Wabah Covid-19 membuat percakapan tentang isu lingkungan menjadi semakin relevan. Saat ini, isu tersebut tak lagi berada di awang-awang.

Oleh Ika Ningtyas

Pandemi Covid-19 harus menjadi momentum bersama untuk merefleksikan kembali hubungan manusia dengan lingkungan. Sebab terjadinya pandemi ini berkaitan erat dengan kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia.

Hal itu menjadi pesan utama dalam diskusi online yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), 22 April 2020. Diskusi tersebut sekaligus memperingati 50 tahun Hari Bumi dan hari jadi SIEJ ke-14.

Diskusi selama dua jam itu diikuti oleh sekitar 40 peserta dengan menghadirkan tiga narasumber. Mereka yakni Kepala Pascasarjana Program Studi Biomanagement di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institute Teknologi Bandung, Angga Dwi Artama; Ahli Ekonomi Lingkungan di World Resource Institute (WRI) Indonesia, Sony Mumbunan; dan Harry Surjadi, jurnalis lingkungan senior yang juga meruakan salah satu pendiri SIEJ.

 

Angga Dwi Artama, menjelaskan, wabah penyakit umumnya terkait karena ketidakseimbangan antara tiga faktor, yakni yang menyangkut virus/bakteri, kondisi lingkungan serta perilaku manusia. “Misalnya pola hidup manusia yang berubah menyebabkan kerentanan terhadap penyakit juga berubah,” kata Angga yang aktif mendampingi sejumlah kampung di Bandung untuk mengembangkan sistem ekonomi lokal.

“Kalau dulu wabah itu terjadi karena ada manusia yang mulai merambah hutan seiring dengan adanya urbanisasi yang membuat semakin padat. Di waktu sekarang ini salah satu faktor yang berpengaruh adalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan,” lanjut Angga.

Jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, menurut Angga, sejarah telah mencatat sejumlah wabah penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan. Angga menunjukkan hasil penelitian ahli epidemiologi Australia, Tony McMichael (1942-2014), sekaligus peneliti yang yang menghubungkan kaitan perubahan iklim dan penyakit.

Wabah hantavirus di Amerika Serikat pada 1993 misalnya, terkait dengan El Nino dan meningkatnya curah hujan pada 1991-1992 yang menyebabkan populasi tikus lokal meningkat. Wabah flu burung dan flu babi, tidak bisa dilepaskan sebagai dampak pola pertanian dan peternakan yang massif. Wabah HIV/AIDS dan Ebola pada 1996, menandai adanya perpindahan inang virus dari hewan ke manusia. Demikian juga dengan wabah kolera, malaria dan DBD terkait dengan perubahan iklim yang dikombinasikan dengan demografi dan perubahan perilaku global

“Perubahan iklim dikombinasikan dengan demografi dan perubahan perilaku global mengakibatkan meningkatnya wabah kolera di Bangladesh, ensfefalitis di Swedia, malaria di Afrika bagian timur,” kata Angga.

Ahli Ekonomi Lingkungan di World Resource Institute (WRI) Indonesia, Sony Mumbunan, menyederhanakan permasalahan ekologi ini. Baginya, wabah Covid-19 adalah semacam percepatan problem perubahan iklim. Ancamannya terus menggalak dalam hitungan hari.

“Nah kalau hitungannya bulan per bulan, tahun per tahun, itu namanya perubahan iklim dan biodiversity loss,” kata dia. “Kalau hitungan dekade, mungkin waktunya lebih lambat tapi dampaknya tidak kalah parah.”

Berkaitan dengan Hari Bumi, Sony menambahkan pentingnya untuk dimaknai lebih dalam. Tujuannya, agar manusia bisa lebih sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan demi masa depan. Sebab biar bagaimana pun, manusia adalah pelaku sekaligus korban kerusakan lingkungan.

“Lingkungan akan baik-baik saja. Dia punya mekanisme untuk memperbaiki dirinya sendiri. Manusia yang akan terdampak. Manusia yang merusak, manusia yang terkena akibat,” kata Sony.

Sony juga memperkuat bahwa terjadinya wabah dengan kondisi lingkungan kini tidak bisa dipisahkan. Keduanya berkelindan erat mulai sektor hulu hingga hilir. Di bagian hulu, Covid-19 ini terjadi karena perusakan habitat dan degradasi lahan sehingga memungkinkan terjadi perpindahan virus yang semula berinang di hewan ke manusia. “Karena ekonomi kita, dagang kita terintegrasi maka menjadi pandemi seperti sekarang,” kata dia.

Sementara di bagian hilir, potensi kerusakan lingkungan akan terjadi sebagai respon atas wabah penyakit. Sebab, dalam kondisi wabah, stimulus atau jaring pengaman sosial dari negara umumnya sangat terbatas. Sementara masyarakat di tepi hutan yang selama ini bergantung pada sawit dan karet, adalah kelompok paling rentan terhadap dampak krisis pangan selama wabah. Sehingga dikhawatirkan mereka akan masuk membuka lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Sony, ke depannya perlu dilakukan pengorganisasian ulang atas ekonomi untuk mengantisipasi makin rusaknya lingkungan yang dapat menyebabkan pandemi kembali terjadi. “Pandemi Covid-19 saat ini menjadi kesempatan baik untuk mendiskusikan persoalan-persoalan lingkungan dan perubahan iklim karena makin banyak orang mulai berpikir dalam sistem atau kesatuan,” kata Sony yang juga peneliti di Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim di Universitas Indonesia.

Senada dengan Sonny, Angga menambahkan, saat ini, orang-orang secara individu maupun komunitas yang peduli terhadap lingkungan semakin banyak. Perlahan, tapi signifikan. Perlu kejasama semua pihak untuk menjaga alam.

Ilmuwan diperlukan untuk terus meneliti isu-isu lingkungan. Tak kalah penting, jurnalis berperan sebagai penyebar informasi. “Sinergi seluruh pihak sangat penting. Ilmuan, jurnalis, komunitas lokal,” kata dia. “Ini momen yang tepat untuk bekerjasama.”

Peran Jurnalis

Jurnalis berperan penting, tidak hanya melaporkan angka-angka statistik kasus Covid-19. Melainkan harus mengajak publik merefleksikan pandemi ini dengan konteks perubahan lingkungan. Harapannya, refleksi tersebut bisa mendorong kebijakan publik agar lebih peduli dengan lingkungan.

Sony Membunan, menjelaskan, jurnalis harus mengawal kebijakan publik utamanya pasca pandemi berakhir. Tanpa pengawalan oleh jurnalis dan media, Sony khawatir, kebijakan publik yang diambil pemerintah, justru memperparah kerusakan lingkungan dan krisis iklim. “Sebagai contoh, apabila pemberian stimulus ekonomi pasca Covid-19 lebih banyak ke perusahaan-perusahaan batu-bara atau perusak hutan, ya, artinya kita tidak banyak berubah dan hanya akan seperti ini lagi, seperti ini lagi,” katanya.

Selain aspek makro, jurnalis senior Harry Surjadi, mengajak jurnalis lebih memperkaya isu peliputan pandemi Covid-19 dari sisi konsumsi, seperti konsumsi energi, pangan dan air bersih. Sebab saat pandemi, konsumsi pangan dan air, serta energi, relatif meningkat sementara jumlah produksinya menurun.

Menyangkut pangan, potensi krisis pangan bisa terjadi apabila Indonesia tidak memiliki cadangan pangan yang cukup. Saat ini, sejumlah petani ada yang sulit menanam dan hasil panennya tidak terserap di pasar. Sementara warga di perkotaan sangat bergantung dengan pasokan pangan dari pedesaan. “Di sisi lain impor pangan dari negara-negara lain sangat terbatas. Siapa yang mau mengekspor berasnya ke Indonesia saat pandemi?” lanjut Harry.

Catatan tambahan oleh May Rahmadi.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.