Pekanbaru, Ekuatorial – Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu memiliki potensi alam yang luar biasa. Sungai air hitam, air khas daerah rawa gambut adalah salah satu potensi yang bisa dimanfaatkan untuk ekowisata minat khusus. Kawasan ini akan menjadi destinasi wisata eksotis dan unik di Provinsi Riau.

Mengarungi sungai berair hitam di Cagar Biosfer, banyak nilai plus yang akan didapatkan. Selain merasakan sensasi mengarungi sungai di daerah rawa, wisatawan juga bisa menikmati hutan rawa gambut yang kaya dengan flora dan faunanya.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Universitas Riau (UR) sudah merintis pengembangan ekowisata Cagar Bioafer Giam Siak Kecil Bukit Batu sejak tiga tahun lalu. Bahkan peneliti dari Jepang juga ikut serta dalam program tersebut. Beberapa waktu lalu, bersama Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau, Pemkab Siak serta Pemkab Bengkalis LIPI dan UR membuat agenda perjalanan yang bertajuk Ekowisata Black Water River Journey.

Mengarungi sungai air hitam di Cagar Biosfer, dapat dimulai dari Desa Temiang yang ada di Kecamatan Bukit Batu. Dengan sampan bermotor, wisatawan dibawa mengarungi sungai air hitam yang di kiri kanannya masih banyak tumbuh tanaman khas daerah rawa yang rimbun dan lebat. Bila tidak berhati-hati, penumpang perahu bisa terkena sabetan daun-daun keladi atau pandan rawa yang tumbuh di sungai tersebut saat melewatinya.

Air hitam yang memiliki PH rendah tersebut, bila dalam keadaan tenang tidak beriak, akan tampak seperti kaca hitam. Pohon-pohon dan tumbuhan rawa yang ada di atas air terlihat dalam bentuk yang persis sama di dalam air, laksana sedang bercermin.

Tidak hanya keindahan sungai air hitam yang dapat dinikmati, tetapi suara mahluk rimba seperti mengalunkan simponi yang indah. Aneka burung, kupu-kupu, monyet dan hewan penghuni Cagar Biosfer lainnya juga bisa kita lihat saat melewati zona inti Cagar Biosfer. Beberapa pohon meranti yang besar juga masih bisa disaksikan selama perjalanan beberapa jam di sana.

Sungai air hitam di Cagar Biosfer Giam Siak Bukit Batu biasa disebut masyarakat setempat sebagai Sungai Bukit Batu. Kedalaman sungai sekitar 8-10 meter. Menurut Sarwani, warga Desa Temiang, hewan penghuni sungai yang sering ditemui masyarakat sekitar adalah buaya. Karena itu, sebelum mengarungi sungai, peserta ekowisata diperingatkan agar tidak bermain-main air atau menurunkan tangannya ke sungai selama perjalanan.

Untuk bisa mengarungi sungai air hitam khas lahan gambut, pengunjung harus menyewa sampan bermotor dengan biaya sewa sekitar Rp 600 – Rp 800 ribu per unit, untuk perahu kapasitas 10-15 orang penumpang. Perahu akan mengantarkan peserta tur menuju Shelter Sundak, yang dibangun untuk tempat peristirahatan dan penelitian. Menuju ke shelter, perjalanan akan memakan waktu sekitar dua jam. Bila ingin melihat tasik atau danau yang luasnya puluhan hektar, perjalanan dapat dilanjutkan dengan kurang lebih selama 1,5 jam atau 2 jam berperahu dengan kecepatan standar.

“Ada 12 Tasik yang luar biasa indahnya di Cagar Biosfer ini. Luasnya ada yang mencapai 30 Ha bila musim hujan,” kata Dr Haris Gunawan, peneliti gambut dari Universitas Riau.

Peran Universitas Riau dan LIPI cukup besar merintis ekowisata di Giam Siak tersebut. Berawal dari sebuah penelitian, mereka akhirnya mempromosikan ekowisata ini ke pemerintah daerah dan pemilik tur and travel di Riau.

Menurut Dr Wahyu, peneliti dari LIPI, Desa Temiang adalah desa binaan LIPI. Desa ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai desa wisata. “Masyarakat desa yang dulunya melakukan illegal logging, kini sudah memiliki kesadaran yang baik terhadap lingkungan. Mereka tahu mengapa penting menjaga kawasan hutan agar tetap lestari,” kata Wahyu.

Kini masyarakat Desa Temiang sudah sadar wisata. Mereka terbuka terhadap para pendatang yang ingin menikmati keindahan Giam Siak. Selain bertani, mereka mulai mendapatkan tambahan penghasilan dari pengunjung yang datang.

“Mereka menjual bibit-bibit pohon meranti untuk ditanam oleh para pengunjung di spot-spot tertentu di kawasan. Hasil penjualan bibit dan sewa perlengkapan mengarungi sungai air hitam Giam Siak inilah yang menjadi penghasilan tambahan masyarakat Desa Temiang,” terang Wahyu.

Sayangnya, beberapa tempat di Cagar Biosfer Giam Siak Bukit Batu, pada Tahun 2014 lalu hangus terbakar. Ratusan bahkan ribuan hektare hutan rawa gambutnya hilang dalam sekejap. “Kerusakan ekologis inilah yang harus diantisipasi melalui pengembangan ekowisata,” tandas Harris. Winahyu Dwi Utami

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.