Posted in

Minimnya Penelitian Bunga Bangkai

Masalah konservasi Rafflesia yang sebenarnya dan seharusnya bisa menjadi titik balik konservasi Rafflesia adalah minimnya penelitian. Menurut Susatya, pada masa Kolonial Belanda penelitian tentang jenis Rafflesia sangat intensif dan mencapai puncaknya, baik dalam penemuan jenis-jenis baru maupun percobaan konservasi ex-situ atau pelestarian di luar habitat aslinya. Setelah masa itu, penelitian tentang Rafflesia mengalami kemunduran.

Pada tahun 2010, Lazarus Agus Sukamto dan Mujiono dari pusat penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mencoba melakukan penelitian in vitro atau kultur jaringan Rafflesia di laboratorium. Meski dilaporkan pada penelitian itu kalus atau jaringan Rafflesia bisa hidup pada media biakan, tapi tetap saja tidak berhasil menumbuhkan embrio atau individu baru Rafflesia.

Penelitian terbaru yang dilaporkan di Indonesia, pada tahun 2012, peneliti dari Universitas Bengkulu, Marlin Herlambang kembali mencoba melakukan penelitian kultur jaringan Rafflesia. Tapi tetap saja belum membuahkan hasil, Rafflesia tetap belum bisa ditumbuhkan. Bunga yang hidup dengan menempel pada liana itu, hingga saat ini masih terselubung misteri.

“Tidak banyak Penelitian begitu (Pembiakan Rafflesia – red), karena tidak menjadi penelitian yang seksi dari segi pendanaan. Kemungkinan karena dianggap tidak ada manfaat langsung ke kehidupan, bukan ilmu terapan, tapi murni ilmu. Walau mungkin setelah terungkap nanti, bisa saja ada manfaatnya,” kata Susatya.

Selain sedikitnya dukungan terhadap penelitian reproduksi Rafflesia, persoalan lainnya adalah panjangnya siklus hidup Rafflesia. Susatya menjelaskan, dari sejak Rafflesia menempel di liana –Terlihat seperti bintik- hingga memecah kulit liana dan mencapai ukuran sebesar kelereng saja butuh waktu 2 tahun. Kemudian untuk bisa mekar sempurna, paling tidak butuh waktu 2,5 tahun lagi. Waktu keseluruhannya bisa mencapai 4,5 tahun, dan hanya akan mekar sempurna hanya 8 hari saja. “Di kalangan peneliti malah ada ungkapan, makin banyak seorang peneliti mengamati Rafflesia, berarti peneliti itu makin gila,” kata Susatya sembari tertawa.

Sementara, lanjutnya, di dunia internasional, meski ada penelitian tentang Rafflesia, tapi penelitiannya lebih difokuskan pada DNA. “Sebenarnya banyak penelitian di dunia internasional, tapi mereka concern (Perhatian) ke DNA, keunggulan teknologi mereka di sana, tapi tidak untuk perkembangbiakannya. Yang dilihat mengenai genetik,” lanjutnya.

Predator Bagi Rafflesia

Ancaman kepunahan tidak hanya karena keberadaan Rafflesia masih misteri. Setelah diketahui keberadaannya, Rafflesia menghadapi ancaman baru, yakni predator. Predasi menjadi salah satu ancaman utama keberadaan Rafflesia di setiap siklus hidupnya.

Jamili Nais, setelah melakukan penelitian panjang, menbagi siklus hidup Rafflesia menjadi 3 fase perkembangan knop atau kuncup bunga, yaitu pasca kemunculan knop (post emergence), perkembangan tengah (middle development), dan sebelum mekar. Siklus hidup secara lengkap sebetulnya terdiri dari 7 fase yang berurutan dan meliputi proses penyerbukan, pembentukan buah dan biji, penyebaran biji, inokulasi biji ke inang, kemunculan kuncup bunga, kuncup yang matang, dan bunga mekar.

Susatya sendiri membagi siklus hidupnya berdasarkan pengamatan visual, ia membaginya 6 bagian utama yaitu; fase kopula, kopula-brakta, brakta, brakta-perigon, perigon, dan mekar. Fase kopula ditandai dengan kenampakkan kuncup yang seluruhnya berupa kopula. Fase brakta ditandai dengan kenampakkan kuncup yang hampir seluruhnya berupa brakta. Sedangkan fase perigone dicirikan dengan kuncup yang hampir seluruhnya tertutup perigone. Fase kopula-brakta atau brakta-perigon masing-masing merupakan fase saat dimana dua struktur bunga tersebut terlihat dominan.

Gambar 4 Siklus Hidup Rafflesia (Dari kiri ke kanan: fase kopula, fase brakta-perigon, fase perigon dan mekar) Foto: dok Agus Susatya

Proses dari bentuk kopula yang terlihat sebesar kelereng hingga mekar sempurna, setidaknya butuh waktu hingga 3 tahun. Waktu yang panjang untuk menanti mekarnya bunga yang hanya akan mekar secara sempurnya selama 7 atau 8 hari saja.

Bayangkan bagaimana rasanya, jika beberapa bulan setelah muncul kopula Rafflesia yang hanya seperti bintik, lantas bintik itu terinjak oleh hewan liar atau ada yang tidak sengaja menginjaknya. Mekarnya Rafflesia kemudian hanya akan jadi angan.

Nais menyebutkan setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan kematian kuncup yaitu; keterbatasan hara dan hasil fotosintesis, kerusakan karena serangga, dan pemakanan (predation) kuncup oleh hewan.

Kematian pada kuncup berukuran kecil (kopula) biasanya terjadi karena dua faktor pertama di atas. Predasi jarang terjadi pada kuncup dalam fase kopula, karena pada fase ini jaringan asli kuncup Rafflesia terlindungi oleh kulit dari inang yang keras. Dua jenis mamalia yang dikenal memakan bunga yakni Tupai dan Landak. Injakan kaki dari babi hutan, kucing hutan, rusa, muncak, dan banteng bisa merusak.

Di Bengkulu, Susatya menilai tingkat kematian individu kuncup Rafflesia, dari semua jenis yang ada 64 persennya mempunyai mortalitas atau kemungkinan mati  yang sangat tinggi yakni 80 hingga 100 persen. Bahkan untuk jenis Rafflesia bengkuluensis di salah satu lokasi di Talang Tais mortalitas dapat mencapai 100 persen dalam waktu kurang dari 2 bulan.

Rafflesia dengan semua misterinya saja menjadikannya sebagai flora yang keberadaanya menjadi sulit, ditambah lagi banyaknya ancaman terhadap habitatnya, kehidupan Rafflesia menjadi lebih rentan.

Pengrusakan Oleh Manusia

Menurut Susatya, pembalakan liar mempunyai dua efek. Selain pastinya akan mengakibatkan hilangnya inang struktural dari liana dan pohon yang ditebang akan merusak inang dan kuncup Rafflesia. Efek kedua adalah adanya tangan jahil yang pemotong inang atau merusak kuncup. Biasanya jika suatu lokasi di taman nasional atau hutan lindung telah diketahui ada populasi Rafflesia, maka lokasi tersebut tidak lagi menjadi target pembalakan liar.

“Memang, pembalakan liar tidak lagi terjadi di lokasi tersebut, karena lokasi tersebut menjadi tujuan pengunjung atau pengawasan dari instansi pemerintah, khususnya kehutanan. Tapi, pembalak liar akan mencari kesempatan untuk merusak dan mematikan koloni Rafaflesia dengan harapan lokasi tersebut tidak lagi menjadi target pengawasan pengelola kawasan karena tidak ada lagi Rafflesia,” kata Susatya.

Di sisi lain, meski populasi atau subpopulasi Rafflesia dapat juga dijumpai di luar kawasan hutan atau lahan penduduk selain di dalam kawasan hutan seperti di kawasan hutan lindung, cagar alam, dan taman nasional.  Tapi keberadaan Rafflesia tetap tidak luput dari ancaman pengrusakan. Motifnya biasanya, menurut Susatya, lantaran pemilik lahan tidak ingin lahannya kemudian didatangi orang karena bisa mengganggu aktivitasnya berkebun.

Habitat Rafflesia di lahan penduduk mempunyai ciri yang khas. Biasanya habitatnya tidak luas (kurang dari 0,1 hektar), di bagian lahan penduduk yang tidak tergarap, dan terletak pinggir sungai atau lereng yang terjal. Vegetasi biasanya didominasi tumbuhan pionir dan membentuk komunitas hutan sekunder muda.

Dua kasus tersebut di Bengkulu telah banyak dijumpai di Bengkulu. Adalah Komunitas Pecinta Puspa Langka (KPPL) yang banyak mencatat terjadinya pengrusakan Rafflesia secara sengaja, baik pengrusakan Rafflesia yang telah mekar atau bahkan pengrusakan bongkol Rafflesia.

Gambar 5 Pengrusakan habitat, inang dan bongkol Rafflesia oleh orang tak bertanggung jawab sering terjadi. Foto: dok KPPL Bengkulu Utara

Menurut Sofian, koordinator KPPL, didekat habitat Rafflesia biasanya ada kelompok masyarakat yang sepertinya mengabaikan norma konservasi, tetapi malah mencari keuntungan dari keberadaan Rafflesia dengan membuka pameran ketika ada Rafflesia yang sedang mekar dan mendapatkan keuntungan dari pengunjung yang datang.

Hal tersebut, menurutnya malah memicu kecemburuan sosial. Tindakan pengrusakan terhadap habitat Rafflesia, bahkan merusak inangnya hingga bongkolnya seperti dibelah sebelum mekar, diduga dipicu karena hal tersebut. “Padahal Rafflesia itu dilindungi, jika ketahuan dengan sengaja merusaknya, sesuai Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam, hal itu bisa dipidana,” kata Sofian.

Oleh karena itu, tentunya sebelum benar-benar terlambat, harus ada upaya untuk melestarikan Rafflesia. Jika tidak, suatu saat tidak akan ada lagi yang bisa menikmati keindahan Rafflesia. Rafflesia bisa jadi hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu.

RICKY JENIHANSEN B

Liputan ini merupakan bagian dari Fellowship Biodiveristy Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ). Didukung oleh Internews

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.