Jogjakarta, Ekuatorial – Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) masih kesulitan mendapatkan sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Sejak aturan SVLK tersebut resmi diterapkan pada tahun 2009 lalu, masih banyak pelaku usaha kayu yang belum mengantongi ijin SVLK. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sekitar 700 pelaku usaha kayu di Indonesia belum memiliki SVLK.

Kesulitan para pelaku usaha kayu ini mengurus sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) ini beragam. Mulai dari sulitnya perijinan pada tingkat birokrasi di daerah hingga minimnya Sumber Daya manusia (SDM) yang dimiliki. Sehingga para pelaku usaha kayu ini memiliki seribu cara agar tetap bisa membeli kayu hingga bisa melakukan ekspor usahanya ke luar negeri.

Seperti cara yang dilakukan Achis Andrea, pemilik usaha Natural House yang bermarkas di Desa wisata Kasongan jalan Dr. RM Saptohoedojo no 25 Kasihan Bantul Yogyakarta. Kepada sejumlah wartawan dari berbagai media peserta workshop Jurnalistik Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, pekan pertama Mei 2015 mengaku bila dirinya belum mengantongi ijin SVLK.

Meski begitu, usaha Achis yang mengkombinasi campuran kayu dan besi ini mengaku tengah mengurus sertivikasi SVLK dengan empat anggota kelompoknya yang difasilitasi oleh LEA.

“Kendalannya di Sumber Daya Manusia (SDM) yang membuat saya belum mengurusi SVLK. tapi sekarang sedang mengurusi SVLK. Saya dan empat kelompok lainnya dalam satu grup yang difasilitasi oleh LEA,”papar Achis Andrea saat ditemui Ekuatorial belum lama ini.

Meski belum memiliki SVLK, Achis yang baru memulai usahanya lima tahun lalu ini mengaku tetap meneruskan bisnisnya. Alasannya, usaha yang ditekuni dirinya lebih banyak didominasi oleh logam. Sedangkan untuk kayunya hanya 30 persen saja.

Agar tidak menimbulkan masalah, Achis lebih condong membeli kayu bekas yang berasal dari bongkaran rumah. Itupun tidak dia beli langsung ke pemilik kayu bekas tersebut. Tapi Achis membeli kayu bekas itu dari suplairnya.

“Tapi biar kayu bekas tetap harus ada surat-suratnya. Dan surat-surat itu tanggungjawab pemasok. Seperti surat asal usul kayu yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah desa. Jadi tidak kosongan tetap harus ada surat resminya,”ungkapnya.

Untuk ekspor prodaknya, Achis mengaku tidak mengalami kendala sama sekali meski dirinya belum memiliki SVLK. Meski belum memiliki SVLK, Achis mengaku masih bisa mengekspor barang-baran produksinya ke Amerika dan negara-negara eropa yang mewajibkan adanya SVLK. Sebab, meski tidak memiliki SVLK, Achis menggunakan surat Deklarasi Ekspor (DE).

“Saya kirimnya melalui pelabuhan Semarang. Dan tak ada masalah karena saya pakai Deklarasi Ekspor (DE). Dan pihak bea cukai tahu DE itu saya pakai karena saya sedang mengurusi SVLK-nya. Sekali ekspor saya biasannya kirim 1- 2 kontainer,”paparnya.

Berbeda dengan pemilik usaha kayu Palem Craff Jogja, Deddy Effendy yang terletak di jalan Kh Dahlan 8 Pendowoharjo, Bantul, Yogyakarta. Deddy yang juga ketua kelompok Kayu Legal ini mengaku usahanya jauh lebih percaya diri menembus pangsa pasar Eropa, sejak usahanya ada tanda gambar hijau daun bertuliskan Indonesia Legal Wood. Sebab, dengan adannya gambar hijau daun tersebut menandakan kalau usahannya ini telah mengantongi ijin Sertivikasi Verifikasi Legal Kayu (SVLK).

“Dengan adannya SVLK ini pembeli jadi tahu asal usul dari daerah tebang, diameter kayu serta usia kayu. SVLK selain membuat kita tenang dalam berusaha juga membuat kami jadi percaya diri,”ungkap Deddy.

Diakui deddy, pangsa pasar Eropa jauh lebih sulit ditembus, bila eksportir tidak mengantongi sertifikasi resmi. Apalagi, Indonesia sebelum adanya SVLK, masuk dalam katagori negara yang menghalalkan kayu non ilegal. Namun, sejak kebijakan para pelaku usaha kayu memiliki SVLK, pangsa pasar Eropa tidak lagi memandang sebelah mata terhadap ekspor kayu dari Indonesia. Sebaliknya, mereka dengan tangan terbuka menerima prodak kayu asal Indonesia yang telah mengantongi ijin SVLK.

“Jadi SVLK ini menjadi kebutuhan utama para pengrajin. Memang meski menggunakan Deklarasi ekspor tidak masalah, tapi jauh lebih percaya diri kalau sudah mengantongi SVLK,”ungkapnya.

Menurut Deddy pihaknya bisa memaklumi masih banyaknya para pelaku usaha kayu ini kesulitan dalam mengurus SVLK. Sebab, untuk mendapatkan SVLK tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Pasalnya, selain biaya yang dikeluarkan cukup besar sekitar Rp 25 juta, prosesnya pun cukup ribet dan bisa bikin para pelaku usaha kayu ini menyerah dan pada akhirnya menjadi mangsa makelar-makelar oknum yang menawarkan bisa mengurus ijin SVLK.

“Sebenarnya waktunya tidaklah begitu lama. Tapi cukup rumit. Selain biaya yang besar sekitar Rp 25 juta, para pelaku usaha kayu ini pun harus melengkapi dokumen ijin seperti izin gangguan atau HO, surat izin usaha perdagangan atau SIUP, dan surat izin mendirikan bangunan atau IMB. Nah, ijin-ijin ini yang biasanya waktunya sering dimundur-mundur agar mereka menyerah dan akhinya menjadi mangsa empuk oknum-oknum,”jelasnya.

Deddy sendiri mengaku sempat akan menjadi korban dari oknum-oknum yang bermain di perijinan. Namun untungnya dirinya cepat sadar dan lebih memilih membentuk kelompok sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan SVLK. saat ini, dikelompoknya ada empat kelompok pelaku usaha kayu.

“SVLK ini berlaku selama enam tahun. Setiap dua tahun pasti SVLK itu diaudit oleh lembaga Audit. Tujuannya, selain untuk melakukan pengecekan dokumen dan data, juga sekaligus untuk melihat dari dekat apakah usaha kayu yang telah mengantongi SVLK ini masih beroperasi dan tidak menyimpang,”paparnya.

Sejak mengantongi SVLK, Deddy mengaku omsetnya selalu meningkat setiap bulannya. Rata-rata omset yang didapatkannya sebesar Rp 600 juta perbulannya. Selain pangsa pasar Eropa, usaha deddy yang terdiri dari rotan, batu, tanah liat, kulit kerang serta interior hiasan rumah seperti lampu hias ini mampu menempus pangsa pasar Amerika Serikat, Libanon dan Timur Tengah.

“Asean dan Asia jelas produk kami membanjir pasar. Hingga akhir bulan Mei ini saja, saya mengekspor rotan, yang dihiasi kulit kerang ke Amerika Serikat dan Libanon senilai Rp 200 juta,”paparnya.

Direktur Bina Pengelolaan dan Pemasaran Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dwi Sudharto dalam woorkshop jurnalis tentang sertifikasi verifikasi legalitas kayu yang digelar di hotel Jambuluwuk, Yogyakarta belum lama ini mengatakan keluarnya SVLK ini selain untuk menunjukan kualitas kayu asal Indonesia ini sah, juga untuk melindungi keberadaan hutan di Indonesia.

Total luas kawasan hutan dan perairan di Indonesia seluas 126,31 juta hektare (ha). Sedangkan total kawasan hutan seluas 120.78 juta ha. Sedangkan total luas daratan Indonesia sendiri 189,31 juta ha. Sedangkan yang masuk hutan konservasi seluas 27,43 juta ha. Untuk hutan lindung seluas 29,64 juta ha dan hutan produksi seluas 69,24 juta ha.

Dari data tersebut, ungkap Dwi, SVLK sangat diperlukan untuk melindungi hutan di Indonesia. Pasalnya, sejak aturan SVLK diberlakukan, jumlah ilegal logging mengalami penurunan yang cukup tinggi. Sepanjang tahun 2014 lalu, jumlah ilegal logging hanya 29 kasus. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan pada 2006 lalu sebelum SVLK diberlakukan. Dimana kasus ilegal logging pada tahun 2006 lalu mencapai 1.705 kasus.

Meski begitu Dwi mengakui masih banyak pelaku usaha kayu yang belum mengantongi ijin. Dari data yang ada, masih terdapat 700 pelaku usaha kayu yang belum mengantongi ijin SVLK. dari jumlah tersebut, Dwi tidak menutup mata kalau banyak para pelaku usaha kayu yang menjadi sasaran tembak para onkum-oknum tertentu, baik dari instansi maupun dari kepolisian yang mencari keuntungan pribadi.

“Untuk membantu para pelaku usaha kayu mendapatkan SVLK, ada sedikitnya 19 lembaga yang dipercaya mengeluarkan SVLK. Tentu saja persyaratan-persyaratan sesuai hukum wajib dipenuhi bila ingin mendapatkan SVLK,” pungkasnya. Bramantyo

Artikel Terkait :
Hutan Tak Habis Karena SVLK Gratis
Rebut Pasar Kayu Dunia Melalui SVLK
SVLK Bisa Cegah Illegal Logging?

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.