Hari Lumbangaol terlihat larut dengan pikirannya. Delapan bulan berlalu, sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu miliknya dan anggota Koperasi Hutan Mas genap berumur setahun. Toh, belum ada manfaat ekonomi yang dirasakan.
Untuk mengurus sertifikat bagi lahan hutan hak di Desa Matiti I, Matiti II, dan Sosor Tambok, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasudutan, Sumatra Utara, ia dan anggota koperasi lainnya sampai mengeluarkan uang Rp 37 juta. “Kami pikir, (setelah mengurus sertifikat) bisa dapat penghasilan tambahan,” Hari bergumam.
Sertifikat VLK milik Koperasi Hutan Mas merupakan yang pertama di Sumatra Utara dan kedua di Pulau Sumatera. Lahan milik anggota koperasi tersebar di tiga desa, yakni Desa Matiti I, Matiti II, dan Sosor Tambok.
“Ku pikir kayu kami jadi lebih mahal dan diutamakan. Ternyata banyak orang belum tahu, malah Pemkab tak mau tahu soal sertifikat VLK. Jangankan kasih bantuan, bertemu saja tak mau.” Hari yang juga menjabat sekretaris di Koperasi Hutan Mas menuturkan awalnya petani mengira cap lestari dan halal dari sertifikat VLK akan membawa banyak manfaat. Utamanya, memberi keuntungan ekonomi bagi pohon kayu di kebun mereka.
Terlebih lagi, lanjut Hari, hampir seluruh anggota koperasi juga memiliki kebun kopi jenis arabika dan kemenyan berkualitas baik. Mereka menaruh harapan, sertifikasi mampu menekan laju kerusakan hutan di desa, mampu mencegah banjir, mampu menjaga sumber air, serta mampu memastikan kepemilikan sah atas lahan yang dihutankan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, mereka mematangkan niat untuk mengajukan sertifikasi lahan seluas 35 hektare kepada Lembaga Penilai Independen PT SGS Indonesia pada November 2012. Lantas, pada 18 Maret 2013 sertifikat VLK terbit dengan masa berlaku 10 tahun.
Dipersulit
Tiga tahun yang lalu, Kementerian Kehutanan sempat mendorong pemberlakuan program SVLK untuk menekan perdagangan kayu ilegal di pasar internasional. Upaya ini dilakukan mengingat negara pengimpor produk kayu mulai menerapkan aspek legalitas dalam perdagangannya. Adapun, menurut Koperasi Hutan Mas, selama proses sertifikasi pemerintah setempat tidak memberi dukungan berarti. Mereka menilai Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan bersikap resisten terhadap proses sertifikasi tersebut.
“Beberapa kali diajak berdialog, mereka malah seperti mempersulit. Akhirnya kami mendapat support dana dari MFP II,” timpal Iwan Lumbangaol, Ketua Koperasi hutan Mas, di Medan pada Jumat pekan lalu.
Meski kecewa dengan sikap pemerintah, Iwan beserta anggota koperasi terus mengelola hutan warga dengan menerapkan aturan yang wajib diikuti semua anggota. Diantaranya memberlakukan tebang satu tanam lima dengan bibit yang tersedia di lahan pembibitan milik koperasi. Selain itu, diberlakukan larangan menebang serempak, sebab akan memancing bencana.
Iwan mengatakan, sangat disayangkan jika program sertifikasi berhenti di tengah jalan. Artinya sebatas hanya mendorong agar pemilik lahan mengurus sertifikasi, sementara itu tidak ada industri pengolahan kayu yang melek legalitas. Akibatnya, ujar dia, koperasi tetap saja hanya menjual kayu bulat. Dan, di pasar lokal perlakuan terhadap ‘kayu haram’ dan ‘kayu halal’ tak berbeda. “Tidak ada reward bagi kayu-kayu bersertifikat, harganya sama dan sudah ditentukan. Kayu kami dihargai Rp 100 ribu per batang, sama dengan kayu legal. Apa guna sertifikasi?” pungkasnya.
Awal tahun, aktivis lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia urun rembug soal implementasi standar dan pedoman penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Untuk sertifikasi VLK, kendala yang disampaikan cukup banyak. “SVLK tidak bisa menghentikan ekspansi dan perubahan hutan menjadi perkebunan sawit,” ungkap perwakilan dari Kalimantan.
Sebulan kemudian, tepatnya Februari 2014, perwakilan dari berbagai elemen diundang dalam acara bertajuk Konsultasi Publik Revisi Aturan SVLK Regional Sumatera. Adapun, agendanya yaitu membahas revisi Permenhut Nomor 42 tahun 2013 dan Perdirjen BUK Nomor 8/VI-BPPHH/2012 terkait SVLK.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Dwi Sudharto memaparkan bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan SVLK sesuai Permenhut 38/2009, dengan perubahan terakhir mengacu pada Permenhut Nomor 42/2013. Dalam pelaksanaannya, sertifikasi merupakan inisiatif dan komitmen pemerintah Indonesia, bukan atas dorongan ataupun intervensi negara lain.
Sertifikasi tersebut sekaligus menjawab tren perdagangan kayu internasional yang meminta bukti legalitas. Seperti Amandement Lacey Act di Amerika Serikat, EU Timber Regulation di Uni Eropa, Australian Illegal Logging Prohibition Act di Australia, Green Konyuho atau Goho Wood di Jepang. (SIEJ Sumatra Utara/Mei Leandha)