Sorong, Ekuatorial – Perkebunan kelapa sawit di Papua telah ada sejak tahun 1980-an, meskipun masih kurang dari lima perusahaan yang beroperasi saat itu. Sekarang, 34 tahun telah berlalu, bukan hanya satu atau dua perusahaan saja yang beroperasi di satu daerah, tapi seluruh permukaan tanah Papua telah dipetakan menjadi perkebunan kelapa sawit, mulai dari kepala burung hingga Pegunungan Tengah.

Data terakhir tahun 2014, tidak kurang 21 perusahaan telah beroperasi di Papua dengan dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat adat, yang tak “berani” bersuara secara langsung.

“Perkembangan investasi terutama perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong sangat aktif dan pergerakan masyarakatnya pun cukup aktif dalam bereaksi terhadap kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit”, ungkap Y.L. Franky penyunting buku “Atlas Sawit Papua, Dibawah Kendali Penguasa Modal” saat peluncuran perdana buku ini di Sorong (5/5/2015).

Memang benar, Kabupaten Sorong yang terletak di kepala burung Papua, merupakan salah satu daerah yang masuk dalam “Atlas sawit Papua”. Tercatat ada empat perusahaan induk atau group yang beroperasi di daerah ini seperti. Diantaraya merupakan Kayu Lapis Indonesia Group (KLI Group), COFCO, Mega Masindo, PT. Mega Mustika Plantation dan PT. Cipta Papua Plantation. Keseluruhan perusahaan tersebut memiliki total luas cakupan sebesar 165.946 hektare (ha), yang keseluruhan lahan diperuntukan bagi perkebunan kelapa sawit.

Terkait perijinan, Franky menambahkan tidak mudah mendapat informasi terkait status perijinan perusahaan sawit di Papua. “bahkan data resmi dari pemerintah berupa informasi Amdal atau pun ijin sangatlah sulit diperoleh masyarakat”, katanya.

Padahal data ini penting terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung, mengingat banyak masyarakat yang menjadi korban dan belum mendapat penanganan maksimal.

Kurang Air
Kondisi terburuk dialami masyarakat Kampung Malalilis, Distrik Klaili, Kabupaten Sorong.

“Masyarakat di kampung ini kesulitan air bersih sampai sekarang, karena kampung itu ada di dalam areal kelapa sawit. Hutannya sudah dibabat habis untuk tanam kelapa sawit . Tidak ada air disitu, mereka hanya mengharapkan air hujan atau mereka ambil air dari anakan Kali Klamono yang belum tentu bersih”, ungkap Max Binur dari Belantara Papua yang selama ini melakukan advokasi bagi masyarakat adat Papua.

Dirinya bahkan menambahkan untuk minum tidak jarang masyarakat harus rela turun ke kabupaten, agar bisa memperoleh air galon yang notabene tidak murah. Upaya itu sangat memberatkan karena jauh dan butuh waktu serta biaya, yang belum tentu mampu dilakukan oleh setiap keluarga di kampung tersebut. Bila tidak segera ditangani, niscaya kesusahan masyarakat kampung ini hanya akan menjadi contoh di setiap pertemuan.

Takut Bersuara
Ironi memang, tapi yang lebih memprihatinkan justru belum ada respon keras dari lembaga masyarakat adat yang diharapkan mampu menjadi corong utama masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan keluhannya.

“Sebenarnya bila lembaga masyarakat adat mau “bersuara”, saya rasa semua masyarakat akan bergerak dan melakukan aksi atau setidaknya berbicara kepada kami, sehingga nantinya bila dirasa perlu bisa dikeluarkan perda khusus yang mengatur ini semua”, ungkap Tori Kalami anggota DPRD Kabupaten Sorong.

Bahkan dirinya mengungkapkan banyak perusahaan investasi yang tidak jelas.

Senada dengan itu Hence dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong juga mengungkapkan bahwa, “janji pembagian keuntungan sebesar 20 persen buat masyarakat dari perkebunan sawit plasma kenyataannya adalah nol, hak-hak masyarakat tidak diperhatikan perusahaan, padahal masyarakatlah yang punya hutan dan kehidupannya sehari-hari tergantung pada alamnya”, katanya.

Perijinan tidak pernah melibatkan masyarakat, kata Hence lebih jauh.

Menanggapi hal ini, Endang, kepala Bina Usaha dan Pengelolaan Hasil dari Dinas Perkebunan Kabupaten Sorong menyatakan bahwa,”ijin tidak pernah diberikan bagi perusahaan bila masyarakat adat tidak beri ijin, apalagi bila perusahaan tidak memiliki sistem kemitraan yang jelas”.

Sayangnya pada kenyataan prosrs perijinan perkebunan kelapa sawit telah terjadi. Penyimpangan sejak dimulainya proses analisis menganai dampak lingkungan (Amdal). Terutama dalam rencana untuk melakukan konsultasi Amdal adalah tidak adanya keterlibatan langsung masyarakat terdampak dalam memberikan masukan, karena pengumuman selalu di umumkan melalui media cetak.

Menurut Franky pengumuman melalui media cetak sering dirasa terlalu terlambat. “Kalau masyarakat baca satu bulan kemudian, jelas percuma, sebab waktunya hanya dua minggu,” katanya.

Tapi secara formal perusahaan mendapat pembenaran telah menggunakan media sebagai cara untuk menyampaikan dan melibatkan masyarakat dalam proses Amdal, ungkap dirinya lebih jauh. Niken Proboretno

Artikel Terkait :
Sinar Mas Ekspansi Lahan Sawit Ke Hutan Papua
226 Ribu Ha Hutan Papua Akan Segera Musnah
Moratorium Gagal Lindungi Hutan Papua

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.