Posted in

AKHIR DRAMA PENANGKAPAN AKTIVIS GREENPEACE

thumbnailCirebon – Drama penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort (Polres) Cirebon terhadap 14 orang aktivis Greenpeace Asia Tenggara pada Senin (5/7) berakhir sudah. Dua belas aktivis asing dipulangkan ke negaranya masing-masing, sementara dua aktivis asal Indonesia akhirnya dibebaskan. Dua belas aktivis asing dinilai telah melanggar pasal 42 UU Keimigrasian RI dengan tuduhan mengganggu keamanan dan ketertiban sosial, serta diduga telah melakukan penyalahgunaan izin visa.

Senin awal pekan yang lalu (5/7), Cirebon diguncang kejadian mengejutkan. Empat belas orang aktivis Greenpeace Asia Tenggara ditahan oleh Polres Cirebon dengan tuduhan mengadakan kegiatan tanpa izin dan mengganggu ketertiban sosial. Aktivis-aktivis lingkungan tersebut ditangkap ketika tengah mengikuti acara promosi energi terbarukan dalam pertemuan regional Greenpeace dari tanggal 3 – 5 Juli 2010, di Desa Waruduwur, Mundu, Cirebon.

Acara tersebut diadakan sebagai wujud penolakan terhadap beroperasinya PLTU batubara Kanci di Desa Waruduwur. Tujuan dari acara itu adalah mendesak pemerintah untuk menghapuskan batubara dan mulai memfokuskan diri pada sumber energi bersih terbarukan. Acara ini dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Indonesia, Cina, India, Filipina, dan Thailand, yang diharapkan dapat berbagi pengalaman dan menemukan keterkaitan dalam isu batubara.

Detik-detik Penangkapan

Penangkapan terhadap 14 orang aktivis itu terjadi usai konferensi pers yang merupakan akhir dari rangkaian acara selama tiga hari tersebut. Konferensi pers sendiri dimulai sekitar pukul 11 siang, Senin (05/07). Penangkapan ini sangat mengejutkan dan sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya oleh para aktivis serta masyarakat sekitar yang menghadiri acara promosi energi terbarukan itu.

Sebelum konferensi pers berlangsung, memang sudah ada polisi yang berjaga-jaga, tapi hanya sekitar 2 – 3 orang polisi saja. Menurut Asisten Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara, Findi Kenandarti, yang juga ada di lokasi kejadian, keberadaan polisi ini adalah wajar sebagai pihak yang merasa perlu menjaga keamanan ketika acara berlangsung.

Namun, pada sekitar pukul setengah 12 siang, tiba-tiba 30 – 50 orang polisi datang dan mengepung arena acara. Polisi menduga para aktivis telah menggelar acara tanpa izin dan menuduh telah terjadi kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban sosial. Selain itu, polisi juga menuduh aktivis asing asal Thailand, Filipina, Cina, dan India telah melakukan penyalahgunaan izin visa kunjungnya ke Indonesia.

Penangkapan ini sungguh sangat mengherankan, terutama dengan tuduhan yang dilayangkan oleh pihak kepolisian kepada para aktivis. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa polisi tidak melakukan aksi penangkapan sedari awal kegiatan ini digelar, yakni pada Sabtu (3/7). Tanda tanya besar pun muncul terhadap aksi penangkapan ini.

Pada awalnya, aksi penangkapan ini memang ditolak mentah-mentah oleh para aktivis. Para aktivis berpendapat bahwa polisi sama sekali tidak mempunyai dasar atas penangkapan mereka semua. Namun, karena kondisi di sekitar lokasi kejadian semakin memanas, maka aktivis-aktivis tersebut berpikir bahwa akan lebih baik jika mereka bersedia dibawa ke kantor polisi.

Empat belas orang aktivis yang ditangkap, yaitu Nur Hidayati (Indonesia), Arif Fiyanto (Indonesia), Iris Cheng (Cina), Alisa Meng (Cina), Fusheng Yan (Cina), Chariya Senpong (Thailand), Weerakarn Kengkaj (Thailand), Sutti Atchasai (Thailand), Uaeng-Fa Chumket (Thailand), Amalie (Filipina), Jean Marie (Filipina), Albert (Filipina), Preethi Herman (India), dan Sudheer Kumar Puthiya Valappil (India).

Deportasi Aktivis

Dari lokasi penangkapan, para aktivis kemudian langsung dibawa ke Polres Cirebon untuk menjalani pemeriksaan dengan tuduhan yang telah disebutkan di atas. Selama kurang lebih 36 jam polisi menjalani pemeriksaan terhadap para aktivis itu dan kondisi yang sangat lelah terlihat di sebagian besar wajah para aktivis akibat pemeriksaanmarathon oleh polisi tersebut.

Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Arif Fiyanto, yang juga adalah salah satu aktivis yang sempat ditahan, penangkapan ini menciptakan kondisi ketidakpastian terhadap nasib aktivis warga negara asing. Rencana kepulangan mereka ke negara masing-masing pada Selasa siang (6/7) pun terpaksa dibatalkan. Tiket pesawat yang sudah mereka pesan juga hangus dan ini merupakan salah satu kerugian materiil bagi mereka.

Karena diduga melanggar pasal 42 UU Keimigrasian RI dengan tuduhan penyalahgunaan izin visa serta telah mengganggu keamanan dan ketertiban sosial, maka para aktivis asing yang berjumlah 12 orang itu dibawa ke kantor imigrasi di Cirebon, Selasa siang (6/7), untuk kembali diperiksa atas pelanggaran tersebut.

Menurut Susilaningtyas, yang merupakan pengacara dari pihakGreenpeace, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak imigrasi telah membuktikan bahwa aktivis-aktivis itu melanggar pasal 42 UU Keimigrasian RI dalam kaitannya dengan penyalahgunaan izin visa dan juga mengganggu ketertiban umum. Atas hasil pemeriksaan tersebut, mereka dihukum dengan dipulangkan ke negaranya masing-masing.

Pihak Greenpeace sendiri sebenarnya telah merasa keberatan dengan tuduhan itu. Mereka memiliki pandangan bahwa aktivis-aktivis tersebut tidak melakukan kegiatan yang mengganggu kepentingan umum. Untuk masalah izin visa, aktivis-aktivis tersebut dinilai telah menggunakan izin yang tepat.

Bahkan Susilaningtyas menambahkan bahwa putusan ini merupakan bukti telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap aktivis-aktivis itu. Meskipun begitu, passport yang dimiliki oleh aktivis-aktivis tersebut tidak diberi “cap merah”, yang artinya mereka masih bisa kembali lagi ke Indonesia kapan pun mereka mau.

Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara, Hikmat Soeriatanuwijaya, menjelaskan bahwa dua belas aktivis tersebut, sekitar pukul 11 malam pada Selasa (6/7), diantar oleh pihak imigrasi Cirebon menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, untuk kemudian dipulangkan ke negaranya masing-masing. Mereka semua tiba di bandara sekitar pukul setengah 5 pagi pada Rabu (7/7), dan empat aktivis asal Thailand menjadi aktivis pertama yang meninggalkan Indonesia pada sekitar pukul 9 pagi. Kemudian diikuti oleh aktivis asal Filipina, lalu aktivis asal Cina dan India.

Reaksi atas Penangkapan

Penangkapan aktivis Greenpeace Asia Tenggara itu juga menimbulkan reaksi yang keras dari berbagai pihak. Reaksi pertama kali muncul dari kalangan masyarakat di lokasi penangkapan berlangsung. Masyarakat sekitar bahkan sampai tidur di tengah jalan untuk menghalangi upaya penangkapan tersebut. Masyarakat memblokir jalan pantura hingga jalur yang menghubungkan Cirebon – Losari sempat macet sekitar sepuluh menit.

Reaksi masyarakat itu merupakan bentuk dukungan terhadap kegiatan para aktivis yang menolak beroperasinya PLTU batubara Kanci di Desa Waruduwur. Koordinator Rakyat Penyelamat Lingkungan (REPEL) Cirebon, Aan Sumarwan, menjelaskan bahwa PLTU tersebut tidak memiliki AMDAL sejak dibangun pertama kali pada tahun 2007. Meskipun pada akhirnya PLTU itu memiliki AMDAL pada tahun 2008.

Masyarakat pun telah mengirim lebih dari 20 surat kepada pemerintah mengenai penolakan terhadap berdirinya PLTU tersebut, namun sama sekali tidak mendapat respon yang baik. Masyarakat menilai bahwa keberadaan PLTU itu sama sekali bukan ditujukan untuk kepentingan mereka, melainkan untuk kepentingan para pejabat dan industri-industri besar yang ada di sana.

Reaksi keras ternyata juga muncul negara asal aktivis yang ditangkap. Menurut Hikmat Soeriatanuwijaya, negara dari masing-masing aktivis itu telah menyatakan sikap atas penangkapan warga negaranya di Indonesia. Salah satunya adalah dikirimnya “surat gebrakan” oleh pemerintah Thailand kepada Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok, yang menanggapi penangkapan atas empat warga negaranya.

Selain itu, reaksi keras juga terjadi di Filipina di mana sebuah LSM yang bekerja dengan berbagai keuskupan Filipina mengutuk “penahanan tanpa alasan” terhadap para aktivis yang menghadiri lokakarya Greenpeace itu. “Kami mengutuk keras penangkapan tanpa alasan terhadap Jean Marie Ferrari (salah satu aktivis asal Filipina – red.) oleh unsur-unsur sesat dari kepolisian Indonesia, yang tampaknya menerobos ke sebuah sebuah konferensi pers damai,” tulis Judy Pasimio dari Kasama sa Kalikasan (Sahabat Bumi Filipina), Pusat Sumber Daya Alam dan Sumber Hak Hukum.

Pihak Greenpeace sendiri memang tidak tinggal diam terhadap aksi penangkapan sepihak tersebut. Mereka kini tengah menyiapkan langkah-langkah selanjutnya terkait dengan pelanggaran HAM terhadap para aktivis lingkungan tersebut. Namun, langkah terdekatnya memang belum dapat diberitahukan kapan waktu pastinya. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.