Meski ancaman pembukaan lahan makin meningkat, Dayak Tomun asal Lamandau, Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan gaya hidup tradisional mereka yang mengutamakan keharmonisan dengan alam. Salah satunya, dengan menanam jengkol dan durian.
Oleh : Dionisius Reynaldo Triwibowo
Liputan ini pertama kali terbit di harian Kompas pada tanggal 24 Januari 2019.
Lamandau, Kalimantan Tengah. Tidak menyadari gigitan semut merah di kedua kakinya, Jonathan Pondar (13), berdiri di bawah pohon jengkol (Archidendron pauciflorum) atau disebut joring oleh Dayak Tomun, yang terletak di Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, menunggu ranting yang dipotong oleh Toni (35), si tukang panjat.
Rabu siang, pertengahan Januari lalu, sehabis pulang sekolah, Jonathan bergabung dengan Toni yang sedari pagi sudah memanjat pohon jengkol dengan ketinggian hingga 35 meter.
“Harus dipotong, kalau ambil satu-satu lama kerjanya, pohonnnya kan ada ribuan, gak selesai nanti sampai tahun depan pun,” ungkap Jonathan.
Di bawah pohon, ibu dan ayah Jonathan sibuk memasukkan buah jengkol ke dalam karung. Toni pun turun dari pohon dan membantu memisahkan buang jengkol dari ranting yang sudah terpotong bersama lainnya.
Setelah dua jam, mereka pun bergegas pulang karena hujan mulai turun. Pekerjaan dilanjutkan dengan mengupas kulit jengkol menggunakan kayu. Pengupasan kulit jengkol bisa memakan waktu hingga lima jam dan menghasilkan 45 kilogram jengkol segar dalam sehari.
Warga setempat biasanya bisa memanen jengkol hingga tiga kali dalam setahun, yaitu bulan Januari, Februari dan Desember.
“Banyaknya hasil panen tergantung seberapa rajin kami memanennya, selain itu kami juga pilih-pilih, karena di musim buah itu tak hanya jengkol saja yang bisa dipanen, tapi ada durian, langsat, dan lain-lain,” ungkap R.K. Maladi, ayah Jonathan.
Maladi mengaku pernah mendapatkan 15 ton dalam satu kali panen, sementara untuk 300 kilogram bisa menghasilkan Rp4.500.000 dalam seminggu.
Hasil jengkol tersebut akan dibawa ke Pelabuhan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, untuk dikirimkan ke Jakarta.
Menanam jengkol juga dilakukan oleh Desa Sekombulan yang berdekatan dengan Desa Kubung. Sayangnya, desa tersebut tidak banyak menghasilkan panen.
“Dari seratus pohon yang saya punya, tak sampai setengahnya yang bisa dipanen. Sisanya tidak berbuah, mungkin karena hujan,” ungkap Brutus, Kepala Desa Sekombulan.
Rimba terakhir
Orang Dayak dikenal sebagai suku yang setia menjaga keharmonisan alam. Dari total delapan kecamatan di Kabupaten Lamandau, hanya Kecamatan Delang belum dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Desa Kubung dan Desa Sekombulan, dua desa di Kecamatan Delang, sudah mendeklarasikan wilayah kelola adat dengan luas mencapai 23.000 hektar, beserta dengan tata batas hutan.
Hutan tersebut menjadi sumber penghasilan masyarakat adat di dua desa tersebut.
Kegiatan pemetaan hutan adat ini pun akhirnya ditiru oleh enam desa sekitar mereka dan berhasil memetakan dengan total luasan mencapai 32.500 hektar.
Pemetaan wilayah adat dilakukan secara partisipatif dan didampingi oleh organisasi masyarakat sipil, antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Save Our Borneo (SOB), dan Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan Tengah.
“Tugas kami hanya menjaganya, bukan malah merusak [hutan]. Ini bukan untuk saya atau istri saya tetapi untuk anak, cucu, dan generasi masa depan desa ini,” ungkap Kepala Desa Kubung, Edy Zacheus.
Berdasarkan data Walhi Kalimantan Tengah, tutupan kawasan hutan di provinsi tersebut menurun dari 11,05 juta hektar pada tahun 1990 menjadi tinggal 7,8 juta hektar pada tahun 2014.
Lebih lanjut, dua juta hektar akan dikonversi menjadi perkebunan sawit, pertambangan dan investasi lainnya, pada tahun 2019 dan seterusnya.
Hingga awal tahun 2018, baru dua dari delapan kecamatan di Kabupaten Lamandau yang belum diberikan izin untuk perusahaan kelapa sawit, yaitu Delang dan Batang Kawa. Namun, akhir tahun 2018, pemerintah pun memberikan izin kepada perusahaan kelapa sawit untuk beroperasi di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa.
Hal tersebut menimbulkan konflik antara desa yang menolak dengan yang menyetujui keberadaan kebun sawit. Bagi yang menolak, mereka melakukan berbagai aksi protes, namun pembukaan lahan tetap dilakukan.
Menurut data Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah, pada tahun 2018, sudah ada 327 perkebunan besar dengan total luas 3,9 juta hektar yang sudah operasional ataupun dalam tahap eksplorasi di Kalimantan Tengah. Ditambah lagi, ada total 1,007 izin usaha pertambangan dan lahan konsesi hingga 3,6 juta hektar.
Kondisi tersebut akan mengancam keberlanjutan hutan tropis Kalimantan Tengah yang menjadi paru-paru dunia.
Edy mengatakan selama masih ada hutan, maka warga desa bisa hidup tentram, bebas dari konflik dengan siapapun. Bagi dirinya dan masyarakat Dayak Tomun, hutan adalah ibu yang harus dijaga.
“Prinsip kami, hutan indai kito yang artinya hutan itu ibu kami. Hutan memberikan kehidupan,” ungkap Edy.
Liputan ini atas dukungan dan kerjasama dari Earth Journalism Network dan Southeast Asian Press Alliance