Studi menyebutkan, paparan polusi udara di awal kehidupan dapat berkontribusi terhadap pengembangan asma di masa anak-anak dan remaja. Sementara perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyarankan, pemerintah dan pemangku kebijakan membuat regulasi pengendalian polusi udara, antara lain, peraturan standar baku mutu udara ambien sesuai standar WHO.

Liputan ini telah lebih dahulu terbit di Mongabay pada tanggal 6 Mei 2020.

Baca juga: Polusi Udara Pembunuh Senyap di Jabodetabek

Oleh Lusia Arumingtyas

Natih, warga Kampung Utan, Desa Muara Bhakti, Kecamatan Babelan, Bekasi, Jawa Barat, pada Januari, harus terbangun tengah malam karena sesak napas, diawali dengan batuk dan pilek yang berlangsung berminggu-minggu. Pagi harinya, dia periksa ke dokter.Dokter bilang dia kena asma.

Jarak rumah Natih dengan pagar beton PLTU batubara hanya sekitar enam sampai delapan meter. Dua cerobong asap PLTU batubara PT Cikarang Listrindo Tbk, Babelan, Bekasi Utara, jadi saksi bisu aktivitas Natih dan masyarakat Kampung Utan.

Pada 2012, PLTU Cikarang mulai sosialisasi dengan masyarakat desa. Mereka dikumpulkan di Balai Desa mendengarkan penjelasan dari pengembang bersama kepala desa tentang proyek perumahan dan museum. Masyarakat diminta menandatangani surat dan menyerahkan KTP, tanda setuju.

Tak tahu menahu, pada 2016, ternyata proyek perumahan berubah jadi PLTU. Mereka tidak tahu dampak apa akan mereka alami. Kala itu, warga dapat janji jadi karyawan. Janji tinggal janji, tak ada realisasi hingga kini. Dalam satu kampung, kata Natih, kurang dari tiga orang bekerja disana.

Saat beroperasi 2017, debu pembakaran batubara mulai dampak bagi masyarakat. Mereka sempat protes dengan memblokir jalan. Perusahaan janji lagi warga dapat sembako, biaya kesehatan kalau sakit dan perbaikan jalan kampung.

Perbaikan jalan kampung terealisasi, namun tanpa drainase. Dampaknya, rumah warga sering kebanjiran saat hujan. Kondisi ini sudah mereka komunikasikan dengan perusahaan tetapi hampir dua tahun tak hasil. Sembako pun datang saat bencana banjir, dan harus menunggu lama.

Natih dan keluarga sudah tinggal di sana hampir tiga dekade. Satu tahun belakangan ini dia sakit hingga harus beristirahat total, tak bisa bekerja selama 15 hari.

“Ya dokternya bilang (asma ini) katanya karna debu PLTU.”

PLTU batubara milik PT. Cikarang Listrindo Tbk. memiliki kapasitas 280MW, terletak di Desa Muara Bhakti, Kecamatan Babelan, Cikarang. Sumber: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

***

Siang itu, 18 Februari tahun lalu, Natih dan Ayu sedang duduk-duduk di jalan cor desa sambil menyantap makan siang dan menjaga anak-anak mereka bermain di sekitar. Musim kemarau panjang 2019, debu PLTU masuk melalui ventilasi rumah mereka.

“Kalau pertama kali hujan, air yang turun warna hitam. Kaya’ nyuci genteng yang kena debu PLTU. Mirip kaya’ air comberan ini,” cerita Ayu, sambil menunjuk genangan air di dekat rumahnya.

Saat pagi atau sore hari, cerobong mengeluarkan asap putih hingga kuning pekat. Makin malam ke pagi hari bau sangit seperti kabel kebakar sering dirasakan.

Pani, anak Ayu usia tiga tahun pun mengidap asma saat usia enam bulan. “Di uap dua minggu sekali, sampe waktu itu kita beli alat uap sendiri karena lebih murah,” katanya, bilang, alat seharga Rp 450.000.

Sejak kecil, Pani seringkali mengalami batuk pilek. Hampir tiga bulan sekali, Pani dibawa ke bidan anak untuk berobat. “Kalau batuk bisa sampai seminggu lebih, makanya dijaga banget kalo lagi sakit.”

Keluarga Ayu dan Natih, tak memiliki asuransi kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Mereka memilih ke bidan terdekat dibandingkan Puskesmas dengan alasan lebih cepat tertangani. Sekali berobat sekitar Rp45.000. Pengeluaran-pengeluaran itu jadi beban keluarga, tak ada kompensasi perusahaan batubara.

“Awalnya, bilang ini mau jadi perumahan dan museum. Kami setuju saja. Tidak tahu bakal jadi seperti ini. Udah begini, tidak ada kompensasi.”

 

***

Pada 2019, data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) PM2.5 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, kualitas udara dengan kondisi baik hanya 18 hari dalam setahun. Sedangkan berdasarkan stasiun pantau milik United State Air Quality Index, hanya ada sembilan hari baik di Jakarta Selatan dan 10 hari baik di Jakarta Pusat.

Sebuah studi di Eropa menyebutkan, paparan polusi udara di awal kehidupan dapat berkontribusi terhadap pengembangan asma di masa anak-anak dan remaja.

Penelitian ini mengikuti lebih 14.000 anak dari lahir hingga usia 16 tahun di lingkungan yang memiliki paparan polusi tinggi. Hasilnya, mereka memiliki potensi asma terutama setelah empat tahun bahkan hingga remaja.

Walhi dan Greenpeace Indonesia mengatakan, salah satu kontributor kualitas udara buruk karena PLTU berbahan bakar batubara. Persentase sekitar 20-30%. Berdasarkan riset Greenpeace pada 2017, terdapat 10 PLTU batubara berjarak 100 km dari ibukota Jakarta.

Sebarannya, PLTU batubara terdapat di Banten tujuh unit beroperasi dan tiga sedang dibangun, Bekasi dua unit beroperasi dan dibangun, terakhir di Jawa Barat ada satu PLTU yang sedang beroperasi.

PLTU batubara Cikarang Listrindo., Bekasi, berkapasitas 280 MW ini berjarak 36 kilometer dari pusat kota Jakarta, yakni, Monumen Nasional–Kecamatan PLTU Babelan, Bekasi Utara.

Natih, 45, (kiri) dan Ayu, 27 (kanan) bersama anaknya yang mengalami dampak kesehatan sejak PLTU dioperasikan. Sumber: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia.

 

Sebuah studi oleh Institusi Kebijakan Energi Universitas of Chicago menunjukkan, kualitas udara di Jakarta, sangat buruk bahkan hingga mengurangi 2,3 tahun dari rata-rata umur penduduk. Kondisi ini karena mikro partikel polutan yang menyebabkan penyakit dan kematian dini, dikenal dengan PM 2.5. Partikel ini bisa meningkatkan risiko kematian dini karena penyakit jantung, stroke, paru-paru dan pernapasan akut.

“Pada 1998, polusi udara hampir tidak berdampak pada harapan hidup orang Indonesia. Bahkan, pada 2013, ia hanya memotong beberapa bulan dari rata-rata harapan hidup,” kata peneliti Michael Greenstone dan Qing Fan.

Untuk penduduk di Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang terpapar polusi karena kebakaran hutan dan lahan bisa mengurangi usia harapan hidup, akan kehilangan rata-rata 4,8 tahun.

Penelitian yang baru saja diluncurkan Greenpeace Asia Tenggara dan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) menyatakan, biaya ditanggung Indonesia mencapai US$11 miliar dengan angka kematian dini 44.000 jiwa sepanjang 2018.

Dasrul Chaniago, Direktur Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sedang melakukan permodelan terkait dugaan kontribusi PLTU batubara terhadap polusi udara di Jakarta, salah satu PLTU Suralaya, Banten.

“Musim kering itu kan angin timur. Sementara ia di barat. Angin PLTU Suryalaya kan harusnya ke Lampung. Bukan ke arah sini (Jakarta-red), kalau pun ada. Suryalaya saya rasa dihadang oleh bukit.”

Hingga kini, kata Dasrul, belum ada penelitian khusus terkait dampak PLTU terhadap kualitas udara di Jakarta terutama oleh pemerintah.

Penelitian American Chemical Society mengatakan, Indonesia, jadi salah satu negara di Asia Tenggara yang jadi perhatian dimana pembangunan ekonomi dipacu PLTU.

“Kami memproyeksikan dalam skenario business as usual, emisi dari batubara akan berlipat tiga kali pada 2030, dengan peningkatan terbesar terjadi di Indonesia dan Vietnam,” kata Koplitz, dkk., peneliti dari Harvard University.

Bahkan berdasarkan simulasi melalui GEOSChem, terjadi peningkatan besar dalam polusi udara permukaan hingga 11-15 µg/m3 PM 2.5 dalam satu tahun. Penelitian pada 2017 ini menyebutkan, angka kematian dari emisi batubara Asia Tenggara mencapai 19.880 jiwa, dan akan meningkat jadi 69.660 pada 2030.

Clean Air Initiatif atau Inisiatif Udara Bersih disuarakan WHO bersama UNEP dan Climate and Clean Air Coalition pada 2019  meminta para pemangku kepentingan bergerak andil memerangi krisis iklim dan krisis polusi udara.

PBB pun mendesak pemerintah regional, lokal maupun nasional bertindak atas pencemaran iklim dan udara demi kesehatan masyarakat. Ini sebagai tindakan dalam upaya iklim, kualitas udara dan kesehatan.

Salah satu gagasannya, menerapkan kebijakan kualitas udara dan perubahan iklim sesuai pedoman kualitas udara ambien dari WHO.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, berbicara polusi Jakarta ini tak hanya dari Jakarta, juga wilayah kota satelit di sekitar. Satu faktor penyebab polusi dari sumber tak bergerak dan di luar Jakarta adalah PLTU.

Dia contohkan, PLTU Babelan, memungkinkan arah pencemaran ke Jakarta. “Perlu ada kajian regular oleh pemerintah, Jakarta, Jawa Barat, Banten dan sekitar,” katanya.

Tak hanya itu, kata Bondan, perlu regulasi ketat pemerintah pusat dan daerah untuk transisi ke energi terbarukan, menghentikan pembangunan pembangkit listrik batubara dan menutup pembangkit listrik tenaga uap. Juga berinvestasi dalam sistem transportasi umum saling terintegrasi, hingga memberlakukan aturan ketat penggunaan kendaraan bermotor.

Bergelut dengan polusi udara

Kalau anak Ayu dan Natih jadi bagian dari kelompok rentan yang tinggal di dekat sumber pencemar, lain cerita dengan Veronica Michele. Perempuan 43 ini tinggal di Jakarta, dengan kendaraan bermotor padat. Dia satu dari 32 warga yang menggugat pemerintah kasus polusi udara.

Misha, anak kedua Veronica memiliki echezma, asma ringan, dan rinitis alergi. Vero begitu khawatir terhadap kesehatan putrinya yang kini berusia enam tahun. Misha punya penyakit echezma sejak kecil. Dia alergi debu. Dua kali setahun, penyakit ini selalu kambuh, bahkan sampai infeksi bahkan pernah suatu kali sulit berjalan.

Pada 2017, Misya dinyatakan menderita asma ringan, padahal tidak pernah mengidap penyakit itu. “Ngik ngik kalau lagi kambuh. Setiap lagi gitu, pasti penyakit kulitnya kambuh.”

“Anak gue gak bisa aman. Kemana-mana harus pake masker.”

Sebelum 2016, keluarga Veronica sempat tinggal di Australia. Sekembali ke Jakarta, penyakit itu sering kambuh. Kala itu, dokter menyebutkan, kualitas udara Jakarta, tidak sebersih di negara sebelumnya. Pertengahan 2019, Misha didiagnosa rinitis alergi.

Berdasarkan Althea Medical Journal, rinitis alergi ini rentan terhadap anak-anak dan remaja. Penyakit ini berupa peradangan pada selaput rongga hidung karena reaksi alergi yang , bisa dipicu berbagai jenis alergen, seperti, debu.

Studi ini menyebutkan, hal ini berdampak pada penurunan produktivitas dan kualitas tidur hingga terjadi penurunan kualitas hidup seseorang.

Budi Haryanto, peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia menilai, hingga kini pemerintah masih belum serius dan memiliki prioritas utama dalam pengendalian polusi udara.

Padahal, katanya, ketika bahan pencemar di udara masuk ke tubuh itu bersifat racun. Kalau terakumulasi terus menerus akan berdampak pada kesehatan.

Respon tiap tubuh manusia, kata Budi, berbeda-beda dalam menerima racun, tergantung mobilitas keseharian dan kesempatan self purifikasi atau pembersihan paru-paru dengan sendirinya karena menghirup banyak oksigen. Tubuh manusia sangat dinamis.

Pada 2019, Budi bersama peneliti Damai Pratiwi dari Univesitas Indonesia meneliti, pengaruh PM2.5 paparan terhadap tingkat malondialdehyde (MDA) dari pengemudi transportasi umum, khusus di 12 jalur trayek kendaraan umum Terminal Kampung Melayu. Hasilnya, 29,2% atau ada 38 sopir dengan kadar MDA tinggi.

“Kalau disederhanakan MDA itu menandakan ada kerusakan sel dalam tubuh. Belum keliatan sakit, tapi karna kadar MDA di tubuh meningkat disinyalir ada kerusakan sel,” kata Damai. Terbukti, paparan PM2,5 itu selain merusak paru juga salah satu faktor risiko penyebab penyakit degeneratif karena bisa merusak sel tubuh lain.

Dalam penelitian itu juga mengatakan, manusia yang terekspos polutan dalam kadar tinggi dalam waktu lama memiliki kadar MDA tinggi dibandingkan yang sedikit terekspos. Paparan PM2.5 jadi lebih tinggi dan menghilang terutama ketika pengemudi merokok di dalam mobil, lalu lintas macet, melewati kendaraan lain, dan sambil menunggu penumpang di pinggir jalan.

“Catatan kami, kemacetan menjadi penyebab utama kenaikan kadar PM2.5”

MDA ini semacam sinyal tubuh. “Ke depan, diharapkan kita bisa mencegah penyakit melalui sinyal-sinyal, tidak perlu menunggu timbul penyakit.”

Budi mengatakan, kalau tidak ada upaya pemulihan kualitas udara masif, kerugian ekonomi dan kesehatan masyarakat akan terus meningkat.

Dari hasil tahun 2010, sebanyak 57,8% warga Jakarta yang terpapar polusi menderita penyakit seperti arteri koroner sebanyak 1.246.130 (13%), dan asma bronkial 1.210.581 (12,6%). Lalu, bronkopneumonia atau infeksi peradangan paru-paru 153,742 (1,6%), dan berbagai penyakit lain.

”Estimasi biaya yang harus dikeluarkan warga Jakarta yang sakit akibat kualitas udara buruk minimum Rp697 miliar maksimal Rp38 triliun pada 2010.”

Penderita dan estimasi biaya ini, katanya, bisa terus naik kalau melihat kualitas udara Jakarta buruk. “Dampak polusi udara bahkan bisa menyebabkan jantung, kanker, hingga kematian dini.”

Penelitian Greenpeace Asia Tenggara dan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) baru rilis menyatakan, biaya yang ditanggung Indonesia US$ 11 miliar dengan angka kematian dini mencapai 44.000 jiwa sepanjang 2018.

 

Anak-anak yang hidup di dekat PLTU batubara. Anak-anak, salah satu kelompok rentan terdampak polusi udara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Anak-anak yang hidup di dekat PLTU batubara. Anak-anak, salah satu kelompok rentan terdampak polusi udara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Kelompok rentan

Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mengatakan, ketika Indeks Standar Pencemaran Udara lebih 100, kelompok rentan sudah terdampak. Meski, bagi kelompok tak rentan, tidak langsung merasakan dampak.

“Ini yang harus diperhatikan pada populasi rentan, anak-anak, orang lanjut usia, perempuan, ibu hamil dan juga pekerja yang bekerja di luar ruangan.”

Kalau anak-anak terekspos terus menerus, katanya, akan mengganggu perkembangan otak. Ada yang menyebabkan gangguan kognitif pada anak yang cenderung terkena polusi udara dalam jangka panjang.

Menurut Agus, pada dasarnya ini berhubungan dengan proses peradangan atan inflamasi kronik seluruh tubuh. “Yang paling halus PM2.5 kalau masuk ke tubuh kemudian akan masuk ke pembuluh darah, itu PM2.5 akan menginduksi inflamasi sistemik atau peradangan seluruh jaringan tubuh. Akibat inflamasi sistemik inilah, semua proses dalam sistem vaskuler darah itu bisa terganggu.”

Adapun, kelompok rentan yang terdampak polusi udara adalah anak-anak usia 0-18 tahun, perempuan, ibu hamil, lansia, masyarakat yang memiliki penyakit terkait penapasan dan masyarakat yang aktif bekerja di luar ruangan. Populasi perempuan paling tinggi, mencapai 5.222.939 (49,9%) dari seluruh warga Jakarta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jakarta 2018, kelompok rentan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin ada 6.538.492 jiwa, terdiri 3.186.419 perempuan (tidak termasuk kelompok usia anak-anak dan lansia), 3.309.132 anak-anak, dan 793.201 lansia.

Dampak polusi udara bisa terjadi penyempitan pada pembuluh darah kecil-kecil termasuk pembuluh darah ke otak. Pada anak-anak, ketika otak kekurangan oksigen, kata Agus, bisa mengganggu perkembangan otak. Kalau jaringan-jaringan tubuh lain juga kekurangan oksigen karena penyempitan pembuluh dara polusi itu bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan.

Adimas Siti Siti Helvanisari Denang, bidan di Puskesmas Kecamatan Cilandak, Jakarta, mengatakan, polutan lebih mudah terserap ke anak-anak karena napas mereka dua kali lipat lebih cepat dari orang dewasa. Bahan-bahan beracun ini, kata Adimas, bisa memiliki kaitan dengan kecerdasan anak-anak.

”Polutan kan bersikulasi di dalam darah kita, karena ibu hamil, kandungan polutan bisa sampai ke plasenta. Karena bayi hanya menerima dari ibu, otomatis kandungan polutan itu bisa masuk ke tubuh dan berpengaruh terhadap kehamilan dan gangguan pertumbuhan janin.”

Dampaknya, bisa pada kelahiran prematur atau kelahiran dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Sebuah studi menyebutkan, zat beracun yang terkandung dalam polutan bisa masuk ke tubuh dan rentan bagi perempuan.

Bertahan atau pindah?

Agus bilang, meminimalisir paparan merupakan kunci bagi mereka yang sudah sakit. Pindah kota, katanya, jadi pilihan terbaik meski memiliki ongkos besar, namun berdampak signifikan.

Kekhawatiran terhadap kesehatan anak, Veronica pun pernah berencana pindah rumah ke kota dengan udara lebih baik. Pindah kota menjadi rencana jangka menengahnya kalau dalam tiga tahun kualitas udara tak membaik.

”Setahun ini aku berpikir serius pindah, ke Salatiga, Semarang, sebenarnya Bogor tapi mobilitas untuk suami sulit,” katanya.

Di Jakarta, untuk mengurangi paparan polusi, Vero dan keluarga gunakan air purifier, menyempatkan mencari udara bersih saat weekend ke Bogor. Dia memiliki peluang ini karena secara ekonomi memungkinkan.

Kalau Vero memiliki pilihan pindah, bagaimana nasib keluarga Natih dan Ayu? Mereka merasa tertipu karena pembangunan PLTU hanya jadikan pengeluaran mereka makin membengkak dan tidak produktif. Sempat ada angin segar bahwa mereka akan relokasi, hingga kini belum ada kabar lagi.

“Kita sih milih digusur aja gitu mbak kemana biar ga kaya’ gini terus. Gak ada pilihan lagi, anak sakit-sakitan, kalau hujan banjir,” kata Ayu. 

Bergerak atasi polusi

Setelah gugatan warga dan organisasi masyarakat sipil yang mendesak Gubernur Jakarta, Banten dan Jawa Barat, mengambil langkah cepat. Anies Baswedan, Gurbernur Jakarta bergerak.

Pada 1 Agustus 2019, terbit terbit Instruksi Gurbernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Ia jadi respon yang diapresiasi koalisi masyarakat sipil yang berjuang untuk kualitas udara lebih baik. Sayangnya, regulasi ini belum diikuti Gubernur Banten dan Jawa Barat.

“Ini respon cepat tapi bisa jadi terlalu cepat juga karena mereka tidak menetapkan target pengurangan pencemaran udara yang terukur, hanya langkah-langkah,” kata Fajri Fadillah, peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL). Regulasi ini juga menginstruksikan Dinas Lingkungan Hidup mempublikasikan upaya pengawasan buangan sumber pencemar. “Tapi tidak hanya PT A taat atau tidak taat, bukan itu saja juga berapa emisi yang dibuang,,” kata Fajrinya, juga tim advokasi gugatan warga terhadap pencemaran udara Jakarta.

Harapannya, pelaksanaan aturan transparan dan memiliki target jelas agar tercipta lingkungan bersih dan sehat untuk kualitas kehidupan yang baik. 

Budi menilai pemerintah masih belum serius dan punya prioritas utama dalam pengendalian polusi udara. Walau, pencemar udara itu bersifat racun dan bisa berdampak pada kesehatan.

Dari penelitian bersama Eky Pramitha, yang dipublikasikan pada 2019, menyebutkan, konsentrasi PM2.5 di Kawasan Industri Pulo Gadung dapat jadi kontributor utama penurunan fungsi paru-paru. 

Paparan rata-rata PM2.5 dalam rumah di kawasan itu mencapai 308 µg/m3 atau sembilan kali lebih tinggi dari standar kualitas udara Environmental Protection Agency (EPA, 2006). Ada 38,5% responden punya gangguan fungsi paru-paru. Industri jadi kontributor utama peningkatan konsentrasi PM 2.5 di daerah itu.

Budi bilang, pencemaran udara tak mengenal batas. Kebijakan-kebijakan tak menyeluruh tak akan berdampak, misal, ganjil genap. “Pencemaran udara diharapkan berkurang, tapi tempat lain makin tinggi, kemudian terdistribusi oleh angin. Kenapa ga terlihat? Karena alat ukur masih sedikit, gimana mau dimonitor,” kata Budi

Angka pertumbuhan kendaraan tertinggi yang melintasi kooridor jalanan Ibukota Jakarta.

 

Dia pun merekomendasikan dalam penanganan polusi udara ini perlu ada kajian dan penelitan untuk mengetahui sumber polusi di perkotaan. Kajian ini untuk menilai dampak kesehatan polusi udara pada masyarakat, dan upaya-upaya mengatasi polusi udara lintas sektoral.

“Penderitaan sudah terjadi, lakukan secepatnya. Kalau rapat-rapat lagi, seminar, kapan geraknya? Ketika mereka rapat dan diskusi berapa hari itu sudah berapa orang jatuh sakit, mau menunggu sampai kapan?

Andono Warih, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mengatakan, akan mengoptimalkan Instruksi Gubernur Nomor 66/2019. Dalam upaya penanganan polusi udara, pemerintah Jakarta, terus pengawasan aktif dan pasif sepanjang tahun.

Pengawasan aktif, katanya, petugas pengawasan lingkungan hidup mendatangi pelaku industri untuk pengukuran langsung parameter-parameter lingkungan, misal, mengukur emisi cerobong.

Sedangkan, pengawasan pasif, industri melaporkan hasil pengawasan bekerjasama dengan laboratorium tersertifikasi enam bulan sekali ke Dinas Lingkungan Hidup.

“Hasil pengawasan industri yang terbukti melanggar ditindaklanjuti dengan saksi administrasi berjenjang sesuai UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup-red),” katanya.

Meski demikian, Andono, hanya mengumumkan perusahaan-perusahaan yang kena sanksi seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada arah membuka jumlah emisi ke publik.

Soal keterbukaan data dan informasi polusi udara, baik pemerintah daerah maupun pusat masih meyakini pelaksanaan sudah baik. “(terkait kualitas udara) ada di situs DLH dan Jakarta Smart City ada,” katanya.

Begitu juga Dasrul Chaniago. Dia mengatakan, data polusi udara sudah transparan dan dapat diakses melalui situs resmi pemerintah. Pemda, katanya, sudah memiliki alat monitoring dan kemudahan mengakses melalui smartphone. Antisipasi kalau kualitas udara tak sehat itu, katanya, tergantung pemda.

Pemerintah sudah ada aturan baku mutu ambien udara lewat Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999. Ada rencana, katanya, menyusun aturan turunan lewat peraturan menteri.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyarankan, pemerintah dan pemangku kebijakan membuat regulasi pengendalian polusi udara, antara lain, peraturan standar baku mutu udara ambien sesuai standar WHO, peraturan menyangkut penggunaan bahan bakar kendaraan sesuai standar EURO4 , dan peraturan uji emisi kendaraan bermotor. Juga, peraturan mengurangi emisi polusi udara dan industri.

Veronica berharap, ada perbaikan kualitas udara lebih signifikan. Dia juga mau dapat informasi cepat saat polusi sedang tinggi. Vero ingin pemerintah punya sistem peringatan dini dalam informasi kualitas udara.

Penting juga, katanya, masyarakat ambil bagian mengurangi polusi udara, dengan pakai transportasi umum. Di sekolah, misal, perlu ada inisiatif bagi orangtua untuk menciptakan sistem transportasi co sharing bagi rumah yang berdekatan.

Gue berharap, anakku bisa menghirup udara segar tanpa masker, berkurang infeksi, polusi udara berkurang.”

Harapan Vero, juga harapan warga Jakarta, dan daerah lain yang alami polusi udara.

 

 

Baca juga: Polusi Udara Pembunuh Senyap di Jabodetabek

 

Liputan ini didukung oleh dana dari Internews Earth Journalism Network (EJN) dan Resource Watch, sebuah lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlanjutan masa depan.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.