyerukan adanya kesepakatan berarti dalam pembahasan pendanaan di COP 15/UNFCCC (Konvensi Perubahan Iklim Sedunia) di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember ini. Para pihak diharapkan melonggarkan argumen masing-masing pihak. Mengingat kesepakatan pendanaan menjadi hal penting bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan pendanaan dari negara maju dalam menghadapi persoalan perubahan iklim.

            Untuk itulah, delegasi Indonesia, dalam konferensi persnya, Rabu (9/12) sore waktu setempat, yang disampaikan langsung oleh Ketua Delegasi Rachmat Witoelar dan Ketua Kelompok Kerja Pendanaan Dewan Perubahan Iklim Ismid Hadad mengusulkan agar negara maju dan berkembang melonggar argumen mereka dalam perdebatan COP 15. Perundingan COP 15 di Kopenhagen harus mencapai kesepakatan. Setidaknya kesepakatan mendasar yang umum, sementara hal-hal rinci dapat dibahas di sesi perundingan berikutnya.

            Seruan itu dikemukakan mengingat pada perundingan COP di hari ketiga, masih terdapat pandangan berbeda secara prinsipil antara negara maju dan berkembang dalam hal ini G77+Cina (di dalamnya termasuk Indonesia). Dalam perundingan dengan topik pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) tersebut, menurut Ismid Hadad, negara-negara maju menganggap mekanismeGlobal Environment Facility (GEF) harus tetap dipertahankan sebagai mekanisme multilateral untuk pendanaan perubahan iklim. Sementara negara berkembang dan juga menurut hasil review oleh COP UNFCCC, akses terhadap dana GEF masih dirasakan sulit dan berbelit-belit, sehingga negara-negara miskin dan berkembang yang memiliki sumber daya yang terbatas sulit memperolehnya.

Sebagai catatan pada pertemuaan UNFCCC sebelum Kopenhagen, GEF disepakati sebagai interim arrangements (rencana sementara) sampai adanya suatu mekanisme yang dibentuk dan disepakati oleh Conference of the Parties (COP), sebagai struktur pengambilan keputusan tertinggi di dalam UNFCCC.

            Oleh karena itu, Ismid Hadad menyeruhkan agar dana multilateral atau global harus segera dibentuk. “Pengelolaan dana tersebut bertanggung jawab kepada COP yang telah membentuk dan mengesahkannya. Juga harus segera ada kontribusi dari dana publik negara maju sebagai sumber dana utama, sedangkan sumber dana lain termasuk dari sumber inovatif dan mekanisme pasar dapat menjadi tambahan dan pelengkap,” tambah Ismid.

            Mengacu pada studi UNFCCC, Indonesia sepakat bahwa kebutuhan pendanaan untuk adaptasi global paling kurang USD 67 milyar dan sumber pendanaan untuk hal tersebut seharusnya dari dana publik negara maju  dengan nilai sebesar 0.7 – 1.5 persen dari Gross National Income, di luar dana yang dialokasikanuntuk Overseas Development Assistance

Selain itu, Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim, juga menyeruhkan agar pendanaan ditinjau dari sisi pemberdayaan. Terutama bagaimana memberdayakan mereka yang tidak mampu mengurangi kerentanan dan melindungi diri dari dampak perubahan iklim (adaptasi) maupun mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi).

Indonesia sebagai negara kepulauan yang masih berkembang dan rentan terhadap perubahan iklim sangat berkepentingan terhadap tersedianya dana perubahan iklim dan mekanisme pendanaan global yang efektif. Dengan masih tingginya angka kemiskinan dan kebutuhan pengembangan pendidikan dan kesehatan mendasar, dana publik Indonesia saat ini sangat tidak memadai untuk mendukung berbagai upaya adaptasi dan mitigasi di samping pengembangan teknologi untuk kedua hal tersebut.(ndi)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.