Jakarta, Ekuatorial – Di tengah akan diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015, para aktivis, memperingatkan dampaknya pada peningkatan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim, Rabu (4/2).

“Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) lebih fokus untuk mengalihkan pembeli dari perdagangan ke investasi. Jadi semua ini tentang perdagangan dan investasi. Alasan di baliknya adalah ASEAN sedang melihat jalan untuk liberalisasi, liberalisasi investasi sebagai cara untuk menolong kawasan menuju kemakmuran dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ada kekhawatiran terhadap langkah pembangunan ini,” ujar Riza Bernabe, Koordinator Kebijakan dan Riset Oxfam-GROW Asia Timur, yang merupakan bagian dari koalisi A-Fab (ASEAN for a Fair, Ambitious, and Binding Global Climate Deal) bersama dengan Greenpeace Asia Tenggara dan Eastern Regional Organization for Public Administration (EROPA), dalam sebuah konferensi pers di Jakarta.

Untuk Oxfam, lanjut Bernabe, kekhawatiran itu berkaitan dengan implikasi tipe pembangunan dalam emisi gas rumah kaca ASEAN. “Jika Anda ingin menciptakan Masyarakat Ekonomi ASEAN, Anda harus mengambil langkah pembangunan rendah karbon yang tidak menyebabkan perubahan iklim,” jelasnya. “Ini karena MEA sedang pusing dengan masalah perubahan iklim yang dapat mengganggu keamanan masyarakat,” tambahnya.

Orly Mercado, Sekretaris Jendral Uni Eropa, dikutip dalam kajian IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyimpulkan bahwa jika emisi karbon tidak berkurang maka suhu global akan mencapai 6 derajat celcius pada akhir zaman. “Pada dasarnya ini mengarah pada masalah bencana yang tidak dapat dihindari. Tetapi belum menjadi perhatian dalam ASEAN,” sebut Merado.

“Masalah paling penting dalam keamanan manusia adalah perubahan iklim. Ketika kita berbicara tentang bencana, kita tidak bisa lepas dari perubahan iklim,” kata mantan politisi tersebut.

Lebih lanjut, Bernabe menganjurkan negara-negara ASEAN untuk mengambil posisi lebih kuat tidak hanya dalam negosiasi perubahan iklim tetapi juga dalam rencana dan inisiatif kawasan yang mendorong pembangunan rendah karbon.

“Selain mendorong karbon rendah, juga mengembangkan program kawasan dimana negara-negara tampil dengan tindakan adaptasi yang membantu masyarakat untuk mengantisipasi dan menyiapkan diri dari dampak negatif, terutama pertanian, daerah perkotaan, daerah pesisir yang terkena dampak negatif dari perubahan iklim, terangnya. “Program kawasan yang tidak hanya fokus pada ekonomi tetapi juga membantu mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim.”

Sementara itu, Atty Soriano Zelda, penasihat hukum dan politik Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan bahwa saat ini ASEAN masih jauh dari harapan untuk bisa mejadi blok yang kuat dalam negosiasi perubahan iklim seperti G77. “Tetapi, memiliki sepuluh negara dalam satu organisasi kawasan, itulah intinya,” kata Soriano.

“Sepuluh negara ini akan secara aktif meyakinkan pemerintah lainnya dalam negosiasi blok seperti G77. Ini akan berperan aktif dan positif dalam membangun konsensus G77,” ucapnya. Fidelis E.Satriastanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.