Ingin lepas dari ketergantungan terhadap beras, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan bersiap untuk beralih ke sagu, pangan lokal Maluku Utara, yang tergeser oleh nasi, dengan menghadirkan kebijakan mulai dari ketersediaan lahan, pekerja pengolahan sagu hingga inovasi teknologi. Baca selengkapnya.

Oleh Budi Nurgianto

Tidore, Maluku Utara. Sempat tergeser oleh nasi, masyarakat Kota Tidore Kepulauan mulai beralih kembali ke sagu sebagai makanan pokok. Pemerintah daerah pun mulai mengeluarkan kebijakan yang ingin meninggalkan ketergantungan masyarakat kepada beras, mulai dari alokasi hingga inovasi pengolahan sagu.

Kebiasaan mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok pelan-pelan mulai ditinggalkan masyarakat Tidore sejak tahun 1997. Masyarakat Tidore lebih memilih mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok harian lantaran murah dan mudah didapat. Sedangkan, sagu hanya akan dikonsumsi pada acara tertentu seperti acara pernikahan, adat maupun keagamaan. 

“Tahun 1990 torang [kami] lebih banyak mengkonsumsi sagu, ubi dan kasbi (tepung) yang disajikan dengan ikan. Tapi, sekarang kami lebih banyak makan nasi ketimbang sagu. Makanya, pas lihat ada yang jual sagu murah saya cepat-cepat menyuruh istri untuk membeli [sagu],” kata Junaidi Abd Karim, warga Kelurahan Dowora, Kota Tidore Kepulauan, Kepulauan Maluku Utara, yang kesehariannya bekerja sebagai buruh bangunan.   

Bagi Junaidi, sagu sudah menjadi makanan pokok yang harus disajikan setiap hari. Sagu bahkan dianggap bisa menjadi makanan penganti nasi jika sewaktu-waktu harga beras sedang naik.

Masyarakat Maluku Utara terbiasa mengkonsumsi popeda, yaitu tepung sagu yang diaduk dalam air dingin kemudian disiram air panas hingga mengental dan terjadi perubahan warna, dan disajikan dengan kuah ikan, sebagai makanan pokok pada era tahun 1980 hingga 1990an. 

Sagu (Metroxylon spp) menjadi salah satu sumber pangan tradisional yang tak hanya dikonsumsi masyarakat Dowora dan Tidore, tetapi juga dikonsumsi masyarakat pulau lain seperti Ternate, Bacan, Jailolo, Gebe, Patani, Morotai, Tobelo dan Buli. 

Mereka memandang sagu sebagai makanan yang kaya akan gizi tinggi sama seperti beras, jagung, ubi kayu, dan kentang. Tepung sagu memiliki kandungan karbohidrat hingga 84,7 persen dan serat pangan antara 3,69 persen hingga 5,96 persen. Sagu mengandung pati resisten, polisakarida dan karbohidrat rantai pendek yang sangat berguna bagi kesehatan.

 

Pergeseran Sagu ke Nasi 

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun, Ternate, Kuad Suwarno mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pergeseran pola konsumsi makanan pokok masyarakat Tidore dari sagu ke nasi, umumnya, adalah faktor ekonomi, sosial dan budaya. 

Ia menyatakan bahwa masyarakat Maluku Utara menempatkan nasi sebagai jenis pangan yang memiliki tingkat status sosial tinggi dan wajib dikonsumsi setiap hari. Nasi, tambahnya, telah dianggap sebagai pangan masyarakat kelas menengah atas.

“Pandangan inilah yang membentuk persepsi pergeseran pola konsumsi pangan di Maluku Utara. Peranan sagu sebagai makanan pokok pertama bergeser menjadi makanan pokok kedua,” ujar Kuad. 

Selain faktor tersebut, ungkap Kuad, faktor lain yang mendorong perubahan pola konsumsi sagu yaitu ketersediaan pohon sagu yang menurun akibat alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan lahan pertanian selama sepuluh tahun belakangan. 

“Di Halmahera Barat, misalnya, dari hasil penelitian yang saya lakukan pada tahun 2014, ditemukan konversi hutan sagu menjadi wilayah pertanian mencapai 174 hektar. Dan, di Halmahera Utara, alih fungsi lahan sagu menjadi pemukiman penduduk mencapai 300 hektar. Itu terjadi hampir di sepanjang Teluk Kao dan Malifut,”ungkapnya.  

Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015-2017, total luas lahan sagu Maluku Utara, yang merupakan perkebunan rakyat, mencapai 3645 hektar dengan tingkat produksi 1403 ton per tahun. Namun, luasan ini menurun hingga 5431 hektar dengan tingkat produksi mencapai 8961 ton per tahun selama sepuluh tahun belakangan. 

Lebih lanjut, Kuad menambahkan menurunnya minat masyarakat menjadi pekerja pengolah sagu juga dipengaruhi oleh proses memanen sagu yang sulit dan membutuhkan waktu lama. Diperlukan waktu tujuh hari untuk menebang, memotong batang sagu, membersihkan batang sagu, mengupas batang sagu, memarut dan menyaring pati sagu. 

Sagu lempeng, panganan lokal yang terbuat dari tepung sagu yang dibakar dijajakan di pasar Sarimalaha, Tidore, Maluku Utara. Foto Oleh Budi Nurgianto.

Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Pertanian Universitas Khairun, Ternate, pada tahun 2016, tenaga kerja pengelola sagu terbanyak berada pada usia 40-53 tahun atau 41,86 persen, diikuti dengan usia 54-67 tahun sebesar 36,5 persen. Sementara, pekerja berusia 26-39 tahun hanya 22,09 persen. 

Berbeda dengan pengelola atau pekerja sumber pangan lain seperti beras yang mencapai 16.584 rumah tangga atau sekitar enam kali lipat dari pengelola sagu di Maluku Utara.

“Saya berani dikatakan (red : mengatakan) ketersedian lahan sagu juga ikut mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Banyak orang yang tak ingin lagi mau bekerja memproduksi tepung sagu, tentu akan membuat masyarakat memilih sumber pangan lain,” pinta Kuad.

Berdasarkan laporan Dinas Pertanian dan Perkebunan Maluku Utara 2014-2017, luas lahan sagu di Kota Tidore Kepulauan menyisakan 179 hektar pada tahun 2017 dari 241 hektar pada tahun 2014. Kapasitas produksi juga menurun dari 200 ton per tahun menjadi 150 ton per tahun dalam rentang tiga tahun tersebut. 

Dari luas 179 hektar, baru 60 hektar yang dimanfaatkan. Padahal, potensi produktivitas sagu di Kota Tidore Kepulauan dapat mencapai 400 ton per tahun dan dinilai dapat menekan tingkat konsumsi beras masyarakat Tidore yang mencapai 70 ribu ton per tahun.

 

Meningkatkan Produksi Sagu, Menekan Konsumsi Beras 

Ingin melepaskan diri dari ketergantungan terhadap beras, pemerintah daerah Kota Tidore Kepulauan mulai menyiapkan beberapa kebijakan untuk meningkatkan produktivitas sagu. 

Walikota Kota Tidore Kepulauan Ali Ibrahim menyebutkan beberapa langkah kebijakan yang diambil antara lain memprioritaskan komoditas sagu di sektor pertanian dan menerbitkan peraturan daerah untuk pengembangan sagu sebagai makanan rumah tangga

“[…] dengan memprioritas strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu secara bertahap melalui program penyiapan tenaga pengelola sagu, penyiapan tenaga pendamping yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan sagu,”ujar Ali. “Kalau konsumsi beras masyarakat bisa ditekan, saya percaya Tidore bisa melepaskan ketergantungan akan pasokan pangan dari luar daerah. Tapi, untuk mewujudkan ini kita butuh perencanaan yang matang dan baik.” 

Menurutnya, produksi sagu di Kota Tidore Kepulauan tercatat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga di tingkat lokal dan belum mampu memenuhi kebutuhan industri dalam skala besar. 

“Padahal, prospeknya sangat menjanjikan di masa depan. Sagu bisa diolah menjadi sumber pangan yang lebih variatif dengan nilai jual tinggi. Tapi, memang untuk saat ini belum ada industri yang mengembangkan secara serius,”katanya.

Tepung sagu yang dijual eceran di pasar Sarimalaha, Tidore, Maluku Utara. Foto Oleh Budi Nurgianto.

Salah satu kendala dalam pengelolaan sagu adalah minimnya penerapan teknologi yang digunakan masyarakat. Proses produksi sagu di Maluku Utara umumnya banyak dilakukan dengan cara-cara tradisional yang merupakan keterampilan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Rencananya, tahun ini kami [Dinas Pertanian Kota Tidore Kepulauan] akan mencoba mengandeng perguruan tinggi yang ada di Maluku Utara untuk menciptakan teknologi tepat guna. Minimal alat produksi yang mudah digunakan untuk membantu masyarakat memanen sagu,” ujar Idham Umasangaji, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara. 

Menurut Idham, perguruan tinggi seperti Universitas Khairun di Ternate dan Universitas Muhammadiyah di Maluku Utara penting diberikan kesempatan untuk menghasilkan alat teknologi pengolahan produksi sagu yang lebih simpel namun memiliki banyak manfaat seperti alat pemarut sagu atau alat ekstraksi pati.

“Selama ini proses untuk bisa menghasilkan 100 kilogram pati sagu, pekerja membutuhkan waktu tujuh hari.  Mungkin dengan adanya inovasi alat seperti pemarut dan ekstraksi, waktu produksi bisa lebih cepat,” ungkap Idham. 

 

Konsumsi Tinggi, Pasokan Rendah

Iskandar Halil, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kota Tidore Kepulauan mengatakan, produksi pati sagu di Kota Tidore Kepulauan merupakan hasil produksi dari pengolah sagu di wilayah Oba Selatan dan Oba Utara. Produksi sagu kedua wilayah tersebut hanya mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Pulau Tidore.

Berdasarkan laporan Dinas Ketahanan Pangan Kota Tidore Kepulauan, produksi pati sagu Oba Selatan dan Oba Utara  mencapai 100-120 ton per tahun pada tahun 2017. 

“Untuk tahun ini, [produksi pati sagu] diprediksi akan naik. [Berdasarkan] laporan per April 2018 saja, produksi pati sagu di Kota Tidore Kepulauan sudah mencapai 67 ton,” kata Iskandar.      

Jumiati Salama (38), pedagang pati sagu di Pasar Sarimalaha, Kota Tidore Kepulauan, mengatakan bahwa harga sagu, pasokan dari wilayah Oba Selatan dan Oba Utara, mencapai Rp12- 15 ribu per kilogram. 

Dalam satu hari, ungkap Jumiati, ia bisa menjual tujuh hingga sepuluh kilogram pati sagu dengan pendapatan Rp160 ribu per hari. 

“Ada kurang lebih 30 orang pedagang kecil yang ikut menjual pati sagu di Pasar Sarimalaha, Kota Tidore Kepulauan. Saya sendiri sudah hampir enam tahun jualan pati sagu. Sebelumnya, saya jualan bawang merah dan rica,” kata Jumiati.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa konsumsi pati sagu tergolong cukup tinggi. “Hampir setiap hari ada masyarakat yang membeli pati sagu. Apalagi kalau mau bulan puasa Ramadhan, permintaan sagu biasanya pasti naik. Saya sendiri saja bisa menjual 10-20 kilogram per hari di bulan itu,” katanya menambahkan bahwa permintaan yang cukup tinggi membuat pedagang juga memasok pati sagu di Kota Ternate dan Kota Halmahera Utara. 

Berbeda dengan Jumiati, Sugimin, pengusaha bihun di Kota Tidore Kepulauan, memasok dari Sumatra dan Riau karena pengusaha lokal tidak bisa mencukupi kebutuhan pati sagu. 

“Tambahan pasokan kebutuhan pati sagu dari Sumatera dan Riau, biasanya saya lakukan kalau pasokan kebutuhan pati sagu di tingkat lokal tak cukup. Dan, itu pun saya hanya mendatangkan 50-75 ton saja,” kata Sugimin yang ditemui Ekuatorial.com. 

Baik Sugimin dan Jumiati menyambut baik rencana Pemerintah Kota Tidore Kepulauan berencana menjadikan sagu sebagai makanan lokal masyarakat. 

“Sagu itu sudah jadi makanan orang Tidore, saya setuju kalau Pemerintah mau menjadikan ini sebagai makanan pokok masyarakat, Apalagi pati sagu lokal mutunya bagus dan bersih. Saya saja memilih banyak mengunakan pati sagu sini [Kota Tidore Kepulauan],” kata Sugimin. Ekuatorial.

Budi Nurgianto adalah koresponden dan jurnalis lepas yang lahir di Pulau Tidore dan saat ini bekerja di Ternate, Maluku Utara.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.