Posted in

TANAMAN MONOKULTUR SEBAIKNYA ASLI INDONESIA

thumbnailJakarta – Tanggal 21 September dikenal dunia internasional sebagai Hari untuk melawan terhadap model perkebunan, pertanian atau hutan monokultur. Karena keberadaan hutan tanaman monokultur dianggap menjadi malapetaka bagi hutan asli dan masyarakat. Kerusakan tersebut diperparah dengan adanya rekayasa genetika, yang menimbulkan ancaman baru yang selama ini belum pernah terjadi.

 

Jatna Supriyatna dari Conservation International Indonesia (CII) mengatakan bahwa tanaman monokultur dapat dibagi dua jenis. Monokultur yang berasal dari luar seperti kelapa sawit, dan tanaman monokultur yang berasal dari dalam seperti meranti, kelapa pisang dan tebu.

Menurutnya, tanaman monokultur yang berasal dari luar, dapat membahayakan biodiversitas di Indonesia seperti halnya tanaman kelapa sawit. Sebab, kata dia tanaman monokultur seperti kelapa sawit sangat banyak membutuhkan pestisida yang akan membahayakan linkungan di sekitarnya.

Sedangkan tanaman monokultur yang berasal dari Indonesia tidak terlalu membahayakan seperti halnya karet, meranti, pisang dan tebu.

“Seharusnya tanaman itulah yang harus dikembangkan sebagai tanaman monokultur di Indonesia,” ungkap Jatna ketika dihubungi SIEJ melalui telpon selulernya, di Jakarta (23/9/10).

Bahkan ia sangat khawatir dengan perkembangan kelapa sawit di Indonesia yang hingga saat ini telah mencapai sekitar sembilan juta hektar.

“Saya sangat khawatir dengan perkembangan kelapa sawit saat ini yang sudah mencapai 9 juta hektar. Sebab dia tanaman manja yang butuh banyak perawatan seperti pemberian pestisida,” kata Jatna.

Selain itu, tanaman monokultur yang bersifat invasif seperti halnya tanaman Akasia, perlu juga diperhatikan. Jika tanaman monokultur seperti itu terus dibiarkan perkembangannya, maka akan  menimbulkan ancaman pada pada keberlangsungan hidup para spesies lain pada hutan yang dikonversi menjadi hutan monokultur (perkebunan kelapa sawit).

“Kita harus berfikir, karena kita akan kehilangan spesies lain seperti harimau. Dan akhirnya kita bias jadi bangsa yang tidak punya spesies lain,” kata dia.

Untuk itu, lanjutnya, jika ingin mengembangkan tanaman monokultur di Indonesia, harus membuat mozaik. Artinya, sambung dia, harus membuat koridor-koridor, sehingga bisa menjadi jalan bagi satwa yang ada di dalamnya dan bisamengurangi pemakaian petstisida.

Sementara itu Direktur Eksekutif Aliansi Dogwood, Danna Smith dalam rilis mengenai hari anti monokultur baru-baru ini mengatakan, bahwa baru-baru ini Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture/USDA) telah dianggap melakukukan langkah salah dengan memanan berbagai pohon rekayasa genetik untuk memperbaiki wilayah Florida, Mississippi, Louisiana, Texas dan South Carolina, yang pernah terserang badai Katrina.

“Ini akan merupakan bencana bagi banyak daerah yang masih mencoba unuk pulih dari bencana badai Katrina dan tumpahan minyak di teluk,” ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, pohon kayu putih ini sama halnya dengan Kudzu yang bersifat invasif dan mudah terbakar. Bahkan California setiap tahun menghabiskan jutaan tanaman kayu putih.

Pada 1 Juli 2010 Proyek Keadilan Ekologi Global, Aliansi Dogwood, Sierra Club, Pusat Keanekaragaman Hayati, Pusat Keamanan Pangan, dan International Center for Technology Penilaian mengajukan gugatan hukum untuk menghentikan ArborGen’s eucalyptus GE akibat dampak potensi mereka.
“Ini saatnya bagi masyarakat untuk memahami bahwa pohon rekayasa genetic harus dilarang,” kata Orin Langelle, Global Justice Proyek Ekologi Co-Director/Strategist. (teddy setiawan)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.