Indonesia disebut sebagai salah satu negara penyumbang sampah plastik di laut. Terbesar kedua setelah Cina. Dipertemuan yang diadakan sekali dalam dua tahin ini, Indonesia diminta menyampaikan kondisi biodiversitas terkini, termasuk sampah dan dampaknya terhadap ekosistem laut.

Oleh Hairil Hiar

Liputan ini pertama kali diterbitkan di media online Kieraha.com pada tanggal 19 November 2018. Hairil Hiar adalah jurnalis yang berbasis di Maluku Utara dan penerica beasiswa journalisme untuk Deforestasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia yang dikelola oleh Climate Tracker.

 

Sharm el-Sheikh, Mesir. Indonesia disebut sebagai salah satu negara penyumbang sampah plastik di laut. Terbesar kedua setelah Cina. Keberadaan limbah plastik ini menjadi pembahasan di forum pertemuan anggota PBB tentang Keanekaragaman Hayati atau populer dikenal UN Biodiversity, di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 19-29 November 2018.

“Limbah dari mikroplastik ini akan dibahas dalam forum dengan tema Ecologically or Biologicaly Significant Marine Areas (EBSAs), itu dimulai Senin 19 November,” kata Hagi Yulia Sugeha, delegasi Indonesia dari Pusat Penelitian Oceanografi (P2O) LIPI, ketika disambangi Kieraha.com, di area konferensi, Sabtu.

Konferensi tingkat tinggi itu berlangsung dua tahun sekali. Untuk edisi 2018, Konferensi ini digelar di Sharm El Sheikh, Mesir, sejak 14-29 November. Pertemuan terbatas ini memiliki strategi dan rencana aksi untuk panduan negara-negara yang menandatangani kesepakatan UN Biodiversity (CBD). Kesepakatan itu untuk melindungi dan mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati dunia.

Pada pertemuan ke-14 ini, lanjut Yulia, Indonesia diminta menyampaikan kondisi biodiversitas terkini. Sampah dan dampaknya terhadap ekosistem laut di antaranya. Yulia mengatakan sampah plastik sangat rentan bagi keberlangsungan ekosistem laut, seperti terumbu karang dan lamun. Ukurannya sangat kecil dan mudah dimakan biota laut akan mengancam populasi biodiversitas.

Hasil kajian sementara, kata Yulia, Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) menemukan beberapa biota laut terpapar mikroplastik; fosil hidup atau ikan purba di laut Bunaken, Sulawesi Utara, ditemukan mikroplastik di dalam perutnya.

“Juga kerang hijau di Teluk Jakarta yang terpapar logam berat. Termasuk ikan Tuna di beberapa perairan Indonesia (terpapar sampah plastik di perutnya),” ujar dia.

 

Dampak ke manusia

Yulia menjelaskan, meski beberapa jenis ikan terpapar mikroplastik namun belum berdampak pada manusia di Indonesia. Karena sejauh ini belum ada laporan orang Indonesia yang meninggal karena memakan ikan yang terpapar mikroplastik.

Meski begitu, Yulia menyatakan, pencemaran limbah plastik ini, penelitiannya baru sebatas mengecek ada tidaknya sampah itu ada di dalam tubuh ikan. “Untuk mengecek seberapa besar dampak yang ditimbulkan, LIPI tidak hanya melihat ke manusia tapi juga ke lingkungannya. Karena kita tahu di dalam laut itu ada rantai makanan; dari mikroba dimakan plankton, plankton dimakan ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan besar, dan ikan besar dimakan manusia. Nah, untuk melihat dampaknya itu kita harus cek dulu setiap level dari konsumen ini,” kata dia.

“Untuk kajian ini, di Indonesia khususnya yang dilakukan LIPI lebih ke etnografi. Seperti di Teluk Jakarta, Pantai Bali, Bunaken, dan beberapa laut di perairan Indonesia. Wilayah yang diamati ini masuk sebagai kawasan ecotourism.”

Asisten Deputi Sumber Daya Hayati Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, DR Andri Wahyono, mengatakan komitmen Indonesia terhadap dampak sampah plastik ini tampak pada beberapa program nasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengurangi penggunaan plastik. Menurut Andri, Indonesia konsisten mendukung pembahasan isu sampah plastik di laut ini juga terlihat di berbagai forum global, termasuk konferensi di Mesir.

Delegasi Indonesia Bidang Maritim di Konferensi UN Biodiversity itu menyatakan, pembahasan sampah plastik dan mikroplastik tersebut untuk meningkatkan kesadaran global mengenai perlunya tindakan kolektif dalam mengatasi sampah plastik di laut dan dampaknya terhadap lingkungan dan biodiversitas.

“(Juga) dalam pembahasan EBSAs di COP 14 ini, Indonesia kembali ingin mepertegas pengertian marine jurisdiction. Bagi Indonesia, national jurisdiction mencakup 12 mil, juga ZEE, dan continent. Indonesia memandang penetapan EBSAs ini harus diikuti dengan pengelolaannya secara efektif, sehingga Indonesia juga menekankan pentingnya efektifitas pengelolaan, terutama mengenai pembiayaan, SDM, dan kerjasama antar negara pada EBSAs yang lintas batas,” kata Andri di Hall Convention International Center, Mesir, Minggu (18/11/2018).

 

Usulan Indonesia

Karena itu, lanjut Andri, pada pertemuan itu, Indonesia akan mengusulkan adanya pertimbangan aspek pengelolaan wilayah dalam penentuan EBSAs yang mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik, terutama untuk lintas batas negara.

“Karena selama ini penetapan EBSAs hanya didasarkan pada kriteria-kriteria ilmiah dan keanekaragaman hayati saja. Juga tantangan pengelolaannya sejauh ini di CBD belum memberikan pedoman maupun referensi, sehingga Indonesia akan menyampaikan opsi-opsi pengelolaan EBSAs yang diminta untuk dibahas lebih lanjut oleh Sekretariat CBD,” kata Andri.

“Opsi-opsi pengelolaan tersebut adalah bahwa EBSAs (Ecologically or Biologicaly Significant Marine Areas) dikelola sebagai kawasan konservasi, dikelola dalam kerangka pengelolaan WPP, dan dalam mekanisme tata ruang laut.”

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.