Jakarta menyusun tujuh solusi untuk menjamin dicapainya udara bersih. Di antaranya yaitu mengupayakan pemasangan lebih banyak panel surya di gedung-gedung pemerintah, mempercepat pembangunan MRT, serta meningkatkan penggunaan energi bersih dalam transportasi.

Oleh Ed Restian

JAKARTA. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan seiring dengan pertumbuhan ekonomi di ibu kota, polusi udara mengalami peningkatan bahkan kandungan partikelnya telah melebihi pedoman mutu udara yang ditetapkan  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun pada tingkat nasional.

“Polusi di Jakarta khususnya partikulat halus (PM2.5) yang membahayakan kesehatan kita telah melebihi pedoman yang ditetapkan oleh WHO dan standar nasional,” kata Anies dalam sambutannya pada Rabu (23/8) pada acara virtual peluncuran kemitraan Udara Bersih DKI Jakarta dengan Bloomberg Philanthropies.

Hingga akhir tahun 2019, berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 berkisar di antara 43 hingga 51ug/m3 di masing-masing sistem pemantau kualitas udara. Angka tersebut melampaui ambang batas nasional yaitu 15 ug/m3 maupun pedoman mutu udara WHO 10 ug/m3.

Anies menambahkan, para ahli memperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit di Jakarta setiap tahunnya atau 11 kasus setiap menitnya yang diakibatkan oleh polusi udara. Biaya kesehatannya diperkirakan menelan hingga Rp 60,8 triliun.

Di dalam White Paper Menuju Udara Bersih Jakarta, hasil kolaborasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, Bloomberg Philanthropies dan Vital Strategies, disebutkan bahwa angka tersebut merupakan jumlah penyakit pada 2010 yang terdiri dari infeksi pernafasan akut (ISPA) sebanyak 2,45 juta kasus, 1,24 juta kasus jantung coroner, 1,21 juta kasus asma, 336.000 kasus pneumonia, 154.000 bronkopneumonia dan penyakit paru obstruktif kronis sebanyak 154.000 kasus.

Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp 38,5 triliun, dan jika memasukkan perhitungan inflasi, biaya tersebut setara dengan Rp 60,8 triliun pada 2020.

Namun demikian, Anies berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan mutu  udara sebenarnya dapat dilakukan secara bersamaan.

“Banyak kota di dunia telah membuktikan bahwa memungkinkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas (udara) secara bersamaan. Pada akhirnya ekonomi dan ekologi berasal dari akar yang sama dan kita harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan perlindungan ekologi dapat dilakukan bersamaan,” katanya.

Jakarta telah memiliki tujuh solusi untuk mencapai udara bersih yang tertuang dalam Instruksi Gubernur No.66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Peta jalan kualitas udara yang tertuang dalam instruksi gubernur tersebut kini dapat dipelajari dan dimonitor melalui Jakarta Clean Air, sebuah platform untuk memberikan informasi tepat waktu dan berbasis bukti kepada masyarakat tentang sumber, dampak, dan solusi polusi udara di ibukota.

Anies mengatakan upaya yang akan dilakukan pemerintah termasuk mengupayakan pemasangan lebih banyak panel surya di gedung-gedung pemerintah, mempercepat pembangunan MRT, serta meningkatkan penggunaan energi bersih dalam transportasi.

Selain itu, pemerintah DKI Jakarta bekerjasama dengan Bloomberg Philanthropies meluncurkan dokumen “Menuju Udara Bersih Jakarta” sebagai bagian dari upaya mewujudkan Jakarta sebagai kota yang aman, produktif dan berkelanjutan di tahun 2030.

Dikatakan, kerjasama tersebut akan fokus pada peningkatan mutu udara di Jakarta selama dua tahun ke depan.

“Dokumen ini merupakan perjanjian formal yang akan mengingatkan kita pada pilar-pilar utama dalam rangka pengendalian polusi udara dalam tiga aspek yaitu sains, kebijakan dan komunikasi,” ujar Anies.

Pendiri Bloomberg Philanthropies dan Bloomberg L.P, Michael R Bloomberg mengatakan kualitas udara berkolerasi dengan pertumbuhan ekonomi.

“Ketika saya menjadi Walikota New York, kami berhasil meningkatkan mutu udara ke tingkat paling baik di dalam setengah abad, melalui pengurangan pemakaian bahan bakar kotor, meningkatkan efisiensi energi, memperluas jangkauan transportasi umum, dan menanam satu juta pohon. Kami melihat bahwa udara yang lebih bersih tidak hanya menjadikan masyarakat lebih sehat tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan,” kata Bloomberg dalam video sambutannya yang diputar pada peluncuran.

Bloomberg menambahkan kemitraannya dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membantu Jakarta melacak polusi udara dan mengembangkan kebijakan untuk menguranginya.

“Dengan menggunakan data, kami akan melihat jejak dan mencari sumber dari polusi udara dan kami berharap dapat membuat sebuah model yang dapat digunakan di kota-kota di Asia dan sekitarnya,” kata Bloomberg.

Jumlah hari tidak sehat di Jakarta meningkat hampir tiga kali lipat

Berdasarkan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta jumlah hari tidak sehat di ibu kota mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat selama lima tahun terakhir.

“Dilihat dari indeks standar kualitas udara lima tahun terakhir di DKI Jakarta, kita dapat mengamati adanya peningkatan jumlah hari tidak sehat dimana pada tahun 2015 terdapat 64 hari berkategori tidak sehat, sedangkan di tahun 2019 jumlah tersebut menjadi 183 hari,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Wardono Warih.

“Ini menjadi perhatian serius untuk segera ditangani,” katanya.

Agar dampak buruk penurunan kualitas udara seperti gangguan pada kesehatan maupun kerusakan lingkungan dapat dicegah, Andono memaparkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengesahkan Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor pada bulan Juli 2020.

Selain itu, Jakarta sedang menyusun revisi terkait Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan revisi ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) dengan memasukan parameter PM2.5 di dalam perhitungan.

Masih berdasarkan White Paper Menuju Udara Bersih Jakarta, terdapat tiga sumber pencemar utama yang mempengaruhi mutu udara Jakarta, yaitu transportasi darat, pembakaran industri, dan pembakaran listrik.

Ahli Epidemiologi Polusi Udara dari Vital Strategies Vivian Lun, mengatakan bahwa Jakarta memiliki beban kesehatan paling tinggi di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia, dimana 3.420 kematian diakibatkan polusi udara pada tahun 2017.

“Di antara seluruh provinsi di Indonesia, penduduk Jakarta kehilangan jumlah tahun hidup tertinggi karena kesehatan yang buruk, disabilitas atau kematian dini,” ujar Vivian.

Menurut Vivian, polusi udara mempengaruhi hampir seluruh organ di tubuh manusia. Partikulat halus di udara berdiameter kurang dari 2,5 mikrometer dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan dapat terbawa ke bagian tubuh lainnya yang menggangu sistem pernapasan dan peredaran darah yang dapat menyebabkan stroke, stunting dan lainnya.

Berdasarkan laporan UNICEF Indonesia dan Vital Strategies, polusi udara di Jakarta adalah faktor risiko terbesar ketiga untuk angka kematian anak, setelah malnutrisi dan sanitasi.

Terdapat bukti kuat bahwa polusi udara menyebabkan penyakit dan kematian anak, melalui peningkatan risiko berat badan lahir yang rendah, infeksi pernapasan akut seperti pneumonia dan penurunan fungsi paru-paru.

Secara nasional, diperkirakan bahwa tingkat polusi udara pada tahun 2017 menyebabkan lebih dari 24.500 bayi terlahir dengan berat badan di bawah 10 persentil untuk bayi dengan usia kehamilan yang sama, padahal masa prenatal merupakan periode penting untuk menentukan stunting pada anak-anak.

“Di Jakarta dan banyak kota, orang dengan berpenghasilan menengah ke bawah menghadapi tantangan kualitas udara yang besar,” ujar Vivian.

Meski demikian, menurut Vivian, Jakarta dapat melakukan langkah untuk mengurangi polusi udara dalam waktu dekat sementara juga mempertahankan kemajuan jangka panjang.

Yang dapat dilakukan Jakarta dalam jangka pendek adalah memperketat kontrol pada sumber polutan utama, meningkatkan pemantauan ambien dan data emisi, meningkatkan aksesibilitas data serta mendorong dan membangun kapasitas.

Sementara untuk jangka panjang, menurut Vivian, Jakarta dapat menerapkan pengurangan emisi lokal lebih lanjut, menerapkan teknologi baru, mengadvokasi kebijakan udara bersih nasional serta membangun dan melaksanakan kerjasama regional untuk pengendalian sumber.

Hasil kajian terhadap PM2.5 di Jakarta

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga telah melakukan kajian terhadap partikel halus (PM2.5) di Jakarta, dengan mengambil sample udara di tiga lokasi yaitu Kebon Jeruk, Gelora Bung Karno dan Lubang Buaya. Penelitian dilakukan pada musim hujan yakni Oktober 2018-Maret 2019, sementara untuk musim kemarau pada Juli hingga September 2019.

Ahli polusi udara dari ITB yang juga terlibat dalam penelitian ini, Puji Lestari, mengatakan  bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran udara di Jakarta khususnya PM2.5 dan melakukan identifikasi asal sumber polutannya.

“(Ditemukan) bahwa pada musim kemarau lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan musim penghujan,” kata Puji.

Berdasarkan penelitian, emisi kendaraan, baik yang menggunakan bensin ataupun solar, merupakan sumber polusi udara terbesar yang berkontribusi sebesar 42 hingga 57 persen pada musim kemarau dan 33 hingga 41 persen di musim hujan.

Sumber lain yang kontribusinya terhadap pencemaran udara di ibu kota cukup besar adalah pembakaran terbuka, kombinasi batu bara, konstruksi, partikel garam laut, tanah dan debu jalan.

“Untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta, saya merekomendasikan untuk mengevaluasi kembali dan juga merevisi ambient air quality standard yang diacu oleh Jakarta saat ini. Mungkin 65 untuk PM2.5 apa masih ok atau tidak, itu mungkin perlu dievaluasi kembali,” kata Puji.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.