Merebaknya pandemi Covid-19 sejak bulan Maret 2020, telah perlahan-lahan mengikis perekonomian masyarakat pada umumnya. Namun, bagi petani jagung lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, lumbung jagung mampu meredam dampak buruk wabah ini pada kehidupan mereka.

Oleh Widie Nurmahmudy

Banyuwangi, JAWA TIMUR. Sejak musim panen bulan Maret – Mei 2020, para petani di dusun yang terletak di kelurahan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, mulai kembali menghidupkan lumbung skala rumah tangga yang disebut ‘Jurung’, untuk menyimpan hasil panen, terutama jagung.

Sementara komoditas lainnya, seperti kacang, sayur dan buah tetap dijual. Upaya ini mampu meredam dampak buruk wabah Covid-19 pada ekonomi dan kebutuhan pangan mereka.

Ditambah dengan tanaman Porang (Lorkong) yang ditanam disela sela jagung dan memiliki harga jual yang baik, adanya lumbung ini membantu mencukupi kebutuhan petani dimasa pandemi.  Kenyataan ini kemudian memperkuat komitmen petani untuk mengembalikan dan melestarikan Jurung sebagai tempat penyimpanan jagung, sekaligus menyiapkan cadangan pangan, untuk mengantisipasi terjadinya kesulitan pangan, seperti di kala pandemi Covid-19.

Porang (Amorphophallus Muelleri) adalah tumbuhan mirip dengan suweg, walur, Iles Iles dan blodor. Selama masa pandemi, porang memiliki masa panennya 2 tahun sekali, tahun ini bersamaan dengan masa panen jagung, sehingga membantu petani jagung secara finansial, karena porang yang belum dikelola dapat langsung dijual pada pengepul.

Menurut Zainoto (45), petani sekaligus distributor Porang, harga porang cenderung naik setiap tahunnya. Harga ubi berkisar Rp. 8.000 – Rp 10.000 per kilo dari petani. Dengan hasil panen berkisar 2-3 kwintal perorang. Sementara untuk biji katak atau bubil yang dijadikan bibit dijual sekitar Rp 80.000 – Rp. 110.000 per kilo dari petani. Mereka bisa panen mulai 20 sampai 40 kilogram biji bibit porang.

“Dalam empat tahun terakhir, selama dua kali musim panen, harga Porang selalu stabil. Bahkan cenderung meningkat. Padahal, dulu tanaman ini dianggap tak ada nilainya. Maklum, dulu lebih banyak ditanam dihutan, kalau sekarang semua warga tanam Porang dikebunnya” Kata Zainoto.

Zainoto bersama seorang petani perempuan sedang panen porang. Sumber: Widie Nurmahmudy

Jagung sebagai pangan pokok

Munahju (76) tokoh masyarakat Papring menuturkan, runtuhnya tradisi penyimpanan jagung di Papring tak lepas dari stigma sosial, bahwa jagung identik dengan makanan orang miskin. Akibatnya, antara tahun 1980 sampai tahun 2010an, banyak warga yang menjadikan jagung sebagai komoditas untuk dijual kepada tengkulak, bukan untuk dikonsumsi sendiri. Pola komsumsi masyarakatpun kemudian mulai beralih dari jagung ke beras. Hal ini berlangsung hingga beberapa generasi.

Seiring perputaran waktu, masyarakat kini kembali menjadikan jagung sebagai bahan makanan pokok, apalagi beras bantuan dari pemerintah melalui program Raskin untuk rumah tangga miskin yang mulai diluncurkan tahun 1998, kebanyakan murah tapi tidak bermutu.

“Papring ini kan dihuni oleh dua suku. Yaitu suku Madura dan Jawa. Makanan pokok juga berbeda, yang Madura lebih senang jagung sementara yang Jawa suka beras. Sehingga politik pangan dalam kultur sosial pun memilki pengaruh, termasuk membangun pola fikir strata pangan,” kata Munahju.

Munahju mengaku, sejak kecil dirinya selalu mengkomsumi jagung sebagai makanan pokok. Hingga sekarang pun masih tetap dilakukan, meski harus dicampur antara beras jagung dan beras putih.

Sebelum terjadi pandemi Covid-19, seluruh hasil panen jagung di Papring dijual ke tengkulak. Dampaknya petani sering kebingungan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari hingga saat musim tanam kembali, karena mereka harus membeli beras jagung dan bibit untuk masa tanam berikutnya.

Dari 1.236 kepala keluarga (kk) di wilayah Papring, Wangkal dan Sumber Nanas, sebanyak 247 kk memiliki lumbung skala rumah tangga. Dari jumlah tersebut yang aktif menggunakan lumbung sebagai tepat menyimpan jagung sebanyak 75 kk. Khususnya warga dibagian Papring utara.

Sutinah (57) warga Papring yang aktif menggunakan lumbung skala rumah tangga mengaku, sejak dulu ia memang tidak menjual hasil panen jagungnya kepada tengkulak. Alasannya, jagung menjadi kebutuhan pokok keluarganya. Tidak hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari, Sutinah juga menjadikan jagung sebagai pakan ternak dan bibit untuk musim tanam baru.

“Kehidupan kami diatur oleh isi lumbung. Jika lumbungnya kosong, maka pengeluaran kami untuk pangan akan membengkak. Sehingga, kami berupaya untuk selalu mengisi lumbung kami dengan jagung. Meski hasilnya tidak sama setiap tahun,” kata Sutinah. Ia menambahkan, selama masa pandemi ini, ia bersama suaminya, Asnawi tetap aktif beraktivitas diladang.

Sutinah dan Asnawi bercocok tanam dilahan Perhutani seluas seperempat hektar. Dalam satu tahun, mereka bisa panen dua kali, dan menghasilkan 2.500-3.500 tongkol jagung setiap panen. Mereka juga kerap berbagi tongkol jagung dengan warga desa lain.

“Kami tidak menimbang hasil jagung, tapi kami menghitung jumlah tongkol. Kalau hasilnya 2.000 atau lebih, cukuplah untuk keluarga saya dan tiga keluarga anak saya yang sudah berkeluarga. Kan, kadang dicampur dengan beras padi juga kalau masak,” ungkapnya.

Ritual lumbung, ungkapan syukur

Tidak hanya dinikmati sendiri, tradisi ‘berbagi’ dimasa panen juga bisa dirasakan oleh tetangga sekitar. Setiap panen, warga akan berbagi hasil panen jagungnya antara 50-70 tongkol untuk satu kk. Proses berbagi jagung dilakukan setelah disortir untuk  jagung grade A yang  disimpan, grade B untuk dibagikan pada tetangga dan digunakan sendiri selama 1-2 bulan kedepan.

Setelah dibagikan pada tetangga pada siang hari sampai sore, malam harinya, akan dilakukan ritual penyimpanan jagung dalam lumbung, dibantu oleh warga yang menerima pemberian jagung dari si pemilik Jurung.

Ritual penyimpanan jagung di lumbung, sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang telah dicapai, ditandai dengan doa bersama, dan dilanjutkan dengan mengangkat hasil jagung keatas lumbung yang berada diatas tungku perapian dapur.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Abdul Hadi (53) yang menanam jagung din lahan seluas seperempat hektar milik Perhutani. Tahun ini, Abdul Hadi menyimpan sebanyak 2,600 tongkol jagung, setelah  membagikan sebagian dari hasil panennya kepada tetangga serta menyisihkan untuk pangan keluarganya yang berjumlah 3 orang selama 1-2 bulan.

“Tahun ini  ada 2.600 yang disimpan, kalau tahun lalu lebih dari 3.000 tongkol, ini berkurang karena kena hama dan telat tanam,” kata pria yang juga pengrajin bambu ini.

Warga Papring, Abdul Hadi dan isteri nya saat menaikkan jagung untuk disimpan di lumbung rumahnya. Sumber: Widie Nurmahmudy

Komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan

Warga Papring tidak hanya menanam jagung sebagai komoditas pangan mereka, tetapi juga kacang tanah, kacang ijo, jahe, cabe dan sayuran lainnya. Mayoritas, para petani ini memanfaatkan lahan seluas 100 hektar milik Perhutani Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Banyuwangi Utara. Lahan ini adalah bagian dari 850 hektar yang dikelola Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rukun Makmur.

Menurut Ketua LMDH Rukun Makmur Papring Kalipuro Banyuwangi, Muhamad Tali (33), dari luasan lahan Perhutani yang dikelola LMDH, setengahnya dimanfaatkan untuk Hijauan Pakan Ternak dan 50 persen lainnya merupakan lahan sadapan pinus. KPH Banyuwangi Utara lebih banyak memproduksi getah pinus.

“Masing-masing orang memiliki luasan seperempat hektar yang ditanami. Dengan curah hujan yang mendukung, petani bisa 3 kali tanam jagung. Selain itu juga ada tanaman pisang, alpukat, kacang tanah, kacang hijau dan jahe gajah” kata pria yang akrab dipanggil Mattali ini.

Ia menambahkan, sebelum masa pandemi harga jagung cukup baik, mencapai Rp. 2.200 per kilo di tingkat petani. Sementara memasuki musim panen di masa pandemi harga menurun hingga dibawah Rp.1.000 perkilo.

Salah satu penyebabnya, kata Mattali, adalah berkurangnya petani yang menanam jagung, munculnya hama, curah hujan yang mundur dan telatnya masa penanaman. Dan itu hampir terjadi diseluruh jawa. Namun, dampak tersebut bisa tertolong bila warga masih mengaktifkan lumbung skala rumah tangganya.

“Penurunan hasil panen jagung ini berbanding jauh hingga 60 persen. Pada tahun 2019 hasil jagung mencapai 250 ton sementara pada tahun ini hanya 125 ton. Tapi, bukan semata karena pandemi, tapi, karena hama, curah hujan yang mundur dan telatnya masa penanaman,” kata Mattali.

Menurut Mattali, hanya sekitar setengah dari 250 orang yang tergabung dengan LMDH Rukun Makmur yang masih memiliki lumbung dan menyimpan hasil jagungnya. Mereka tersebar di Lingkungan Papring Kelurahan Kalipuro, Kelurahan Gombengsari dan Desa Ketapang. Rata-rata, jenis jagung  yang diproduksi adalah jenis hibrida.

Seorang petani di Papring yang menjemur jagung hasil panennya, cukup untuk konsumsi keluarga selama tiga bulan kedepan. Sumber Widie Nurmahmudy

Pada bulan April hingga Mei 2020, Banyuwangi memasuki masa panen jagung yang kedua tetapi harga jagung turun karena stok melimpah.

“Harga Jagung pipil saat ini berkisar antara Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kilogram. Padahal sebelumnya berkisar Rp 5.000 per kilogram. Saat ini masih panen raya jagung kedua, hasil tanam jagung pada musim hujan kemarin,” ujar Arief.

“Pada tahun lalu di periode yang sama berkisar hanya 3.425 ton. Naiknya hasil panen raya karena seiring naiknya luasan lahan jagung pada tahun 2020 yang mencapai 5.469 hektar dari sebelumnya 476 hektar tahun 2019,” Kata Arief.

Arief menambahkan, hingga minggu kedua Juni 2020. Pihaknya telah memiliki pasokan jagung sebanyak 1999,5 ton. Sementara kebutuhan masyarakat Banyuwangi perminggu, kata Arief hanya berkisar 56,06 ton. Sehingga ada surplus sebanyak 1943,69 ton.

Terkait lumbung skala rumah tangga yang diterapkan oleh masyarakat Papring, Arief Setiawan, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyuwangi, sangat mengapresiasi dihidupkan nya kembali lumbung, ditengah pandemi Covid-19 ini. Menurutnya, hal itu perlu dicontoh wilayah lain, tidak hanya bagi petani jagung, tapi juga petani komoditas lainnya.

“Kultur masyarakat yang mempertahankan lumbung menjadi bagus, karena telah menyiapkan pangan dirinya dan keluarganya untuk perputaran ekonomi. Sehingga dalam kondisi apapun, masyarakat tidak khawatir terhadap pangan. Dan itu perlu dilakukan, sementara lumbung kita ada di Bulog,” ungkapnya.

Salah satu petani Papring yang juga kembali mengaktifkan lumbung jagungnya adalah Asnoto (50). Ia menuturkan, hasil panen jagung kali ini, 80 persen disimpan di lumbung, dan sisanya dijual dalam bentuk jagung pipil. Alasan menyimpan sebagian hasil panennya, kata Asnoto, adalah karena tengkulak yang datang hanya menawarkan harga dibawah standar, yaitu Rp. 800 perkilo untuk jagung tongkol. Akibatnya, Asnoto berinisiatif untuk menyimpan saja jagungnya, dan akan menjualnya nanti dalam bentuk pipil.

“Ada tengkulak yang datang memberi harga sangat murah, kami tidak mau. Alasannya karena pandemi semua harga murah. Ya, lebih baik disimpan saja, nanti dijual pipil lebih bagus harganya.” kata Asnoto. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.