Posted inArtikel / Hutan

T’wan Anoak Langia, melestarikan pengobatan Suku Rejang yang bertumpu pada hutan

Suku Rejang di Bengkulu memiliki metode pengobatan tradisional yang bersandar pada keahlian T’wan Anoak Langia. Banyak pasien yang sudah mampu diobati hingga sembuh dengan menggunakan pengobatan yang telah diwariskan secara turun temurun sejak ratusan tahun, dan bersandar pada keberadaan hutan di wilayah itu.

Oleh Firmansyah

Lebong, BENGKULU. Wajah Yusdawati (62) alias Wak Yus begitu ia dikenal di Air Kopras, sebuah desa di Provinsi Bengkulu, tampak berbinar bersemangat ketika membagikan resep disinfektan dan hand sanitizer buatannya kepada sejumlah tamu yang mengunjunginya di rumahnya, Selasa (23/6).

Bangle (zingiber montanum) dan jerangai (acorus calamus).ditumbuk umbinya lalu dicampur air, setelah itu disaring, airnya dapat dimanfaatkan untuk penyemprot rumah, membunuh kuman termasuk pencegahan covid-19. Pengganti hand sanitizer dan disinfektan,” kata Wak Yus yang tinggal di desa yang berlokasi di Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong,

Ramuan Wak Yus ini sudah dimanfaatkan warga sejumlah desa sekitar tempat tinggalnya. Maklum sulit mendapatkan hand sanitizer dan disinfektan di wilayah tersebut, mengingat tempatnya di pedesaan yang jauh dari perkotaan.

Wak Yus merupakan salah satu pengobat handal di Kabupaten Lebong. Di Lebong, yang mayoritas warganya berasal dari Suku Rejang, orang seperti Wak Yus disebut sebagai  T’wan Anoak Langia yang berarti tabib atau pengobat tradisional.

Masyarakat adat suku Rejang bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lebong, dalam Buku “T’wan Anoak Langia, Merawat Pengetahuan Sehat Leluhur Rejang” (2019) menyebutkan T’wan Anoak Langia merupakan ahli perobatan tradisional leluhur suku rejang yang diwariskan sejak ratusan tahun.

Pada tahun 2020, AMAN mengidentifikas 30 pengobat tradisional aktif di Kabupaten Lebong, dimana mayoritas masyarakat adatnya masih menjadikan T’wan Anoak Langia sebagai rujukan utama bagi pengobatan.

T’wan Anoak Langia, layaknya dokter, juga memiliki spesialisasi, seperti ahli tulang, penyakit perempuan, kanker, kusta, kulit, jantung, ayan dan lainnya. Pasien yang berobat tidak saja dari Kabupaten Lebong, ada dari luar Provinsi Bengkulu.

Pasien T’wan Anoak Langia, dikenal dengan Anoak Langia, berasal dari kelompok beragam. Ada pejabat, masyarakat biasa hingga tenaga medis.

Cempaka Sari (27), bidan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Desa Ketenong, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, menjelaskan ia merupakan salah satu anoak langia atau pasien yang sembuh.

Pada tahun 2013 ia sempat divonis dokter menderita kanker payudara. Saat itu dokter memberikan dua pilihan, melakukan operasi atau menggunakan metode pengobatan tradisional. Cempaka Sari memilih menjalankan pengobatan tradisional dengan Wak Yus.

“Pada tahun 2013 aku mencoba pengobatan dengan Wak Yus. Ada dua macam obat yang diberikan yakni dengan cara dioles dan diminum. Sekitar 2 bulan benjolan pada payudara saya menghilang, hingga saat ini sembuh total,” pengakuan Cempaka.

Sayangnya meski diakuinya telah sembuh, Cempaka tidak meminta konfirmasi diagnosa terakhir dokter terhadap kesembuhan payudaranya. Ia mengklaim hingga sekarang 2 benjolan di payudaranya sudah tidak ada lagi setelah menjalani pengobatan dengan Wak Yus.

Bidan Cempaka Sari yang berobat pada T’wan Anoak Langia. Ia mengalami penyakit kanker payudara selama beberapa bulan berobat tradisional lalu dinyatakan sembuh. Foto: Firmansyah

Menurut Cempaka, ramuan yang diberikan T’wan Anok Langia terbuat dari sejumlah akar pohon, tumbuhan, kelapa hijau, dan madu. Terdapat pula tanaman obat yang sulit didapat. Namun semua bahan baku tanaman obat itu dipenuhi sendiri oleh Wak Yus dengan cara menggunakan tenaga masyarakat yang masuk ke hutan. Perjalanan pencarian tanaman obat itu membutuhkan waktu berminggu-minggu.

“Saya tidak mengetahui persis tumbuhan yang diperlukan saat melakukan pengobatan. Namun saya tahu sulit didapat. Beberapa hari saya pernah terhenti berobat karena belum didapatkannya tumbuhan obat yang diperlukan,” kisah Cempaka.

Wak Yus menjelaskan sejumlah tumbuhan yang diperlukan dalam mengobati kanker seperti daun sirih, keduuk putih lalu diolah sedemikian rupa.

“Untuk penyakit kanker tahap pertama dilakukan yakni menggunakan daun sirih, kapur sirih, telur ayam tiga butir, keduuk putih, garam, cabai, diramu lalu dikonsumsi selama tiga hari. Setelah itu memasuki tahap kedua baru menggunakan tumbuhan alam seperti akar, daun,” jelasnya.

Adapun tumbuhan yang sering digunakan yakni batang dan daun Keduuk Putih (Famili Melastoma Malabathricu). Di Bengkulu pohon yang biasa disebut Seduduk ini, sulit dan langka, apalagi yang berwarna putih. Umumnya tanaman didapat dalam kawasan inti Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).

Selain Keduuk Putih, tanaman lain yang diperlukan yakni Akar Merah yang dalam Bahasa Rejang disebut Sipuah Abang, dan tanaman Akar Janggut Udang. Sulit untuk mengidentifikasi dalam taksonomi apa jenis tanaman ini, namun Suku Rejang mengenali tanaman ini dengan nama nama tersebut. Tanaman selanjutnya adalah akar pisang udang, buah kelapa hijau, madu, kunyit putih, pohon jelatang ayam atau nama latinnya Toxicodendron Radicans.

Wak Yus bersama tanaman Keduk Putih yang dipercayai memiliki khasiat yand dapt mengobati penyakit, salah satunya kanker. Foto: Firmansyah Credit: Credit / Organization Credit: Credit / Organization

Bertumpu pada hutan

Wak Yus dan sejumlah T’wan Anoak Langia di Kabupaten Lebong, mengemukakan semua bahan obat yang mereka butuhkan ada di sekitar pekarangan rumah, kebun dan hutan. Ia mengakui terdapat sejumlah bahan obat yang sulit didapatkannya ada di dalam rimba terutama Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).

Wak Yus mencontohkan salah satu tanaman yang sulit didapatkan yang diperlukannya untuk mengobati kanker payudara adalah Keduuk Putih.

Tanaman keduuk putih obat kanker payudara yang sulit didapat. Tanaman ini sedang duliupayakan penanamannya oleh sejumlah pengobat di Kabupaten Lebong. Foto: Firmansyah

“Sulit didapat, ditemukan ada di dalam kawasan inti TNKS, butuh waktu berminggu-minggu berjalan ke dalam hutan untuk mendapatkannya. Itu bila beruntung,” ujarnya.

Wak Yus sempat memperlihatkan tanaman Keduuk Putih yang didapatkannya dari TNKS, yang kemudian dimasukkannya  ke dalam pollybag berukuran sedang.

“Beberapa kali saya coba tanam, namun selalu gagal atau mati. Saya tidak tahu kali ini apakah dapat dibudidayakan. Namun saya akan terus mencoba membudidayakannya karena mendapatkan tanaman obat ini sulit,” ujarnya lirih.

Untuk menyiasati kelangkaan bahan baku obat tumbuhan sejumlah T’wan Anoak Langia melakukan budidaya di pekarangan rumah. Kadang upaya itu berhasil, kadang gagal.

“Saya sering minta tolong orang masuk ke TNKS berhari-hari untuk cari tanaman obat. Kadang berhasil kadang tidak berhasil. Apabila bahan tanaman obat tidak ditemukan maka pengobatan tentu saja menjadi terhambat sampai tanaman ditemukan,” ujarnya.

Selain sulitnya mencari obat hingga masuk dalam kawasan inti TNKS sejumlah T’wan Anoak Langia juga mengalami kesulitan akses masuk ke TNKS karena tidak semua orang boleh masuk kawasan yang dijaga dan dilindungi tersebut.

Sejumlah tanaman obat yang digunakan T’wan Anoak Langia untuk pengobatan. Foto: Firmansyah

Akses pada TNKS

Hampir tiga-perempat wilayah Kabupaten Lebong berada di TNKS sisanya adalah Areal Peruntukkan Lain (APL). Luas Kabupaten Lebong menurut data dari BPS Tahun 2016 kurang lebih 166.527 ha yang terdiri atas 12 Kecamatan. Hanya 27 persen kawasan Kabupaten Lebong dapat dikelola, selebihnya dalah wilayah taman nasional.

“73 persen wilayah Kabupaten Lebong adalah TNKS, masyarakat hanya dapat mengakses 27 persen kawasan APL. Jadi kadang sulit juga bergerak melakukan pembangunan karena semua kawasan kami adalah TNKS. Meski demikian, ini merupakan anugerah luar biasa berupa alam yang lestari, hutan yang lebat, air yang melimpah untuk pertanian,” kata Bupati Lebong, Rosjonsyah.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Fahmi Arisandi mengungkapkan T’wan Anoak Langia merupakan kekayaan yang dimiliki Suku Rejang. Kekayaan itu dalam bentuk perobatan berbasiskan hutan di wilayah TNKS. Ia melihat Pemda Lebong telah memiliki perangkat aturan seperti Perda Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang.

“Perda itu merupakan salah satu jalan keluar bagi orang Rejang untuk dapat mengakses TNKS secara terbatas. Perda itu memberikan jaminan bagi orang Rejang, hanya saja memang Pemda masih memerlukan sejumlah aturan tambahan agar akses terhadap hutan dapat diberikan pada suku Rejang,” jelas Fahmi.

Sementara itu Wakil Ketua DPRD Lebong, Teguh Raharjo Eko Purwoto, membenarkan pihaknya menginisiasi perda tersebut dibantu Yayasan Akar, sebuah LSM yang berfokus pada isu masyarakat adat dan kelestarian hutan. Perda bertujuan memberikan akses masyarakat hukum adat Rejang terhadap wilayah adatnya, termasuk hutan, guna kepentingan kehidupan termasuk pengobatan.

“Perda itu salah satu alas hukum agar masyarakat hukum adat Rejang dapat mengakses hutan dengan cara yang arif, termasuk untuk kepentingan pengobatan. Sekarang kami masih menunggu keputusan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup terhadap hak akses tersebut,” jelas Teguh.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Lebong, Zamhari menjelaskan sejauh ini Pemda Lebong sudah mengusulkan sejumlah kawasan hutan di daerah itu agar dapat diakses oleh masyarakat adat berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang.

“Saat ini usulan sudah disampaikan ke KLHK,” jelasnya.

Di sisi lain, Bupati Lebong mengatakan pemerintahannya ke depan mengagendakan akan membuat organisasi perobatan tradisional suku Rejang. Diharapkan  dengan organisasi ini para pengobat tradisional dapat berbagi pengetahuan, bahkan menyejajarkan diri dengan pengobatan medis.

“Saya kira, upaya sertifikasi tabib harus dilakukan oleh kementerian atau dinas terkait, agar bisa saling sinergi,” jelasnya.

Sementara itu Ketua Pengurus Daerah (PD) AMAN Lebong, Arafik Tresno mengungkapkan pihaknya mendorong sejumlah tindakan agar T’wan Anoak Langia, masyarakat adat, dan hutan dapat saling berinteraksi.

Pertama, mendorong pembuatan sekolah adat khusus pengobatan tradisional yang sedang diinisiasi AMAN selanjutnya berkolaborasi dengan banyak pihak termasuk universitas, Pemda, LIPI, dan lainnya.

“Rencana membuka sekolah adat dan pengobatan tradisional saat ini sedang kita siapkan dengan berkoordinasi pada Pemda,” tegas Arafik.

“Ini mimpi jangka panjangnya. Sekolah adat khusus pengobatan ini menyasar generasi muda,” jelas Arafik.

Kedua, menyediakan lahan khusus untuk konservasi tanaman obat. Melakukan kolaborasi dengan TNKS untuk memberikan akses kepada T’wan Anoak Langia untuk mendapatkan bahan obat di TNKS.

Diskusi kelompok terfokus AMAN Lebong dengan sejumlah T’wan Anoak Langia yang membahas soal identifikasi tanaman obat yang ada. Foto: Firmansyah

Pengobatan tradisional diakui peneliti

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan pengobatan tradisional sebagai  sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan praktek yang berdasarkan pada teori, keyakinan dan pengalaman dalam masyarakat yang mempunyai adat dan budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosa, perbaikan, atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental.

Ariefa. P. Yani, dkk dalam jurnal penelitiannya tahun 2009 berjudul “Jenis-Jenis Penyakit yang Diobati Secara Tradisional pada Suku Rejang, Desa Taba Teret, Bengkulu” yang diterbitkan di jurnal Pros Sem Nas Etnobotani IV tanggal 18 Mei 2009 menuliskan kepiawaian peramu obat tradisional saat ini tidak terlepas dari warisan nenek moyang yang pandai meracik jamu dan obat-obatan tradisional. Beragam jenis tumbuhan, akar-akaran, dan bahan-bahan alamiah lainnya diracik sebagai ramuan jamu untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Namun demikian, menurut Yani dalam jurnalnya, sejauh ini Indonesia baru memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat tradisional dari sekitar 950 spesies yang teridentifikasi berkhasiat sebagai obat.

Sementara itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2015  melaporkan Indonesia memiliki sekitar 7,500 tumbuhan yang dapat digunakan sebagai tanaman obat, dari sekitar 30.000 hingga 50.000 jenis tumbuhan yang ada. Profesor Andria Agusta dari pusat penelitian kimia LIPI menyatakan bahwa selain Cina dan India, saat ini Indonesia termasuk negara Timur yang terkenal sebagai penghasil obat yang dikenal sebagai obat herbal.

Namun demikian, menurut Yani dalam jurnalnya, sejauh ini Indonesia baru memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat tradisional dari sekitar 950 spesies yang teridentifikasi berkhasiat sebagai obat.

Meski pengobatan tradisional menjadi tumpuan bagi masyarakat adat Rejang, namun hingga saat ini belum ada penelitian secara spesifik di Bengkulu terhadap tumbuhan obat tersebut maupun manfaat ramuan obat tradisionalnya.

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

Leave a comment