BERDASARKAN hitungan Walhi Aceh, masyarakat di provinsi ini membutuhkan 1,3 juta meter kubik kayu per tahun. Namun, dari kebutuhan sebanyak itu, hanya sebagian kecil saja yang bisa diperoleh secara sah. Sebagian besar kayu yang beredar di pasaran merupakan kayu ilegal.

Lalu, bagaimana pula caranya panglong-panglong mendapatkan kayu untuk dijual ke masyarakat? “Sebagian besar kayu di panglong kami berasal dari Meulaboh. Tetapi, untuk mendapatkan kayu yang bagus memang susah saat ini,” kata seorang penjual kayu di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh, pekan lalu.

Dikatakan, sebagian besar kayu berkualitas bagus seperti seumantok dijual ke Medan, Sumatera Utara. Sedangkan kayu dari kawasan Aceh Besar jarang didapat, kecuali jenis-jenis kayu sembarang. Sementara kayu-kayu penyokong seperti bakau yang lazim digunakan sebagai penopang bangunan berlantai dua, umumnya diperoleh dari kawasan Bireuen dan Aceh Utara.

Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, Banda Aceh memang membutuhkan pasokan kayu dari berbagai kabupaten di Aceh. Begitupun, kayu-kayu dari Tamiang jarang dipasok ke kawasan ini. “Memang yang paling banyak bakau itu Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Tapi, umumnya kayu dari Tamiang dijual ke Medan, termasuk bakau,” kata lelaki pemburu kayu-kayu mahal seperti cendana dan gaharu ini.

Di Saree, Aceh Besar, hutan lindung seluas 6.300 Ha pernah dikapling-kapling. Justru Pemerintah Aceh yang saat itu ‘membagi-bagikan’ hutan lindung itu untuk mantan kombatan GAM dan masyarakat korban tsunami.

Kepala Dinas Kehutanan Aceh Ir Husaini Syamaun MM mengaku bahwa ini merupakan kebijakan lama. “Sudahlah, jangan kita ngomong yang ini lagi,” kata Husaini saat ditemui Serambi di kantornya, Rabu (12/11).

Kini, kata Husaini, pihaknya sudah menghentikan kebijakan euforia pasca-Aceh damai itu. Puluhan orang juga sudah meneken kesepakatan dengan pihaknya untuk tidak menebang pohon di hutan lindung. Beberapa waktu lalu, 11 chinsaw disita di Seulawah.

Di beberapa kawasan lain, pembalakan liar terus berlangsung. Di Bener Meriah hutan lindung sempat dijadikan lahan penanaman kentang seluas 500 Ha. Bahkan Saree, yang berjarak tak lebih dari 60 kilometer dari Kota Banda Aceh kini tandus sudah.

Suhu di kawasan itu menghangat dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari 500 Ha kawasan hutan lindung itu rusak parah. Hanya semak belukar yang tersisa saat ini. “Umumnya diubah untuk permukiman, perkebunan, tempat berjualan, dan lainnya,” kata Direktur Walhi Aceh, M Nur.

Seorang warga Desa Suka Damai, Kecamatan Lembah Sulawah, mengaku betapa Saree kini memprihatinkan. “Tapi, jangan salahkan warga. Aparat juga yang memulai dengan mengalihfungsikan hutan lindung menjadi markas,” kata pria yang bernama Nasir ini.

Jika pengundulan terus berlanjut, menurut Walhi, punya dampak besar untuk Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Pertama, sejumlah kawasan di Aceh Besar akan rawan banjir bandang. Selain itu, persediaan air untuk PDAM Aceh Besar dan Banda Aceh juga akan semakin menipis untuk jangka panjang.

Di sisi lain, Husaini Syamaun mengaku masih ada kegiatan illegal logging di beberapa kawasan. “Sarana dan prasarana kita terbatas memang,” kata alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.

Dishut Aceh hanya didukung oleh 30-an personel polisi hutan. “Memang kita punya 1.870 orang Pamhut, tapi mereka ini hanya sekadar membantu Polhut,” timpalnya lagi.

Di Aceh Utara misalnya, kerusakan hutan di kawasan itu dalam tiga tahun terakhir mencapai areal seluas 8.469 Ha, dari total 35.531,83 Ha. “Wilayah yang parah mencakup Kecamatan Sawang, Langkahan, Nisam Antara, Nisam, Paya Bakong, Cot Girek dan Meurah Mulia,” kata Koordinator LSM Sahara, Dahlan, kepada Serambi, Kamis (13/11).

Ada dua penyebab tingginya deforestrasi di kawasan itu. Pertama, akibat pembukaan lahan perkebunan sehingga terjadi penebangan besar-besaran. Kedua, illegal logging yang dilakukan para cukong.

Namun saat ditanya siapa cukongnya, Dahlan enggan menjawab. “Yang berani saya bilang para cukongnya hanya dari kalangan sipil,” ujar dia. Diakui, pelaku di lapangan adalah masyarakat sekitar. Namun, aktor utamanya cukong.

“Yang meraih keuntungan paling banyak dari aksi illegal logging ini adalah para cukong atau pemodal,” ungkap Dahlan. Dia berharap Pemkab Aceh Utara tidak membuka izin lahan-lahan baru.

Husaini Syamaun mengaku sangat sulit menyeret para pelaku pembalakan liar, apalagi secara personal. Jika pun ada yang ditangkap, paling-paling penduduk yang disebutnya memang ‘lapar’. Mungkin itu sebab, semenjak dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Aceh, tak ada satupun pelaku illegal logging atau cukongnya yang diadili di pengadilan, kecuali dari perusahaan besar seperti PT Kalista Alam. Ini pun akibat tekanan terus-menerus dari LSM dan masyarakat internasional.

Berdasarkan catatan Serambi, dalam 10 tahun terakhir nyaris tidak ada satu pun pelaku illegal logging yang diproses di pengadilan. “Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota memang tak mampu menghentikan aktivitas illegal logging. Trennya meningkat setiap tahun,” tutur M Nur.

Berita ini telah dimuat di Atjehpost anggota sindikasi Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.