Posted in

KONSEP BLUE CARBON MESTI DITINJAU ULANG

Konsep Karbon Biru (Blue Carbon) yang mulai diterapkan di Indonesia ternyata mesti ditinjau ulang.Konsep tersebut dinilai memerlukan kerjasama antar bangsa dalam pelaksanaannya di dunia internasional

Jakarta – Konsep Karbon Biru (Blue Carbon) yang mulai diterapkan di Indonesia sejak diluncurkan pertama kali pada pertemuan 11th Special Session of the Governing Council (SSGC)/Global Ministerial Environment Forum (GMEC) of UNEP, di Bali pada 24 – 26 Februari 2010 yang lalu, ternyata mesti ditinjau ulang. Konsep yang berpijak pada peran penting laut dan pesisir sebagai pengendali perubahan iklim (pemanasan global) ini diperkenalkan oleh UNEP (Program Lingkungan Hidup PBB), FAO (Badan Pangan Dunia), dan UNESCO (Badan Pendidikan dan Kebudayaan Dunia). Konsep tersebut dinilai memerlukan kerjasama antar bangsa dalam pelaksanaannya di dunia internasional

Kemarin, (22/06), dalam satu kesempatan, ahli kelautan dan pesisir dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, menyatakan bahwa penggunaan konsep market atau trading dalam penerapan Blue Carbon di Indonesia tidaklah bagus. Semestinya, penerapan Blue Carbon di Indonesia ditujukan untuk kemajuan bersama (dunia internasional). Tidak boleh ada satu pihak yang merasa dirugikan atau pun diuntungkan dalam hal ini.

Dalam tulisannya yang berjudul “Menyoal Karbon Biru”, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), M. Riza Damanik, menyatakan bahwa penerapan konsep Blue Carbon tersebut mengisyaratkan dominasi kepentingan UNEP terhadap Indonesia. Tak ayal, karena memang perubahan iklim justru dilihat sebagai sebuah peluang usaha baru bagi kelompok tertentu. Sementara bagi komunitas rentan yang ada di Indonesia, seperti nelayan dan kaum perempuan, perubahan iklim justru menambah bobot krisis keseharian mereka.

“Dalam kaitannya dengan skema Blue Carbon Fund, baik kiranya pemerintah terlebih dahulu melengkapi argumentasi dan dukungan domestiknya sembari memperkuat upaya penegakan hukum lingkungan, utamanya pada daerah-daerah yang rawan tindak pencemaran laut dan pengrusakan ekosistem pesisir. Selain itu, sikap mendua Indonesia dalam mandat diplomasinya juga perlu mendapat perhatian,” ujar M. Riza Damanik.

Alih-alih membenahi berbagai sistem kebijakan yang belum berjalan sebagaimana mestinya, pemerintah justru terus terlibat dalam kerjasama kelautan yang sifatnya bilateral. Hal ini terbukti ketika kapal Indonesia dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Baruna Jaya IV, melakukan eksplorasi kelautan bersama kapal riset Amerika Serikat dari National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), Okeanos Explorer, yang mulai memasuki wilayah perairan Indonesia pada Jumat (18/06) lalu.

Kedua kapal tersebut rencananya akan melakukan eksplorasi kolaboratif di laut dalam perairan Sangihe – Talaud, Sulawesi Utara, selama sekitar dua bulan. Kegiatan ini merupakan bagian dari bentuk kerjasama kemitraan jangka panjang RI – AS untuk bersama-sama memajukan bidang Ilmiah Kelautan, Teknologi, dan Pendidikan, yang penting bagi ekonomi dan lingkungan bagi kehidupan di bumi ini. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.