Posted inArtikel /

“Burung Besi” Menggusur Burung Migran

Seekor burung cerek kernyut (Pluvialis fulva) terbang
sedangkan kawanan lainnya sedang mencari makan di pingggir sungai.
kawanan ini memakan ikan kecil, kerang kecil dan serangga di pinggir
Sungai Progo. (Bambang Muryanto)

Wilayah muara Sungai Progo di Pantai Trisik dan sekitarnya di Kabupaten Kulon Progo menjadi daerah yang selalu dikunjungi puluhan jenis burung migran setiap tahun. Kawanan burung ini mencari makan di delta Sungai Progo, di pinggiran pantai dan kawasan sawah di daerah itu hingga ke Muara Sungai Bogowonto di sisi barat. Namun kelangsungan hidup burung migran ini terancam karena bentang alam yang menjadi habitat hidupnya sedang diubah menjadi lapangan terbang baru bertaraf internasional, tempat hinggapnya “burung-burung besi”.

Awal Desember 2017, matahari pagi memancarkan sinar hangat setelah sempat menghilang beberapa hari karena hujan mengguyur seluruh wilayah Yogyakarta. Di muara Sungai Progo, sekitar 300 an burung dara laut jambul (Sterna bergii) berjemur dalam dua kelompok besar. Satu berada di pinggiran sungai, dekat pantai sedangkan satu lagi meriung di delta yang berada agak di tengah sungai selebar sekitar 100 meter itu.

Suara celoteh kawanan burung pantai seukuran burung merpati ini nyaring. Sebagian besar  diam mematung menikmati hangatnya sinar matahari, ada pula yang cekcok dengan temannya atau terbang hilir mudik ke kelompok lainnya.

Dengan pengalaman bird watching di wilayah ini beberapa tahun lalu saya mencari kehadiran burung migran (pendatang) yang biasanya bergabung dengan kawanan dara laut jambul. Dara laut jambul sendiri adalah burung penetap di muara Sungai Progo, sungai terbesar yang berada di wilayah Provinsi DIY.

Tanpa berbekal binokuler, saya berusaha mendekati kawanan dara laut jambul yang berada di pinggiran sungai. Sayang, ternyata tidak ada spesies burung migran di kelompok itu.

Berjalan di pinggiran sungai ke arah hulu, saya melemparkan pandangan ke kelompok dara laut jambul di delta. Dari kejauhan, tampak ada burung-burung dengan warna berbeda dan berukuran lebih kecil. Bulunya didominasi warna kecoklatan dan abu-abu, mirip dengan bebatuan dan tanah di delta itu.

Karena tidak mungkin mendekat, saya mengamatinya melalui view finder kamera DSLR pinjaman berlensa 200 milimeter. Benar ada beberapa jenis burung migran dalam kelompok ini. Mayoritas adalah cerek kernyut  (Pluvialis fulva) yang berjumlah sekitar seratus ekor.

Sayang, saya tidak bisa mendapatkan foto burung migran berukuran besar karena jaraknya terlalu jauh. Beruntung, Dewi Fortuna sedang bermurah hati, saat memandang ke arah utara, saya melihat beberapa burung migran sedang mencari makan di pinggiran sungai yang landai, tidak jauh dari posisi saya berdiri.

Mereka lari ke sana ke mari ketika mengejar mangsanya. Tak jelas apa yang dimakan burung-burung itu, tetapi pada hari lain saya mendapat jawaban dari Lim Wen Sin, seorang pengamat burung senior di Yogyakarta yang melakukan pengamatan burung intensif di Pantai Trisik  sejak 2002.

“Burung-burung itu mencari makanan seperti cacing, kerang kecil-kecil dan serangga air,” ujarnya.

Berjalan perlahan, saya mendekati lokasi itu dan bersembunyi di belakang pohon pisang. Dari jarak sekitar 15 meter saya berhasil “membekukan” aktivitas burung cerek kernyut, cerek pasir besar (Charadrius leschenaultii), dan biru laut ekor blorok (Limosa lapponica).

:Burung migran trinil pantai (Tringa hypoleucos) sedang mencari
makan di pinggir sungai Progo. burung ini juga sering berada di muara
Sungai Bogowonto.(Bambang Muryanto)

Pada kunjungan berikutnya, saya menjumpai burung biru laut ekor hitam (Limosa limosa) dan trinil pantai (Tringa hypoleucos). Tetapi yang paling mengejutkan sekaligus menggembirakan, saya berhasil memotret cerek jawa (Charadrius javanicus), jenis burung pantai, endemik jawa dan terancam punah!

Imam Taufiqurrahman, Direktur Yayasan Kutilang Indonesia (sebuah NGO yang memberikan perhatian kepada konservasi burung) mengatakan muara Sungai Progo di Pantai Trisik dan wilayah sekitarnya menjadi salah tempat transit burung-burung pantai migran di Indonesia. Setidaknya ada 42 jenis burung pantai migran yang biasa mampir di daerah ini setiap tahun.

Ini jumlah yang tidak sedikit!

Buku “Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta” yang diterbitkan Yayasan Kutilang Indonesia (2015) mencatat Pantai Trisik dan sekitarnya adalah kawasan yang memiliki keragaman burung pantai tertinggi se Jawa dan Bali. Tahun 2015, dua jenis burung migran baru berhasil diidentifikasi di sini dan sekaligus untuk Indonesia, yaitu kedidi dada coret (Calidris melanotos) dan cerek kalung besar (Charadrius hiaticula).

Burung-burung migran ini berasal dari daerah Siberia, Mongolia, Asia Utara dan sekitarnya bergerak melewati rute yang disebut jalur penerbangan Asia Timur-Australasia menuju selatan dengan tujuan Papua, Selandia Baru dan Australia. Setiap tahun burung-burung ini melakukan migrasi untuk menghindari musim dingin.

“Di tempat asalnya, musim dingin menyebabkan pakan mereka tidak ada. Air membeku semua,” ujarnya.

Imam mengatakan kawanan burung migran mulai datang secara bergelombang ke Pantai Trisik dan sekitarnya mulai akhir Agustus. Dari pengamatan yang pernah dilakukannya, jumlah totalnya bisa mencapai sekitar 3000-an individu.

kawanan burung dara laut jambul (Sterna bergii) meriung di delta Sungai Progo di Pantai Trisik. Kawanan berbagi ruang dengan burung-burung migran yang datang setiap awal September hingga akhir Mei di kawasan itu. burung dara laut jambul adalah burung penetap, burung ini juga mudah ditemukan di delta sungai bogowonto yang bermuara di Pantai Congot, yang berdekatan dengan landasan Bandara New Yogyakarta International Airport yang sedang dibangun oleh pemerintah. (Bambang Muryanto)

Setelah tiba di Pantai Trisik, sebagian kecil ada yang tinggal di kawasan ini tetapi mayoritas meneruskan perjalanan menuju tujuan akhir.

“Itu tergantung kepada kondisi fisik dan faktor alam lainnya,” ujarnya.

Imam mengatakan saat pulang ke daerah asalnya tiba, burung-burung ini mampir lagi di Trisik sekitar Januari. Setelah tinggal sejenak mereka meneruskan perjalanan pulang dan  “hilang” dari kawasan ini sekitar Mei.

Muara Sungai Progo di Pantai Trisik dan sekitarnya menjadi tempat favorit untuk mencari makan bagi burung-burung migran. Imam dan kawan-kawan mencatat dalam Jurnal Stilt (terbitan Australasian Wader Study Group, 2010), secara internasional Pantai Trisik bisa dianggap sebagai habitat penting bagi kehidupan burung kedidi putih (Calidris alba).

Tolok ukurnya adalah parameter yang dibuat Bamford, M., D. Watkins, W. Bancroft, G. Tischler, & J. Wahl, “Migratory Shorebirds of the East Asian-Australasian Flyway: Population Estimates and Internationally Important Sites”, terbitan Wetlands International – Oceania (2008). Jika terdapat satu persen threshold setara dengan 220 individu maka masuk kategori habitat yang penting.

Dengan menggunakan parameter Bamford pula, pengamat burung A.C. Crossland dan kawan-kawan menyebut kawasan Pantai Glagah yang terletak sekitar 17 kilometer di sebelah Barat Pantai Trisik sebagai habitat penting kedidi putih. Dalam Journal Stilt (2010) mereka menemukan 432 individu di sekitar laguna, pantai dan lahan berpasir.

Burung Numenius Sp sedang mencari makan di wilayah muara Sungai Progo di Pantai Trisik, Kulon Progo. (Bambang Muryanto)

Imam menulis ada kemungkinan kedidi putih yang berada di Pantai Trisik juga berasal dari Pantai Glagah, begitu pula sebaliknya. Tak hanya itu, Pantai Glagah juga menjadi tempat breeding yang penting bagi cerek jawa.

Dalam sebuah pembicaraan, Lim Wen Sin mengatakan burung-burung migran itu juga mencari makan di sepanjang pantai.

“Mereka mencari makan mulai dari Pantai Trisik hingga Pantai Congot, tempat muara Sungai Bogowonto,” ujarnya.

Wilayah pinggir pantai menjadi koridor yang menghubungkan tempat-tempat fovorit burung migran, muara sungai Progo, muara Sungai Serang di Pantai Glagah dan Muara Sungai Bogowonto di Pantai Congot. Burung-burung migran itu memakan mikro organisme yang terbawa ombak ke darat. Saat ombak datang, mereka menghindar tetapi sejurus kemudian berlari secepat kilat dan mematuk mangsanya yang tertinggal di pasir pantai saat ombak surut.

Pengendali Ekosistem Hutan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta, Titis Fertiyoso melakukan pengamatan di delta Sungai Bogowonto pada musim migrasi 2017.  Ia menemukan 15 jenis burung, 12 diantaranya jenis burung migran. Jenis yang paling banyak adalah kedidi putih, ada 39 individu.

“Sekarang semakin banyak burung migran yang berada di delta Sungai Bogowonto, mungkin berpindah dari wilayah Trisik. Delta Sungai Progo berubah, semakin mengecil karena ada penambangan pasir,” ujarnya.

Sayangnya, keberlanjutan kehidupan burung migran di wilayah ini mendapat ancaman serius. Pemerintah sedang membangun lapangan terbang baru di Yogyakarta yang lokasinya hanya seratus meter dari bibir pantai dan memanjang 5443 meter dari Pantai Glagah hingga ke Pantai Congot, tepatnya persis di timur muara Sungai Bogowonto.

Lapangan terbang berkelas dunia bernama New Yogyakarta International Airport (NYIA) itu akan menggantikan Bandara International Adisutjipto yang sudah terlalu kecil untuk melayani padatnya penerbangan dari dan ke Yogyakarta, kota tujuan pariwisata terpenting kedua setelah Pulau Bali.

General Manager PT. Angkasa Pura I, Agus Pandu Purnama mengatakan jumlah penumpang yang dilayani di Bandara International Adisutjipto meningkat pesat dalam 20 tahun terakhir ini. Dari 1,2 juta orang per tahun meningkat menjadi 7,2 juta pada 2016.

“Jumlah penumpang ini akan naik terus, pesawat sering berputar-putar sampai satu jam di atas Yogyakarta karena harus antri mendarat,” ujar Agus kepada warga yang menolak pembangunan NYIA di Palihan, Jumat (15/12).

Bandara baru ini juga dipercaya akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat luas karena mampu meningkatkan pariwisata dan perdagangan.

Saat berada di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, saya membaca draf Analisa Dampak Lingkungan (Andal) Pembangunan Bandara NYIA yang disusun PT. Angkasa Pura I setebal 15 cm. Dalam draf yang dibuat Mei 2017 itu, Bab I halaman 9 tertulis dalam periode 2020-2031 lapangan terbang dengan konsep aerocity ini diharapkan bisa menampung penumpang 10 juta orang per tahun dan melayani 14 juta penumpang per tahun.

Ini tentu membuat NYIA menjadi bandara super sibuk. Setiap jam bandara seluas 587 hektar itu akan melayani 26 pesawat  domestik dan 6 internasional atau satu pesawat tiap dua menit. Total dalam setahun akan melayani 87.000 penerbangan domestik dan 10.350 penerbangan internasional.

Wilayah pantai yang sunyi ini menjadi bising dengan suara pesawat yang datang dan pergi.

“Kehidupan burung-burung migran jelas akan terganggu,” ujar Lim Wen Sin.

Salah satu dampak negatifnya, burung-burung pantai tidak lagi bisa mencari makan dengan nyaman di sepanjang pinggir pantai. Suara bising pesawat akan mengusiknya.

Lokasi bandara yang tepat berada di antara muara Sungai Serang di timur dan muara Sungai Bogowonto di barat itu juga bisa mengganggu pergerakan burung-burung migran yang terbang hilir-mudik dari wilayah-wilayah favorit mereka mencari makan. Burung-burung itu bisa mati jika menabrak pesawat yang sedang bergerak cepat di landasan atau saat terbang dengan ketinggian yang sama dengan burung-burung itu.

“Ini juga membahayakan bagi keselamatan penerbangan jika burung-burung itu menabrak pesawat,” tambah Lim

Apalagi banyak burung cerek kernyut yang mampir di kawasan ini. John Mac Kinnon, Karen Phillipps dan Bas van Balen dalam buku “Burung-Burung di Sumatera, Jawa Bali dan Kalimantan” mencatat salah satu kebiasaan cerek kernyut suka mencari makanan di lapangan terbang yang dekat pantai.

Imam mengatakan perubahan habitat alam akibat pembangunan lapangan terbang bisa menyebabkan burung-burung migran berpindah mencari lokasi baru. Boleh jadi, ini bisa merugikan para petani.

“Burung-burung migran itu biasanya datang saat musim hujan mulai ketika sawah sedang diolah. Mereka juga mencari makan di area persawahan, makan serangga yang bisa jadi adalah hama tanaman,” ujarnya.

Di Pantai Glagah, sebagian pertanian di lahan berpasir sudah rata, pagar keliling dipasang yang menandai wilayah itu masuk areal bandara NYIA. Wilayah Pantai Glagah adalah habitat penting untuk cerek jawa yang menurut Birdlife Internasional (2014) sudah masuk kategori terancam punah.

Saya menemui Kepala BKSDA Yogyakarta, Junita Parjanti usai melepaskan burung elang bido (Sphilornis cheela) di Gunung Tumpeng, Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Kamis (25/1). Ia  mengatakan dengan tegas pembangunan NYIA berdampak pada kehidupan burung-burung migran di lokasi itu.

“Ya namanya perkembangan jaman, pasti ada dampak positif dan negatifnya,” ujarnya.

Junita mengatakan BKSDA Yogyakarta akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menekan dampak negatif NYIA terhadap kehidupan burung migran.

Sayang hingga awal 2018, BKSDA Yogyakarta belum melihat dokumen amdal dari NYIA.  Dari amdal, kita bisa mengetahui apa langkah-lagkah yang bisa diambil untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kehidupan burung migran di sekitar lokasi pembangunan.

Draft Analisa Dampak Lingkungan Pembangunan Bandara NYIA hanya menyinggung Pantai Trisik sebagai lokasi untuk burung-burung migran, tanpa menyebutkan Pantai Glagah dan muara Sungai Bogowonto di Pantai Congot sebagai suatu kesatuan habitat yang saling berkaitan. Bab III yang membahas soal Prakiraan Dampak Penting untuk gangguan pada fauna khususnya burung, sama sekali juga tidak menyinggung soal burung-burung migran.

Draft Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) juga tidak membahas soal burung-burung migran.

General Manager PT. AP I, Agus Pandu Purnama menjelaskan Bandara NYIA sudah dilengkapai dengan dokumen Amdal dan sudah mendapat Ijin Lingkungan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam dokumen itu sudah dikaji soal flora dan fauna yang ada di lokasi pembangunan bandara dan wilayah sekitarnya.

“Untuk melengkapi dokumen Amdal pada pengelolaan fauna sudah dibuatkan kajian pengelolaan satwa liar (burung migran) di Pantai Trisik dan sekitar wilayah rencana tapak bandara dengan bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB),” ujarnya.

Saya berhasil menghubungi Kepala tim kajian pengelolaan satwa liar, ia adalah Harini Muntasib, dosen di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB.

“Salah satu masalah yang terkait dengan lingkungan bandara adalah wildlife, dan yang sangat terasa adalah burung,” tulisnya melalui pesan whatsapp.

Untuk memperkaya kajiannya, tim ini mengadakan focus group discussion (FGD) di University Center (UC) Universitas Gadjah Mada yang dihadiri antara lain oleh para pengamat burung di Yogyakarta, pada Kamis, 3 Agustus 2017.

“NYIA itu terletak 10 kilometer dari Trisik dan Trisik bukan merupakan arah untuk take off dan landing pesawat. Jadi sebenarnya tidak terganggu (burung migran) kalau terkait dengan NYIA,” tulisnya.

Dalam rekomendasinya, tim ini menyarankan agar ada manajemen habitat untuk hidupan liar di dalam NYIA dan sekitarnya, pemanfaatan sumber daya yang menjadi habitat satwa liar di luar bandara menjadi dasar pengelolaan tata ruang dan lahan, menyusun sistem pendekatan terpadu dan peningkatan pemahaman dari pengelola bandara dan masyarakat tentang hidupan liar.

Ahli burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang terlibat dalam kajian ini, Ign. Pramana Yuda, menambahkan soal rekomendasi untuk wilayah di luar bandara NYIA, khususnya Pantai Trisik dan lainnya (di luar Trisik).

“Prinsipnya pengaturan tapak yang dapat menjadi habitat burung dan satwa liar. Pengelolaan di luar bandara ini harus ada kerja sama antara masyarakat, pemerintah daerah dan PT. AP I,” ujar Presiden Indonesia Ornithologists’ Union (IdOU) ini.

Burung Cerek Jawa (Charadrius javanicus) adalah burung pantai penetap, tetapi burung ini menurut Birdlife International sudah masuk dalam status terancam punah karena alih fungsi lahan di kawasan panati. Burung ini bertelur di semak-semak di wilayah pantai. Selain di trisik, habitat penting burung ini ada di Pantai Glagah yang menjadi lokasi pembangunan bandara NYIA. (Bambang Muryanto)

Saat saya duduk di bawah pohon kelapa untuk mengamati burung-burung migran di delta Sungai Bogowonto, Sumardi datang dan duduk di samping saya. Ia adalah warga Desa Jangkaran yang bekerja pada proyek pembangunan NYIA.

Dari pertemuan dengan warga di sekitar pantai, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui nama-nama burung migran dan kehidupannya. Saat saya bertanya kepada Sumardi burung-burung apa yang sering berada di delta Sungai Bogowonto ia tidak bisa menyebutkannya.

“Itu burung ambles bumi,” ujarnya bercanda.

Arti dari ambles bumi adalah hilang ditelan bumi. Saya menerka maksudnya, ia ingin mengatakan burung-burung migran itu jika masanya tiba akan menghilang dari wilayah pantai.

Pembangunan NYIA mustahil bisa dihentikan. Saat meletakkan batu pertama, Januari 2017 lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar bandara baru ini bisa beroperasi tepat waktu, Maret 2019.

Jika itu terjadi, burung-burung migran mungkin benar-benar ambles bumi. Mereka tidak mampir lagi ke wilayah pantai di Trisik, Glagah dan Congot karena kondisinya sudah tidak asyik lagi.

Tetapi saya berharap ada keajaiban, kawanan “turis bersayap” dari bumi belahan utara itu masih sudi mampir di wilayah itu, walaupun mungkin tidak sebanyak dahulu kala.

BAMBANG MURYANTO

Liputan ini merupakan bagian dari Fellowship Biodiversity Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ). Didukung oleh Internews

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.