Hampir 5 dekade, petani Bongkoran, Banyuwangi, berkutat dengan konflik lahan. Kini mereka berharap besar para Reformasi Agraria yang kembali dipromosikan oleh pemerintahan Joko Widodo. Namun dibalik itu, pemerintah juga terus mengeluarkan izin-izin investasi baru di sektor infrastruktur, pertambangan dan industri yang justru mengancam dan menguasai lahan-lahan milik petani.

Oleh: Ika Ningtyas

Banyuwangi, JAWA TIMUR. Setelah hampir lima puluh tahun berkutat dengan konflik lahan, petani Bongkoran, Banyuwangi, Jawa Timur berharap reformasi agraria yang semangat dipromosikan oleh pemerintahan Joko ‘Jokowi’ Widodo dapat mengembalikan hak atas lahan mereka.

“Kami sudah mengajukan dokumen-dokumen dan peta lahan kami kepada presiden agar bisa diprioritaskan dalam program reformasi agraria,” kata Yateno Subandio, Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi, pertengahan April lalu.

Reformasi agraria atau penataan ulang kepemilikan lahan, terutama untuk para petani dan buruh tani, sudah termaktub dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Namun, UU tersebut dibekukan oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967 dan digantikan dengan peraturan yang membolehkan investasi perkebunan dalam jangka waktu hingga 30 tahun.

Atas dasar aturan tersebut, pemerintah pun menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada banyak perusahaan skala besar. Salah satunya adalah PT Wongsorejo yang berlokasi di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, yang mendapatkan izin untuk perkebunan kapuk randu seluas 603 hektar pada tahun 1970an.

Dari luasan tersebut, 231 hektar merupakan lahan yang sudah digarap dan didiami oleh petani Bongkoran, — 220 hektar lahan pertanian dan sebelas hektar pemukiman –, sejak tahun 1930-1940an.

Hal tersebut memaksa sebagian petani Bongkoran, dinamakan sesuai dengan nama kampung mereka, mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan Timur akibat tidak leluasa bercocok tanam. Sementara, sebagian lagi bertahan untuk menuntut pengakuan hak atas tanah mereka hingga saat ini.

Pada tahun 2014, Badan Pertanahan Nasional (BPN) kembali memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT Wongsorejo, setelah masa beroperasi HGU perusahaan ini habis pada tahun 2012. Luasan Hak Guna Bangunan mencapai 487 hektar dan 60 hektar untuk mantan pekerja perkebunan. Lahan petani Bongkoran seluas 231 hektar juga masuk dalam izin pengusahaan tersebut.

Sengketa ini memicu bentrokan fisik antara petani dan perusahaan. Satu petani terkena tembakan dan empat petani dipenjara selama dua hingga 20 hari tanpa proses persidangan pada tahun 2001. Sementara, tahun 2014, bentrokan antara petugas keamanan perusahaan dan petani berujung kepada tiga petani ditangkap dan dijatuhi hukuman empat bulan dan 15 hari penjara.

Corporate Communication PT Wongsorejo, Tria Utama, mengatakan bahwa pihaknya memperoleh semua perizinan untuk pembangunan kawasan industri secara prosedural sesuai undang-undang.

“Kami punya HGB (Hak Guna Bangunan) yang dilindungi undang-undang, surat-surat kami lengkap semua,” kata Tria.

Ia mengatakan bahwa banyak dari petani Bongkoran yang menempati lahan milik perusahaan setelah tahun 2000.

“Mereka masuk menempati lahan kami bahkan tidak bisa menunjukkan bukti-bukti surat. Bahkan di desa saja tidak ada titik kerawangannya (red : kejelasan) yang menunjukkan tanah itu milik mereka,” kata Tria.

Beberapa petani Bongkoran menggiling jagung habil panen merken. Foto oleh Ika Ningtyas.

 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perusahaan akan memulai pembangunan kawasan industri pada akhir tahun 2018 atau awal tahun 2019 dan diperkirakan akan menyerap sekitar 70 ribu tenaga kerja dengan prioritas penduduk lokal.
“Pasti kami memprioritaskan untuk warga Wongsorejo sebelum merekrut tenaga kerja dari kabupaten lainnya,” kata Tria menambahkan membuka kesempatan untuk petani Bongkoran bekerja di industri sebagai solusi mengakhiri sengketa yang terjadi.
Solusi tersebut, katanya, sesuai dengan peraturan daerah yang menetapkan kawasan sengketa sebagai kawasan industri bukan pertanian sehingga warga sekitar harus beralih ke sektor-sektor yang mendukung industri.

Berdasarkan Peraturan Daerah No. 8 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi 2012 -2032, Kecamatan Wongsorejo akan menjadi kawasan industri yang terdiri atas industri logam dasar, industri kimia dasar, industri minyak bumi, industri mesin dan peralatan, industri kayu, karet, plastik, industri kertas dan industri makanan dan minuman.

“Kalau dilihat perda RTRW [Rencana Tata Ruang Wilayah], kawasan Wongsorejo ini dikhususkan sebagai kawasan industri. Jadi, warga sekitar bisa mendirikan usaha yang berkaitan dengan industri,” kata Tria.
Namun, para petani menolak dan membandingkan penghasilan petani yang dapat mengantongi Rp4,8 juta per bulan saat cuaca normal ketimbang bekerja berdasarkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) yaitu sebesar Rp1.881.680 per bulan.

“Apalagi kami yang cuma lulusan sekolah dasar ini, akan menjadi apa kalau kerja di industri? Mungkin cuma cleaning service atau pekerjaan paling rendah. Nah, itu gajinya pasti sedikit sekali,” kata Yateno.

Kepala Bidang Sarana Prasarana Wilayah dan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Banyuwangi, Edi Purnomo mengakui dua ribu hektar lahan di Kecamatan Wongsorejo, termasuk lahan PT Wongsorejo, telah ditetapkan sebagai kawasan industri sesuai dengan peraturan daerah.

Sehingga, pemerintah menerbitkan izin Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT Wongsorejo yang berencana membangun kawasan industri.
Terkait sengketa dengan petani, Edi mengatakan bahwa itu menjadi wewenang PT Wongsorejo sebagai pemegang hak atas tanah.

Meski demikian, ia mengatakan bahwa pemerintah Banyuwangi sudah melakukan mediasi antara perusahaan dan petani melalui camat setempat, namun belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak.

 

Bertahan Dalam Konflik 

Gagal panen tidak lagi menjadi hal utama yang dikhawatirkan oleh Sriyati, salah satu petani Bongkoran, semenjak memutuskan untuk tinggal di desanya dan memperjuangkan hak atas tanah yang sudah didiami selama berpuluh-puluh tahun.

Perempuan berusia 45 tahun tersebut mengisahkan kejadian tahun 2017 silam saat ia bekerja di ladang dan terdengar suara kentongan yang menandakan ada ancaman dari perusahaan dan para petani diminta berkumpul untuk melawan.

Bersama ratusan petani lainnya, ia berusaha mencegah pendirian pos jaga oleh perusahaan pada lahan milik petani. Pendirian pos jaga akhirnya bisa  digagalkan oleh para petani.

“Menanam selalu tak tenang,” kata Sriyati menambahkan ia selalu was-was dengan upaya penggusuran dari PT Wongsorejo.

Meski demikan, Sriyati bersama 288 keluarga petani lainnya masih tetap menggarap lahan pertanian seluas 220 hektar yang dibagi tiga perempat hektar untuk setiap keluarga.

 

Sriyati, petani Bongkoran memeriksa tanaman cabainya yang mulai layu. Foto oleh Ika Ningtyas.

Para petani menanam lima jenis tanaman pangan dan palawija secara tumpang sari, mulai jagung, singkong, cabai, kacang tanah dan kacang hijau.

Dalam kondisi cuaca normal, panen jagung bisa mencapai 1.728 ton, 864 ton untuk panen singkong, 432 ton untuk cabai, satu ton untuk kacang tanah, dan 576 kuintal untuk kacang hijau.

Berada pada daerah dengan curah hujan rendah, maka pertanian mengandalkan tadah hujan dan bertanam saat musim penghujan tiba. “Semoga hujan segera datang,” harap Sriyati yang mengalami gagal panen jagung pada bulan lalu.

Kegelisahan juga melanda Fitriyani yang tengah hamil tujuh bulan karena harus melalui jalan yang rusak setiap memeriksakan kandungan ke puskesmas.

“Meskipun naik motornya sudah pelan dan berhati-hati, tapi tetap saja terguncang,” kata Fitriyani mengaku harus menempuh jalan buruk selama hampir satu jam.

Ada dua jalan masuk ke kampung Bongkoran, namun kondisi kedua jalan tersebut menjadi parah saat musim penghujan, tanah menjadi berlumpur dan licin.

Ketua Organisasi Petani Perempuan Wongsorejo Banyuwangi (OP2WB), Paijah mengatakan risiko keguguran akan semakin besar apabila perempuan hamil menempuh jalanan yang kualitasnya buruk.

“Pernah ada juga yang keguguran saat akan menuju ke puskesmas,” kata Paijah mengisahkan ada yang melahirkan di jalan hingga di atas truk karena terkendala jalanan rusak untuk mencapai ke rumah sakit.

Yateno mengatakan pemerintah tidak mau memperbaiki karena jalan tersebut dianggap milik perusahaan sementara petani tidak memiliki dana.

“Kami belum punya dana sebesar itu,” kata Yateno.

Sementara itu, Kepala Sub-bidang Perindustrian, Perdagangan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Banyuwangi, Ardian mengatakan pemerintah Banyuwangi berupaya untuk membebaskan lahan jalan Kampung Bongkoran agar dapat diperbaiki pada tahun 2016. Namun, urung dilakukan karena lahan tersebut masuk sebagai Hak Guna Bangunan milik perusahaan.

“Setelah itu, tidak ada pembahasan lagi terkait perbaikan jalan,” kata Ardian.

 

Kedaulatan Pangan vs Ketimpangan Lahan

Konflik lahan yang dialami oleh petani Bongkoran banyak terjadi di Indonesia. Pada tahun 2017, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi yang konsen terhadap gerakan reforma agraria, mencatatkan adanya peningkatan konflik agraria dalam enam tahun terakhir.

Pada tahun 2017, terdapat 659 kasus berkaitan dengan sektor agraria yang dilaporkan dan berdampak kepada 652.738 keluarga, dengan 612 warga mengalami kekerasan, 369 orang terkena kriminalisasi, 224 orang dianiaya, enam orang tertembak dan 13 orang meninggal dunia.

Komite Pembaruan Reforma Agraria pun menetapkan tahun 2017 sebagai tahun darurat agraria.

Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia (HRLS) Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, Herlambang P. Wiratraman, mengatakan tingginya konflik agraria yang menimpa petani sangat kontras dengan cita-cita Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

“Cita-cita kedaulatan pangan tersebut tidak masuk akal, karena konflik agraria dan penyingkiran terhadap petani dari tanahnya semakin marak,” kata Herlambang yang dijumpai Ekuatorial.com pada awal Mei lalu menambahkan bahwa kekerasan petani justru terjadi di daerah-daerah lumbung pangan seperti Banyuwangi.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa konflik agraria berakar karena struktur agraria lebih banyak dikuasai oleh korporasi ketimbang petani.

Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur mencatat seluas 47.654,29 hektar sudah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) di Banyuwangi, namun lahan tersebut dikuasai oleh hanya 40 perusahaan, terdiri dari 27 perusahaan perkebunan swasta seluas 17.502,49 hektar dan 13 perusahaan perkebunan negara seluas 30.151,8 hektar.

Sementara, hasil Survei Pertanian Badan Pusat Statistik tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah petani tidak memiliki tanah atau gurem sebanyak 160.708 keluarga di Banyuwangi. Mereka hanya memiliki atau menyewa tanah rata-rata seluas 0,4 ha.

Menurut Herlambang, program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang dijalankan pemerintahan saat ini belum menjawab problem petani di Indonesia. Sebab, program tersebut tidak menyasar pada ketimpangan kepemilikan dan struktur agraria.

Sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan izin-izin investasi baru di sektor infrastruktur, pertambangan dan industri yang justru mengancam dan menguasai lahan-lahan pertanian, seperti kasus di Banyuwangi, jelasnya.

Ia menegaskan bahwa kedaulatan pangan hanya bisa diwujudkan dengan kemauan politik untuk berpihak pada petani, terutama petani yang tanahnya dirampas dan tak memiliki tanah. Ekuatorial.

Ika Ningtyas adalah Jurnalis lepas dan anggota Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) yang berbasis di Banyuwangi, Jawa Timur.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.