Pekanbaru, Ekuatorial – Provinsi Riau masih berada di urutan pertama dalam hal konflik sumber daya alam. Semester pertama 2015, lembaga kemitraan pembangunan sosial berkelanjutan Scale Up mencatat 31 konflik terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan Riau akibat karut marut perizinan.

Harry Oktavian, direktur eksekutif Scale Up, dalam ekspos Juli 2014 menyebutkan bahwa konflik tertinggi terjadi di sektor perkebunan. Total ada 20 titik konflik sepanjang Januari hingga Juni. “Di Kabupaten Indragiri Hulu ada 5 titik konflik, Rokan Hulu 4 titik, Pelalawan 3 titik, Rokan Hilir 2 titik, Kampar 2 titik, Kuansing 1 titik, dan Siak 1 titik,” ungkapnya.

Adapun, di sektor kehutanan terdapat 11 titik konflik. Rinciannya Siak 4 titik, Pelalawan 2 titik, Meranti 2 titik, Bengkalis 2 titik, dan Kuansing 1 titik.

Menurut Harry, karut marut perizinan berdampak negatif dan cenderung mengabaikan hak masyarakat. “Berbagai penyebab konflik sumber daya alam diantaranya penyerobotan lahan oleh perusahaan, tumpang tindih wilayah konsesi, pengabaian hak masyarakat, dan ingkar janji pihak perusahaan kepada masyarakat tempatan,” jelas alumni Universitas Riau tersebut.

Di Provinsi Riau, dua grup perusahaan besar yakni Sinar Mas dan APRIL menguasai lebih dari 2 juta hektar lahan. Kondisi tersebut, kata dia, mengesampingkan hak masyarakat yang ada dan sering memicu konflik.

Untuk mengurai konflik, Scale Up merekomendasikan agar pemerintah membentuk lembaga penyelesaian sengketa tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten. Selanjutnya, perlu ada pembatasan perizinan skala besar serta strategi penyelesaian konflik bersama. “Yang tak kalah pentingnya, ada kebijakan yang memastikan ruang kelola bagi masyarakat adat atau lokal serta mengembangkan program pembangunan yang berorientasi pada ekonomi masyarakat menengah ke bawah,” kata Harry.

Sejak 2008, Scale Up mulai mencatat konflik sosial dan sumber daya alam di Riau. Konflik tersebut terus berulang dan melibatkan semakin banyak pihak seiring dengan bertambahnya luas lahan. Selama 2008, terdapat 96 titik konflik pada lahan seluas 200.586 hektar. Tahun 2009, 67 titik konflik pada lahan seluas 345.619 hektar. Tahun 2010, 44 konflik di lahan seluas 342.571 hektar. Pada 2011, 34 konflik di lahan seluas 329.763 hektar.

Total konflik sempat turun pada 2012, menjadi 29 konflik pada lahan seluas 79.100 hektar. Namun, tahun berikutnya kembali naik menjadi 62 konflik pada lahan seluas 171.645 hektar. Kemudian, 2014 terjadi 60 konflik di lahan seluas 464.083 hektar. Data-data konflik tersebut hasil kompilasi dari pengaduan masyarakat dan monitoring pemberitaan di media massa, cetak maupun daring. “Jumlah konflik yang terjadi bisa saja jauh lebih besar dari data yang kami punya.”
Winahyu Dwi Utami

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.