Posted in

PENDANAAN PERUBAHAN IKLIM TAK ANTI HUTANG

thumbnailJakarta – Belajar dari pengalaman selama ini, pendanaan perubahan iklim di Indonesia seharusnya memiliki prinsip anti hutang. Sehingga pengalaman pahit saat krisis tahun 1990-an tak terulang kembali.

 

    Dinamisator Pemantauan dan Advokasi Pendanaan Iklim (CFAM), Mida Saragih mengatakan, bahwa dana-dana perubahan iklim yang diperoleh oleh pemerintah Indonesia saat ini, tidak sesuai dengan skema resmi konvensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC).

Berdasarkan pantauan kami, total hutang pemerintah Indonesia untuk perubahan iklim senilai US$2,3 miliar dengan rincian proyek iklim Indonesia US$400 juta, sedangkan hutang program mencapai US$1,9 miliar,” ujar Mida pada SIEJ di jakarta.

    Mida menuturkan, saat ini pemerintah malah memakai dana tersebut pada koridor pembuatan kebijakan yang mendorong keberlangsungan industri di tengah kerentanan hebat yang melanda masyarakat kecil saat ini.

Contoh nyata dalam hal ini seperti climate policy loan yang membuahkan aturan renewable energy, dan incentive pricinghingga kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar,” ucap Mida.

    Ia menganggap saat ini isu perubahan iklim adalah sebuah isu yang sangat penting bagi pemerintah, karena isu perubahan iklim sangat mudah dijual untuk mendapatkan dana segar. “Itu terlihat Presiden SBY sempat mengutarakan paket kebijakan Indonesia pada KTT G20 yakni pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment,” jelas Mida.

    Untuk saat ini, pihaknya menegaskan tiga prinsip yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia untuk pendanaan perubahan iklim seperti prinsip anti hutang, yakni pemerintah harus belajar dari pengalaman pahit berhutang pada lembaga keuangan internasional ketika krisis yang melanda pada tahun 1990-an. “Kini kelihatannya jebakan itu kembali muncul,” ucap Mida.

    Prinsip yang kedua sebut Mida adalah, dalam proses pendanaan perubahan iklim harus dikembalikan pada persoalan yang sangat mendasar yakni keselamatan manusia dan lingkungan. “ Pemanfaatan dana dari hibah tanpa syarat harus berdasarkan pada kebutuhan rakyat banyak, pelaporan yang transparan dan pencapaian yang terukur, sembari menghentikan proses negosiasi hutang serta hibah yang bersyarat,” jelasnya.

    Sedangkan prinsip yang ketiga, sambungnya, pendanaan perubahan iklim global harus didasarkan pada pengakuan atas tanggungjawab historis dari negara-negara maju dan hutang perubahan iklim kepada negara berkembang untuk emisi yang sangat tinggi dan dampak dari emisi yang telah dihasilkan.

    Sementara itu, pada kesempatan yang sama Siti Badriyah dari Institute for Essential Services Reforms (IESR) menilai, bahwa komitmen negara maju yang telah diakui dalam UNFCCC tahun 1992 yaitu sesuai dengan tanggungjawab masing-masing terhadap kontribusinya terhadap gas rumah kaca (GRK). Namun, komitmen pendanaan tersebut tidak tercermin oleh negara maju.

Komitmen yang diberikan pada Indonesia oleh negara maju seperti Jepang dan Prancis semenjak tahun 2007-2009 adalah dalam bentuk hutang,” papar Siti.

    Bahkan yang lebih parah lagi, tutur Siti, pendanaan yang dalam bentuk hutang tersebut tidak digunakan sepenuhnya untuk dana perubahan iklim, melainkan untuk menutup defisit APBN.

Jadi belum ada program perubahan iklim yang didanai sendiri, baru hanya sekedar program, dan belum ada langkah nyata,” ujarnya.

    Ia menekankan, bahwa pemerintah Indonesia dalam melakukan pengelolaan dana perubahan iklim harus lebih pada program adaptasi, bukan program mitigasi seperti yang diinginkan oleh negara-negara maju.

Sebab dalam program mitigasi ini, negara maju akan mengambil keuntungan pada sistem perdagangan karbon, juga untuk mengalihkan kewajiban mereka untuk mengurangi emisi,” ujar Siti.

    Saat ini, lanjutnya, pihaknya (IESR) mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan pada masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim tersebut dan melakukan studi lapangan mengenai kerentanan di wilayah Indonesia. “Saat ini, pemerintah lebih cenderung melakukan pendekatan pada level top-down,” tuturnya.

    Selain itu, lanjut Siti, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai focal point Indonesia untuk perubahan iklim dalam pengelolaan dana yang ada, harus diberikan kewenangan yang lebih untuk memutuskan kebijakan yang strategis agar bisa mengkoordinasikan antar kementerian terkait perubahan iklim.

Selama ini DNPI itu diperkuat dengan perpres, jadi untuk mengkoordinasikan berbagai kementerian itu kurang kuat untuk koordinasi perubahan iklim itu seperti apa,” terang Siti.

    Adapun Ketua Dewan Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengatakan bahwa, posisi Indonesia mengenai pendanaan dalam negosiasi UNFCCC adalah selain memberikan bantuan tekhnologi, negara maju juga harus menyediakan pendanaan yang new danadditional, di luar ODA yang ada, berkelanjutan, dapat diprediksi dan stabil.

    Sumber pendanaan harus memperhatikan azaz common but differentiatedresponsibilityrespective capabilitif dan berkeadilan, dengan mempertimbangkan tanggungjawab historis dan hak negara berkembang untuk membangun.

    Pendanaan dikelola oleh entitas di bawah COP dengan representasi yang seimbang antara negara maju dan negara berkembang dan berpegang pada aspek akuntabilitas, transparansi, dapat diakses langsung dan efektif.

    Selain itu, sambung Rachmat, sumber pendanaan perubahan iklim itu harus berdasarkan kriteria yang jelas dan dipilih melalui sistem penawaran yang kompetitif dan terbuka. (teddy setiawan)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.