Aceh Timur, Ekuatorial – Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur, segera menetapkan lokasi CRU (Conservation Response Unit) gajah di hutan sekitar Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur. Hal ini dilakukan dalam upaya penanggulangan tingginya kasus konflik satwa liar gajah dengan manusia yang merugikan.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur, Iskandar mengatakan eskalasi konflik gajah dengan manusia di Aceh Timur sangat tinggi, hingga membuat masyarakat resah karena gangguan gajah liar. Gajah-gajah liar tidak hanya merusak perkebunan milik perusahaan, tetapi juga kebun milik warga. Bahkan gajah kini kerap masuk keperkampungan penduduk, sehingga membuat warga takut dan tak berdaya.

“Mengingat konflik gajah dengan manusia di Aceh Timur sudah berlangsung cukup lama dan sampai saat ini belum ada penanganan serius. Apalagi kasus gangguan gajah liar tersebut terjadi hampir setiap bulan dan penanganan selama ini hanya bersifat sporadis saja, maka dirasa sangat perlu ada CRU satwa gajah di Aceh Timur,” ungkap Iskandar, Senin (4/5) di Aceh Timur.

Iskandar menjelaskan untuk merealisasikan pembuatan CRU gajah, pemerintah daerah Kabupaten Aceh Timur sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang penetapan status kawasan lokasi CRU seluas 5.500 hektare (ha) untuk konservasi gajah. SK tersebut telah ditandatangani oleh bupati pada 20/4/2015 lalu.

Pemda Aceh Timur juga sudah mengalokasi dana di APBK perubahan untuk pembuatan kandang seluas 100 ha, dengan nilai sebesar Rp 228.800 juta. Dana untuk pembangunan perlengkapan pendukung, peralatan dan dana operasional rutin para pekerja di CRU sebesar Rp 846 juta.

Pemda Aceh Timur mengaku tidak mampu sendirian menangani masalah konflik gajah ini. Hasil monitoring dalam tiga bulan terakhir, sedikitnya ada 34 gajah liar yang terbagi dalam beberapa kawanan. Mereka yang hampir setiap hari memasuki perkampungan warga, dan memakan tanaman di kebun serta membuat ketakutan.

Pada 20 April lalu, di Desa Semangat Jaya, Simpang Kampung Beusa, Kecamatan Peureulak, ada dua gajah liar yang masuk ke perkampungan warga dan dalam kondisi gajah sakit parah. Setelah di evakuasi ke lokasi perkantoran pemda di Kecamatan Idi, lalu dirawat dan rencananya setelah sembuh akan dilepas ke hutan, karena belum ada lokasi khusus untuk penampungan gajah-gajah tersebut.

“Selama ini, gajah sakit kita rawat seadanya, rawat jalan istilahnya, setelah sembuh kita lepaskan kembali ke hutan. Dokter hewan untuk merawat gajah sakit didatangkan dari Sumatera Utara,” kata Iskandar.

Untuk mengatasi konflik gajah dengan manusia, Pemda Aceh Timur baru-baru ini mengundang sejumlah LSM lokal, Yayasan dan lembaga juga dinas terkait guna membicarakan masalah penangan konflik gajah, termasuk merencanakan langkah-langkah tindak lanjut untuk penangan jangka pendek dan jangka panjang.

“ Pada pertemuan tersebut telah dibuat perencanaan bersama dan berkomitmen untuk masa dua tahun mampu mengatasi masalah konflik gajah dengan manusia dengan diwujudkannya lokasi CRU gajah. Termasuk meminta bupati segera menetapkan Dishutbun Aceh Timur sebagai Leading Sector untuk penanganan kasus konflik gajah ini,” ungkap Iskandar.

Harus diakui bahwa Pemda Aceh Timur membutuhkan perhatian serius dari pemerintah pusat dan juga dari lembaga internasional yang perhatian di bidang ini, untuk membantu mengatasi masalah konflik gajah di Aceh Timur.

Badrul Irfan, aktivis lingkungan dari Yayasan HAKA mengatakan pembuatan CRU gajah di Aceh Timur sebenarnya telah diusulkan tahun 2008 lalu, namun setelah itu tidak ada tindak lanjut. Sementara konflik gajah dan manusia terus terjadi.

Penyebab konflik tersebut dapat disimpulkan karena penebangan liar, Illegal logging dan pembukaan lahan di wilayah hutan sehingga menganggu kehidupan gajah-gajah. Selain itu konflik juga terjadi karena banyak kebijakan yang memicu meningkatnya konflik satwa liar dengan manusia, seperti memberikan dan membiarkan sejumlah perizinan pemanfaatan hutan di wilayah koridor-koridor satwa dan kantong-kantong habitat satwa.

“Pembukaan hutan mengakibatkan hilangnya koridor satwa gajah di wilyah hutan Aceh Timur, sehingga menganggu kehidupan gajah-gajah tersebut,” kata Bandrul.

Suhelmi, sekretaris LSM Cakradonya Aceh Timur mengatakan inisiatif pemerintah Aceh Timur menetapkan lokasi CRU gajah diharapkan dapat mengatasi masalah potensi gangguan satwa liar ke perkampungan warga. Apalagi banyak gajah yang sakit dan mati karena diracun dan terkena perangkap yang dipasang warga.

Selain itu, pemerintah daerah juga harus segera melakukan alih fungsi jenis tanaman untuk daerah-daerah yang mempunyai potensi konflik satwa khususnya gajah.

“Pemda tidak memberikan bantuan bibit tanaman yang disukai gajah, seperti kelapa sawit, palawija dan lainnya kepada warga. Harus ada alternatif tanaman yang tidak disukai gajah tetapi sesuai dengan kondisi tanah setempat,” ucap Suhelmi.

Harapannya CRU gajah ini bisa dikelola oleh pemerintah daerah untuk menjamin keberlanjutannya. Karena jika peran ini diambil oleh LSM dikhawatirkan tidak berkelanjutan karena kewenangan dan sumber daya yang terbatas. Ivo Lestari

Artikel Terkait :
BKSDA Kesulitan Ungkap Kematian Gajah di Aceh Jaya
Petani Bireun Ancam Bunuh Gajah
Konflik Gajah Manusia Diperkirakan Meningkat

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.