Posted in

SMART AKUI RUSAK LINGKUNGAN

thumbnailJakarta – Anak perusahaan Golden Agri Resources (GAR), PT Smart  menyadari adanya kekeliruan atas pelaksanaan Keputusan Presiden (Kepres) yang dikeluarkan pada tahun 1990 tentang penanaman pada lahan gambut dalam, serta telah membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit sebelum mendapatkan ijin mengenai analisa dampak lingkungan (Amdal). Demikian diungkapkan Corporate Affairs PT Smart Fajar Reksoprodjo, Jumat (24/9/10).

“Penanaman di atas lahan gambut dalam beberapa kasus bersifat insidentil dan disebabkan oleh sulitnya identifikasi lahan gambut dengan luasan kecil-kecil dan tersebar atau sporadis,” urai Fajar, yang juga merujuk pada keterangan yang dikeluarkan sebelumnya.

Namun ia menekankan, laporan verifikasi independen (IVEX) mengidentifikasi bahwa lebih dari 98 persen areal konsesi Smart tidak ditanam diatas lahan gambut dalam atau dengan kedalaman lebih dari tiga meter.

Terlebih lagi, Smart menyadari terjadinya kekeliruan atas pelaksanaan Keputusan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1990 tentang penanaman pada lahan gambut dalam, dan sehubungan dengan 1.8 persen areal konsesi di atas lahan gambut dalam yang telah ditanami.

Kedepannya Fajar menyatakan Smart telah mengambil langkah-langkah perbaikan termasuk dengan memulihkan kondisi lahan gambut. “Untuk kedepannya, Smart akan bekerjasama dengan pemangku kepentingan atas pengelolaan menyeluruh gambut, termasuk area-area yang sebelumnya telah dikembangkan.”
Amdal Belum Keluar

Masalah lain yang diakui Smart merupakan adanya beberapa ijin analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang belum keluar, namun pembukaan lahan telah terjadi.

“Berkenaan dengan perizinan lahan, untuk kedepannya Smart akan memastikan bahwa perizinan lahan akan didapatkan sebelum dilakukannya kegiatan persiapan lahan,” ujar Direktur Utama Smart, Daud Dharsono, pada kesempatan berbeda.

Sehubungan dengan hal perizinan lahan, di Kalimantan Barat (Kalbar), seluruh areal konsesi kecuali dua yang telah disebutkan telah mendapatkan persetujuan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum dilakukannya kegiatan pembukaan lahan.

“Di kedua areal konsesi tersebut, pemerintah setempat, yaitu Bupati Ketapang, telah memberikan izin pembukaan lahan sebelum dikeluarkannya izin Amdal untuk seluruh konsesi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten tersebut,” ungkap Daud.

Dalam hal Kalimantan Tengah (Kalteng), Amdal untuk seluruh enam areal konsesi telah diselesaikan setelah dilakukannya pembukaan lahan, yang mana hal ini merupakan kekeliruan atas asas ketaatan. Namun begitu, Smart telah mendapatkan Persetujuan Prinsip Usaha Perkebunan (PPUP) dan memulai kegiatan pengembangan lahan sementara proses Amdal sedang dilakukan. Saat ini, SMART telah menerima persetujuan AMDAL untuk ke-enam areal konsesi di Kalteng.

Pernyataan tersebut menanggapi surat pernyataan Meja Bundar untuk Minyak Sawit Berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO), tertanggal 22 September 2010, yang menyatakan Sinar Mas Group melalui PT Smart telah berulang kali melanggar aturan dan kriteria dalam pembangunan industri sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Parameter yang dikeluarkan RSPO mencakup pembukaan hutan di lahan gambut dalam, 8 dari 11 konsesi yang diaudit terbukti beroperasi tanpa Amdal, dan 10 dari 11 konsesi yang diaudit melanggar aturan RSPO mengenai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV).

Masalah lain yaitu berkenaan dengan lahan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT/HCV), Smart menyatakan telah mengidentifikasi 21.000 ha atau 11.5 persen dari 11 konsesi yang diteliti dalam Laporan IVEX yang mengandung lahan dengan HCV dan telah menkonservasikannya.

Sebelumnya, Kamis (23/9/10) Greenpeace menyatakan mendesak langkah perbaikan segera dari perusahaan itu atau terancam dikeluarkan dari RSPO.

“Langkah resmi RSPO hari ini memberikan lebih banyak lagi bukti bagaimana Sinar Mas telah menipu konsumen dan pemegang saham mengenai perilaku mereka. Sinar Mas mengklaim telah beroperasi secara bertanggung jawab tetapi pada kenyataannya mereka terus melanggar hukum Indonesia, melanggar aturan RSPO dan mengabaikan komitmen berkelanjutan mereka.” ujar Bustar Maitar, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

Greenpeace mendukung industri minyak kelapa sawit berkelanjutan. Tetapi, berbagai investigasi Greenpeace terus-menerus memperlihatkan Sinar Mas merusak hutan dan lahan gambut Indonesia.

Sinar Mas Grup adalah produsen minyak sawit dan kertas terbesar di Indonesia. Saat ini, Sinar Mas berencana berekspansi ke area hutan di Sumatra, Kalimantan dan Papua, membahayakan habitat spesies terancam punah seperti Orang Utan dan Harimau Sumatra. Beberapa perusahaan multinasional sudah memutus kontrak dengan Sinar Mas karena perilaku lingkungan mereka yang merusak. (sps)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.