Kehadiran Waterfront City Majene memang akan memperindah penampilan tepian ibukota Kabupatan Majene, tetapi bagaimanakah dampak pembangunan mega proyek ini terhadap nelayan dan lingkungan setempat?

Oleh Agus Mawan

Majene, SULAWESI BARAT. Sore itu, tak lama lagi laut akan pasang. Angin menderu dari arah laut dan ombak datang bergulung-gulung. Sementara anak-anak riang bermain dan nelayan lalu lalang di sela sela kapal di tepi pantai, dua unit eskavator terus mengeruk dan memindahkan  timbunan reklamasi.

Pemandangan kesibukan ini tampak di Cilallang, sebuah kampung pesisir di kelurahan Pangaliali, di kecamatan Banggae yang merupakan ibukota dan sekaligus daerah terpadat penduduknya di kabupaten Majene dengan 1.675 jiwa per kilometer perseginya.

Bersama Kecamatan tetangganya, Banggae Timur, Banggae merupakan lokasi pembangunan untuk mewujudkan Waterfront City (WFC)  di Majene, Sulawesi Barat, dua tahun terakhir ini. Sebagian besar pembangunan ini telah rampung dikerjakan.

Waterfront City merupakan pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dan dengan bentuk pengembangan pembangunan wajah kota berorientasi pada perairan tipe konservasi, pembangunan kembali, dan pengembangan.

Rencana pembangunan Waterfront City ini akan mencakup wilayah pantai kecamatan Banggae dan Banggae Timur, mulai dari Kelurahan Pangaliali hingga Kelurahan Baurung dan pembangunannya terbagi atas beberapa segmen.

Ridwan Tajuddin seorang ayah dua anak yang berusia 32 tahun, adalah nelayan di Cilallang, sebuah perkampungan kumuh di kaki tebing terjal yang di atas nya bertengger rumah dinas Bupati Majene.

Bercerita di depan rumahnya yang dipisahkan oleh jalan dengan laut, Ridwan mengatakan dia sempat disergap badai ketika pulang memancing pada hari sebelumnya. Petir menyambar kapalnya dan merusak haluan kapalnya hingga bocor, namun ia selamat malam itu.

Di depan rumahnya yang dipisahkan oleh jalan selebar lima meter dari apa yang dahulunya merupakan garis pantai, kini, garis pantai sudah mundur puluhan meter setelah direklamasi, dengan tanggul membatasinya dari laut.

Ridwan dan sejumlah nelayan setempat sebenarnya menolak pembangunan  WFC di Cilallang. “Banyak yang menolak, tapi takut. Takut bicara. Takut diintimidasi,” kata Ridwan. Warga juga takut, program bantuan bagi mereka akan diputus bila menolak.

Bagi Ridwan, tanggul itu hanya membawa masalah. Ia membuat perbaikan kapal di darat menjadi sulit. Mustahil mengecet dan merawat kapal di genangan air laut. Apalagi mengangkat kapal seukuran bis itu.

Tanggul juga menimbulkan masalah lainnya bagi Ridwan dan nelayan lainnya, karena ia menyebabkan ombak balik yang kemudian bertabrakan dengan ombak datang, menjadikan lautan di pesisir itu jauh dari tenang.

“Berombak mi juga. Jadi, ombak pas hantam tanggul kembali keluar lagi. Makanya berombak,” kata Ridwan. “Anak-anak tidak bisa mi mandi di pinggir laut, karena banyak batu gajahnya (material pembangunan tanggul), banyak ditumbuhi tiram itu. Banyak terluka kakinya semenjak dikerja ini tanggul.”

Ridwan Tajuddin diatas kapal nelayan bersama rekan nelayan dari kampung nya. Sumber: Agus Mawan

Seperti di  kampung nelayan pada umumnya, rumah-rumah di Cilallang sengaja dibangun menghadap laut, agar pemilik mudah mengawasi kapalnya ditepi pantai.

Kampung ini sebenarnya juga adalah daratan baru, yang dimulai ditimbun warga pada tahun 1990-an. Puluhan tahun, warga menyambung hidup di Cilallang, dari hasil laut yang menjamin dapur mereka tetap berasap, anak mereka bisa bersekolah, dan rumah dapat dipugar berkala.

Di Cilalllang, jalanan yang tidak ramai lalu lintasnya itu menjadi pekarangan dan arena bermain anak-anak. Di tepinya warga menggelar pasar ikan. Hingga malam, orang-orang tumpah ruah di jalan seakan tak mengenal istirahat.

Namun, suasana itu mungkin berubah ketika WFC selesai dibangun. Jalanan itu akan disesaki kendaraan. Anak-anak akan kehilangan arena bermain yang aman.

WFC Majene yang dibangun di lahan seluas 17,89 Ha, melintasi dua kecamatan — Banggae Timur dan Banggae — adalah kompleks wisata berkonsep kota tepian yang diusung pemerintah kabupaten lewat tangan Fahmi Massiara, sang Bupati.

Dalam pengerjaannya, WFC dibagi dalam tiga segmen: Segmen satu dari pesisir pantai lingkungan Cilallang hingga Pangaliali (Luas 6,5 Ha dan panjang 1,5 km); segmen dua di Labuang-Parappe (Luas 3,3 Ha dan panjang 2,3 km); segmen tiga di Lembang (Baurung) dan Pantai Dato (Luas 4,7 Ha dan panjang 1,3 km).

Total luas kawasan WFC ini sekitar 14 hektar dengan panjang 8,8 Km.

Sumber: Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)Rencana Pembangunan Kawasan Pariwisata Majene Waterfront City, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Majene

 

Sebagian tempat di segmen satu dan dua, ditambah ruas jalan yang kelak menjadi jalan kabupaten.

Namun, menambah ruas jalan di tepi laut berarti menambah daratan. Maka 4.51 hektar pesisir,dengan terumbu karang dan padang lamun—dua element ekosistem pesisir yang penting, ditimbun dan ditanggul untuk jalan tersebut.

Segmen tiga, kawasan pantai Dato, cukup hanya dipugar dan akan memberikan lebih banyak ruang untuk sarana wisata.

WFC jelas bakal mengubah paras pesisir kota Majene. Beragam sarana dibangun. Anjungan (pusat WFC) akan memiliki  Masjid Apung, musium, taman, Rest Area, hotel, sampai kawasan wisata. WFC juga diintegrasi dengan program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh).

“Kalau jadi ini, cantik sekali. Itulah yang terakumulasi jadi WFC,” kata Bupati Fahmi di Rumah jabatan pada 10 Juni malam.

Fahmi mengatakan , ±125 km pesisir di Majene, sebuah kabupaten dengan garis pantai panjang yang menghadap Selat Makassar, sudah dipetak-petak sesuai karakternya, dan merasa WFC merupakan solusi buat kota Majene yang sudah sesak.

“Terutama di bawah ini (Cilallang). Sudah sesak dengan permukiman, jalan juga sudah sempit, masyarakat juga tidak terkontrol interaksinya. Di situ kan, pertambahan penduduk meningkat. Dalam satu Rumah Tangga bisa tiga kepala keluarga, bisa konfliknya itu tiap hari.”

Penduduk di kecamatan Banggae, mencapai 40.646 jiwa, dari 163.896 total di Majene pada 2015 dengan tingkat kepadatan 1616 jiwa/km2.

Pembangunan dengan embel-embel ‘proteksi’

Di awal penyusunan konsep WFC Majene, Fahmi sudah berkonsultasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pihak kementerian meminta agar tidak memakai embel-embel WFC. “Dia bilang, jangan pakai istilah itu, pakai [istilah] protect.”

“Jadi kementerian itu menyetujui untuk proteksi mereka ini dari abrasi, ombak besar, dan lain-lain. Jadi memang dari udara, kita lihat di bawah itu, memang terancam,” klaim Fahmi.

Permukiman pesisir di Banggae dan Banggae Timur memang rawan abrasi. Soal penataan kota, Fahmi mengidamkan pesisir kota Majene serupa kota Parepare, di Sulawesi Selatan. “Tapi kerjaannya juga lamban, karena anggarannya.”

WFC menyedot Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Nasional (APBD/N) sampai milyaran rupiah. APBD untuk jalan dan sarana, sedang tanggul dibiayai APBN.

Tetapi, nelayan mulai cemas. Tanggul membuat ombak terpantul ke laut lebih besar, menghempas kapal nelayan yang terlabuh disana. Kapal mereka bisa hancur saling bertabrakkan dengan kapal lain.

Namun, Fahmi mengklaim akan bangun tambatan, semacam dermaga dimana kapal dapat ditambatkan, yang menjorok 100 meter ke laut dengan lebar 500 meter.

Namun tambatan belum dibangun sementara pengerjaan tanggul terus berlanjut. Selama pembangunan tanggul, Aliansi Selamatkan Nelayan dan Pesisir (ASNP) Sulawesi Barat (Sulbar) menemukan dampak pembangungan tanggul tersebut di beberapa tempat.

Tanggul Majene Waterfront City di Cilallang. Sumber: Agus Mawan

 

Penolakan terhadap WFC pun bermunculan dan di bulan Agustus 2019, Nelayan bersama ASNP Sulbar turun ke jalan menuntut dihentikannya pembangunan WFC.

Mereka berdemonstrasi di Kantor Bupati Majene dengan membawa sepuluh tuntutan, termasuk meminta ganti rugi. Sayang, Bupati dan Wakilnya tidak dapat mereka temui karena sedang keluar kota.

Demonstrasi  pada tanggal 23 Agustus itu kemudian berujung dengan penyegelan lokasi reklamasi di Cilallang hingga pengerjaan tanggul terhenti.

Pemerintah kemudian merespons penyegelan dengan perintah pengawasan para pengunjuk rasa oleh polisi.

Penyegelan itu juga berbuah intimidasi; “Baik dari pengawas proyek bahkan Kepala Lingkungan sendiri,” kata Muhlis Mustaman, koordinator ASNP. “Model intimidasinya menggertak.”

Pada bulan Oktober 2019, ASNP melaporkan dugaan maladministrasi dalam proses pembangunan WFC ke Ombudsman Sulbar.

Pada 17 Maret 2020, Rapat Kordinasi digelar dengan dihadiri Wakil Bupati Majene, Lukman Hadir. Setelah ombudsman memaparkan tiga temuan maladministrasi itu, Lukman berkilah bahwa WFC; “bukan melaksanakan reklamasi, hanya saja penimbunan pembangunan tanggul.”

Ombudsman menemukan bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan Sulbar menyerahkan surat pengantar kesesuaian lokasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulbar (DPMPTSP), tanpa menyesuaikan titik kordinat dengan RZWP3K Sulbar.

Ombudsman juga meminta keterangan Balai Wilayah Sungai Palu terkait pembangunan tanggul laut.

Terakhir, Ombudsman menanyakan mengapa tim ahli Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Sulbar yang menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) WFC, padahal memakai anggaran Pemkab Majene.

Di bulan April 2020, ketika pandemi virus corona menyita perhatian, pembangunan WFC tetap berlanjut.  Bupati Fahmi berdalih, penolakan itu sepihak. “Bagaimana mau nolak-nolak. Coba lihat itu di Makassar, sudah mau habis pinggir pantai,” serunya merujuk kepada abrasi yang terjadi di ibukota propinsi Sulawesi Selatan itu.

Yusri M, kordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Sulawesi mengatakan bahwa wajar bila nelayan menolak  WFC karena mereka memikirkan keamanan kapal mereka kala berlabuh  bukan di tambatan kapal. Bila kapal itu rusak, saling berbenturan karena ombak balik, tentu petaka bagi mereka. Nelayan tidak bisa lagi melaut.

“WFC menurut kami, itu cuman satu aspek positifnya. Indah saja. Selebihnya nggak ada.” Kata Yusri.

Seorang nelayan melewati area pembangunan tanggul di Cilallang. Sumber: Agus Mawan

Dilema wisata

Ridwan mengkhawatirkan keadaan kampungnya ketika WFC sudah beroperai. Pasti ramai dengan pengunjung, wisatawan dan orang berpunya. “Malu ki. Makanya kita, lebih baik pindah dari sini,” ujarnya.

“Memang sekarang ditanggul, tapi ke depannya sapatau dibangun lagi? Tidak ditahu.”

ASNP menampik pendapat bahwa , WFC dibangun untuk melindungi nelayan, Menurutnya  WFC jelas bertujuan menjadi destinasi wisata dan merias kota. Membuka lapangan kerja itu bonus.

Celakanya menurut Muhlis, pemerintah kurang mempertimbangkan ruang hidup nelayan. Apalagi tanggul jelas  menghalang akses kerja nelayan.  Jadi, menurutnya, WFC merugikan nelayan,.

Pengalaman di berbagai daerah yang mengembangkan kota tepian,jelas memperlihatkan bahwa pengembangan demikian hanya akan menguntungkan pengusaha.

Bila pemerintah sungguh ingin melindungi nelayan, negara tinggal menjalankan amanat UU nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang menjunjung hak berpendapat dan menjamin asuransi nelayan.

“Pemerintah, mungkin tidak tahu kalau nelayan bukan hanya sekadar profesi saja, tapi juga sebagai warisan leluhur,”demikian Muhlis.

Pembangunan WFC juga memperburuk lingkungan. Survei ASNP di segmen satu-dua, pada Agustus-September 2019 menemukan bahwa padang lamun banyak tertimbun sementara tepi laut kini berlumpur sedalam paha orang dewasa,  mengancam kelestarian terumbu karang beserta ekosistemnya.

Data persebaran biota dalam dokumen Amdal juga tidak saja tidak lengkap namun juga terdapat perbedaan dengan apa yang ditemukan dilapangan. “Kami menganggap ini sebagai penguat mereka agar terlihat bahwa lokasi tersebut wajar untuk direklamasi,” kata Dicky Zulkarnain, tim riset ASNP.

Bagi Ridwan, pembangunan WCF hanya membawa petaka.

“Ya memang bagus bagi kamu. Tapi bagi kita ini nelayan? Tidak bagus,” kata Ridwan. “Lebih baik, ini kampung sederhana saja. Daripada diperbaiki.”

Semenjak kapalnya mengalami kerusakan di moncongya, Ridwan sudah tidak lagi bisa menggunakan lagi kapal yang sudah menemaninya lima tahun belakangan ini. Sore itu, ia masih terlihat berusaha memperbaiki haluan kapal yang telah pecah, pekerjaan yang menurutnya sendiri agak sia sia.

“Ini tunggu bantuan pemerintah saja…… Begitu mi,” keluh Ridwan, yang kini terpaksa hanya dapat mengikuti kapal rekannya untuk menyambung hidupnya.

Penolakan terhadap pembangunan WFC tidak hanya berasal dari Ridwan dan penduduk Cilallang lainnya.

Empat kilometer dari Cilallang, di Parappe Abdul Rifai dan rekan rekan sesama nelayan disana juga tidak menginginkan mega proyek WFC itu diteruskan. Namun mereka juga menyadari bahwa mereka  tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk menolaknya dan proyek WFC itu juga sudah terlanjur mulai dibangun.

“Biar kita melarang, tapi kalau pemerintah mau?” keluhnya.

Di Parappe, terumbu karang juga ditimbun demi penambahan jalan. Di sini, nelayan menambatkan kapalnya di balik tanggul, karena di perairan belum ditimbun untuk keperluan pembuatan jalan tersebut..

Mereka juga sedang menunggu realisasi janji oleh Pemerintah Majene bahwa akan dibangunkan pemecah ombak yang dapat melindungi kapal nelayan.

Tanpa pemecah ombak tersebut, gelombak laut akan terlalu besar dan mengancam tidak saja perahu nelayan tetapi juga para nelayannya.

“Bisa-bisa kita mati. Perahu juga rusak. Karena dalam. Kedalamannya 3 meter airnya,” kata Rifai. “Apalagi daerahnya di sini daerah ombak toh.”

Majene mungkin akan nampak indah dan mampu menghadirkan  wajah kota kekinian dengan dibangunnya  WFC. Namun nasib lingkungan pantai kota beserta para nelayannya jelas tidak akan secantik penampilan kotanya. Ekuatorial.

Ujung jalan baru di Parappe yang bawahnya merupakan terumbu karang. Sumber: Agus Mawan
There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.