Pada tahun 2050, manusia diperkirakan akan menghasilkan 12 miliar sampah. Setiap tahun, 8 juta ton sampah plastik membanjiri laut. Diantara sampah plastik ini, terdapat plastik mikro, dengan diameter dibawah 5 milimiter yang sudah memasuki tubuh manusia melalui air minuman dan produk kosmetik.

Oleh Harry Surjadi

Alexander Parks tidak membayangkan kalau yang namanya plastik merasuk ke setiap hidup manusia di dunia saat pertama kali tahun 1862 ia memperkenalkan cellulose nitrate dengan nama dagang Parkesine. Temuan Parks itu menjadi pembuka jalan berbagai jenis plastik dengan berbagai fungsi. 

Kata plastic berasal dari kata Yunani plastikos – yang bermakna “bisa dibentuk” – dan plastos – yang bermakna “dicetak.” Kemudian diserap ke dalam bahasa Latin menjadi plasticus – bisa dicetak dan dibentuk dan bahasa Perancis plastique. 

International Union of Pure and Applied Chemistry, sebuah organisasi non pemerintah yang didirikan pada tahun 1919 untuk pengembangan kimia murni dan terapan,  mendefinisikan plastik sebagai istilah umum yang digunakan untuk bahan polimerik (polymeric) yang mengandung substansi lain untuk meningkatkan performa dan/atau mengurangi biaya. 

Karakteristik plastik – antara lain mudah dibuat, biaya murah, tahan air, tahan bahan kimia, tahan temperatur, dan cahaya – membuat plastik sangat ideal menggantikan bahan-bahan lain seperti kayu, kertas, batu, kulit, logam, gelas, dan keramik.  

Hingga kini, plastik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.  Mulai dari kemasan barang, pembungkus makanan dan barang-barang rumah tangga, barang elektronik, alat-alat laboratorium, pipa, bahan tekstil, otomotif, instrument music, hingga perangkat komputer. 

Para peneliti menghitung hingga tahun 2015, manusia telah memproduksi 8,3 miliar ton plastik dan 6,3 miliar ton dari jumlah tersebut menjadi sampah. 

Jika tingkat produksi saat ini berlanjut, mereka memperkirakan tahun 2050 manusia menghasilkan 12 miliar ton sampah plastik atau seberat Gedung Empire State di Amerika yang menjulang hingga 443 meter.

Belum selesai masalah sampah plastik, penelitian terbaru menghadirkan masalah terbaru yang harus dihadapi oleh manusia, yaitu plastik mikro atau plastik dengan diameter kurang dari lima millimeter dan plastik nano atau plastik kurang dari 100 nanometer.  Satu milimeter sama dengan 1.000 mikrometer atau satu juta nanometer. 

Plastik mikro dijuluki juga sebagai “air mata duyung” karena ukuran dan berwarna-warni. 

Pada bulan Maret lalu, Orb Media, sebuah organisasi jurnalistik independen bersama 12 media di dunia, termasuk majalah Tempo menerbitkan investigasi,  Plus Plastic : Microplastics Found in Global Bottled Water, ditulis oleh Christopher Tyree dan Dan Morrison, terkait air dalam kemasan botol plastik mengandung plastik mikro. 

Para peneliti dari State University of New York di Fredonia menguji 259 air dalam kemasan botol plastik dari 11 merek di dunia. Mereka menemukan 93 persen sampel mengandung plastik mikro, termasuk produk dari Indonesia.

Dalam laporannya, majalah Tempo mengungkapkan bahwa para peneliti tersebut menguji 30 sampel botol merek Aqua yang di Jakarta, Bali, dan Medan. 

Mereka menemukan rata-rata setiap sampel air botolan produk Aqua mengandung 382 partikel plastik mikro per liter. Jumlah plastik mikro terbanyak yang ditemukan mencapai 10.390 partikel per liter. 

Bermitra dengan laboratorium kimia Universitas Indonesia, Tempo melakukan penelitian sendiri menguji juga air dalam kemasan botol plastik, selain merk Aqua yaitu Le Minerale dan Club. Sembilan botol plastik volume 600 ml yang dibeli di minimarket, kios-kios kecil, dan pedagang pinggir jalan.

Hasilnya, sampel-sampel itu mengandung plastik mikro berukuran paling kecil sebelas mikrometer hingga 247 mikrometer. Partikel paling kecil berukuran delapan mikrometer, lebih kecil dari ukuran sel darah. 

Lebih lanjut, hasil riset Tempo juga menunjukkan bahwa plastik mikro mencemari air keran di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Selatan dan Bekasi. Dari 21 sampel (satu sampel rata-rata 500 mililiter) yang berasal dari air keran di lima kota tersebut, 76 persen terkontaminasi oleh plastik mikro.

Sebagian besar responden pada penelitian tersebut mengkonsumsi air keran tersebut. 

Dari mana asal plastik mikro ini?

Plastik mikro dibagi menjadi dua yaitu plastik mikro primer dan sekunder. Plastik mikro primer adalah plastik yang diproduksi dengan ukuran milimeter atau lebih kecil. Plastik mikro primer ini digunakan dalam pasta gigi, pembersih wajah, berbagai jenis krim, maupun obat. Produk mengandung plastik mikro ini akan terbuang ke saluran air limbah setelah digunakan. 

Plastik mikro sekunder berasal dari materi plastik lebih besar yang terpecah atau terpotong-potong menjadi ukuran lebih kecil. Terpotong atau terpecah karena proses fisik, biologi, maupun kimia. Sumber plastik mikro sekunder ini dari tekstil atau pakaian saat dicuci. 

Plastik ukuran mikro ini tidak hanya ditemukan pada tanah, laut, sungai atau sumber-sumber air lainnya namun, bisa juga di udara seperti diungkapkan dalam penelitian Joana Correia Prata dari University Fernando Pessoa, Portugal. 

Karena ukurannya yang kecil, butir-butir plastik ini bisa masuk ke saluran pernafasan dan akan berdampak pada kesehatan. Joana meneliti partikel plastik di Kota Paris.

Plastik mikro primer terutama berasal dari kosmetik. Tanpa sadar – karena ketidaktahuan – konsumen membeli dan menggunakan kosmetik mengandung plastik mikro. Konsumen tidak membayangkan apa yang akan terjadi saat plastik mikro dari kosmetik terbuang ke saluran air dan kembali ke konsumen saat meminum air kemasan dalam botol. 

Plastic Soup Foundation, sebuah organisasi nirlaba dari Belanda, dan Lembaga PBB untuk Lingkungan Hidup  (UNEP/United Nations Environmental Program),  melalui program kampanye “Beat the Micro Bead”, menyajikan daftar produk kosmetik yang mengandung plastik mikro dan yang tidak. 

Program global ini secara acak menguji produk-produk kosmetik apakah mengandung plastik mikro atau tidak.

Belum ada penelitian apa dampak masuknya plastik mikro ke dalam tubuh manusia.

Penelitian Joana Correia Prata dari University Fernando Pessoa, Portugal, mengenai partikel plastik mikro masih menduga akan ada dampak kesehatan kalau plastik mikro masuk ke dalam saluran pernafasan. Penelitian sebelumnya di Amerika menemukan serat plastik di dalam paru-paru manusia berukuran 250 mikrometer. 

Berarti ada kemungkinan manusia berisiko tinggi menghirup plastik mikro. Joana memperkirakan setiap orang yang berada di ruangan dengan konsentrasi tinggi plastik mikro dalam ruangan berisiko menghirup 26-130 plastik mikro per hari. 

Lebih banyak penelitian dampak plastik mikro pada lingkungan perairan, mikroba dan satwa seperti dampak pada terumbu karang, pada embrio bulu babi, pada kerang laut, plastik mikro dari tekstil ditemukan pada seafood dan berbagai macam ikan, antara lain ikan makarel (king mackerel). Di darat, plastik mikro ditemukan dalam tubuh cacing tanah (Lumbricus terrestris). 

Banyak jalan masuk plastik mikro ke dalam tubuh manusia. Mencermati penelitian plastik mikro, kemungkinan besar di dalam tubuh manusia Indonesia sudah ada plastik mikro. Paling tidak, siapa pun yang pernah meminum air dalam kemasan atau mengonsumsi seafood berisiko kemasukan plastik mikro. 

Kekhawatiran para ahli bukan plastik mikro yang berdampak pada kesehatan tapi “penumpang gelap” yang menempel pada partikel plastik mikro masuk ke dalam tubuh. Mikro-organisme – termasuk mikro-organisme patogen penyebab penyakit – bisa menempel di plastik mikro. 

Ancaman dan kekhawatiran global

Masalah limbah plastik – terutama plastik mikro – menjadi persoalan global. Koalisi organisasi non-pemerintah mendesak Uni Eropa melarang kosmetik dan produk perawatan tubuh lainnya yang mengandung plastik mikro (microbead). Dalam UN Environment Assembly 2014, UNEP menyetujui resolusi Marine Plastic Debris and Microplastics yang juga didukung Indonesia. 

Tahun 2015, UNEP mendesak pelarangan produk kosmetik dan perawatan tubuh mengandung plastik mikro mengacu pada laporan mengenai risiko plastik mikro pada lingkungan. 

Pada Desember 2017, lebih dari 193 negara menandatangani resolusi PBB untuk menghentikan sampah plastik yang terbuang di lautan. Kampanye CleanSeas UNEP telah diikuti oleh 80.620 individu dan perusahaan. 

Kemudian, pada tahun yang sama, Amerika Serikat menerbitkan peraturan The Microbead-Free Waters Act yang melarang memproduksi, mengemas, dan mendistribusikan kosmetik, termasuk pasta gigi, yang mengandung plastik mikro yang tercuci (rinse-off). 

Selain AS, Kanada dan Selandia Baru juga memberlakukan larangan serupa. Inggris menyusul negara-negara maju memberlakukan larangan yang sama. 

Pada tahun 2017, Swedia melarang penjualan kosmetik mengandung partikel microbead yang saat digunakan tercuci dan terbuang (rinse-off) yang berlaku mulai 1 Juli 2018. Langkah ini oleh negara Eropa lainnya yaitu Finlandia, Prancis, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Belanda dan Norwegia. 

Sampah plastik ukuran besar dan ukuran mikro masih akan terus masuk ke dalam laut, sungai, dan sumber air tawar. UNEP sudah menegaskan plastik biodegradable bukan solusi mengatasi sampah plastik di laut dan di lingkungan terestrial.

Indonesia pernah menyatakan berkomitmen mengurangi penggunaan kemasan plastik. Salah satu bukti komitmen adalah mengujicobakan kantong plastik berbayar. Desakan perusahaan ritel dan konsumen berhasil menghentikan program kantong plastik berbayar. 

Undang-Undang No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah Pasal 15 mewajibkan produsen “mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.” 

Di bagian Penjelasan UU No 18/2008 tertulis “Yang dimaksud dengan mengelola kemasan berupa penarikan kembali kemasan untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang”. 

UU sampah ini tidak spesifik mengenai sampah plastik.

Peraturan Pemerintah No 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga – sebagai peraturan pelaksana UU No 18/2008 – menegaskan kembali kalau produsen wajib menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk didaur ulang (Pasal 13 Ayat 1c).

Pemerintah pusat maupun daerah sudah harus melaksanakan UU Sampah dan peraturan pemerintah turunannya. Untuk bisa mengurangi timbulan sampah, kebijakan iuran sampah rumah tangga sama-rata harus diubah.

Iuran sampah harus dihitung berdasarkan banyaknya sampah yang dibuang oleh rumah tangga. Sehingga, ada insentif bagi rumah tangga untuk mengurangi sampah.

Tidak mudah menyingkirkan produk-produk terbuat dari plastik kasat mata yang sudah merasuk kehidupan sehari-hari meskipun sudah ada UU Sampah. 

Sudah waktunya perusahaan yang memproduksi dan menjual produk berkemasan plastik menjalankan tanggung jawabnya menarik kembali sampah-sampah kemasannya. 

Konsumen dengan penuh kesadaran bisa mengirim kembali sampah kemasan ke produsennya. Sebagai individu, setiap orang sudah harus berpikir saat mengonsumsi “apakah produk ini menghasilkan sampah atau tidak.”  Ekuatorial.

Harry Surjadi adalah wartawan senior yang menulis untuk berbagai publikasi, media nasional dan internasional. Harry juga pendiri Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.