Praktik mengelolaan lahan tanpa bakar dianggap sebagai cara paling ampuh untuk menekan angka kebekaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat, apalagi di lahan gambut. Lantas, seberapa besar efektifitasnya?

Oleh Arief Nugroho

Pontianak, KALIMANAN BARAT. Mengolah lahan pertanian di lahan gambut penuh tantangan. Pola pembakaran adalah sarana paling efektif dan murah untuk membersihkan atau membuka lahan, namun berisiko tinggi memicu kebakaran hutan dan lahan. Apalagi kebakaran di lahan gambut jauh lebih sulit dipadamkan daripada di lahan mineral misalnya.

Muhammad Yasin, 42 tahun, petani asal Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Amabwang, Kabupaten Kubu Raya, satu di antara yang perlahan meninggalkan praktik mengolah lahan dengan cara bakar.

Semenjak satu tahun yang lalu, setelah memberoleh pelatihan mengenai Pengolahan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dari Sekolah Lapang yang diinisiasi Badan Restorasi Gambut di tahun 2018, Yasin tidak lagi menggunakan api untuk membersihkan lahan setengah hektar miliknya yang berupa lahan gambut.

Pria yang dulunya merupakan pembakar lahan ini, sudah mulai menerapkan pola PLTB pada lahan pertaniannya itu. Menurutnya, pola PLTB menjadi pilihan tepat saat ini. Mengingat, desa tempatnya bermukim sebagian besar merupakan lahan gambut, yakni sekitar 82% dari total luas lahan Desa Pasak Piang, 13.535 hektar.

“Metode ini yang paling cocok saat ini. Karena lahan di sini gambut, dalamnya antara satu sampai tiga meter,” katanya saat ditemui, 15 Agustus 2020.

Ia menyadari, luasan lahan gambut yang ada di desanya, memiliki risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Contohnya di tahun 2015 dan 2018, kebakaran hutan dan lahan juga menghanguskan lebih dari 200 hektar lahan, termasuk lahan garapan masyarakat.

“Sekarang, kami perlahan mulai meninggalkan pola lama (pola bakar),” kata pria yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani Permata Elok itu.

Dengan bantuan Mansyur, 45 tahun, Yasin kini menanam jahe di lahannya, membuat belasan bedeng yang masing-masing selebar tiga meter dan dengan panjang 45 meter.

Walau murah, mengelola lahan tanpa bakar agak berat dibandingkan dengan pola sebelumnya. Ia harus menyisihkan pepohonan serta membuang tunggul sisa pohon. Setelah itu, lahan disemprot racun rumput agar tanaman kecil lapuk dan hancur.

Selain PLTB, Yasin juga menerapkan penggunaan pupuk organik, pengetahuan yang juga diperolehnya dari pelatihan Sekolah Lapang.

Pupuk organik yang dimaksud adalah formula F1 Embio, pupuk cair hasil fermentasi bahan-bahan organik, seperti olahan nanas, gula pasir, kepala udang/terasi, dedak/vitamin b kompleks, serta kotoran ternak atau pupuk kompos.

Menurutnya, penggunaan pupuk organik Embio dapat menekan biaya operasional karena bahan-bahan pembuatan pupuknya mudah dan banyak ditemukan di desanya.

Dari lahannya, Yasin bisa menghasilkan setengah ton jahe sekali panen, dengan modal sekitar Rp2 juta.

“Hasil yang didapat lumayan, keuntungan hampir Rp10 juta,” paparnya.

Ia mengatakan, dari delapan kelompok tani yang tergabung dalam Gerakan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Elok, belum semua menerapkan pola PLTB.

Mansyur saat menunjukan hasil tanaman jahe yang diolah menggunakan pola pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) dan pupuk organic di atas lahan seluas setengah hektar (15/8/20). Foto: Arief Nugroho

Tekan laju kebakaran hutan dan lahan

Dinamisator Badan Restorasi Gambut (BRG) Kalimantan Barat Hermawansyah mengamini yang dikatakan Yasin. Berbagai upaya untuk menekan angka kebakaran hutan dan lahan terus dilakukan, salah satunya dngan menganjurkan Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) pada pertanian lahan gambut.

Menurutnya, pola PLTB sangat efektif untuk menekan laju kebakaran hutan dan lahan, khususnya di area budidaya masyarakat.

Inisiasi ini muncul setelah melihat permasalahan yang kerap dihadapi petani. Diantaranya tingkat keasaman tinggi. Membakar adalah cara efektif yang dilakukan petani selama ini. Sejak adanya larangan membakar, petani kerap dijadikan kambing hitam sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan.

Padahal, kebakaran hutan dan lahan terjadi justru berada di luar area kelola masyarakat atau di wilayah jauh dari pemukiman, kawasan ‘open access’, dan wilayah konflik, baik antar desa, kawasan masyarakat/desa dengan areal konsesi.

“Ini juga terkonfirmasi saat Karhutla 2019 lalu, mayoritas titik apinya berada di wilayah konsesi,” tegasnya.

Berdasarkan data Manggala Agni Kalimantan Barat, lebih dari 330.497 hektar lahan terbakar di Kalimantan Barat pada periode 2015-2019. Kebakaran terbesar terjadi pada tahun 2019, yakni mencapai 151.919,00 hektar, di mana sekitar 60.487 hektar diantaranya di lahan gambut.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah memberi surat peringatan dan sanksi kepada 157 perusahaan yang menyebabkan kebakaran hutan di lahan gambut. Keputusan ini mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.

Dari 157 perusahaan yang diberi peringatan, sebanyak 109 merupakan perusahaan perkebunan dan 48 perusahaan kehutanan. Adapun sanksi yang diberikan berupa larangan penggunaan lahan yang terbakar selama lima tahun bila terbukti disengaja.

Sejurus dengan tingginya kebakaran hutan dan lahan, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan sejumlah orang dan perusahaan yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan.

Untuk kasus Karhutla yang melibatkan korporasi, setidaknya ada dua perusahaan sawit yang telah divonis bersalah oleh pengadilan. Diantaranya, PT Prana Indah Gemilang (PIG), yang dijatuhi hukuman denda total Rp238 miliar oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. PT. Putra Sari Lestari (PSL) yang dijatuhi hukuman denda Rp 1 Milyar oleh Pengadilan Negeri Ketapang.

Sedangkan untuk perorangan, Polda Kalbar telah menetapkan sebanyak 66 orang petani sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Enam diantaranya dinyatakan vonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sintang pada Maret 2019. Sedangkan pelaku lainnya divonis bersalah.

Kepala Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Indonesia (Manggala Agni) Kalimantan Barat Sahat Irawan Manik mengakui saat ini pihaknya telah mengembangkan metode PLTB yang dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik yang dibuat dari limbah tebasan lahan yang juga mulai diterapkan pada petani dampingannya.

Untuk membuat pupuk organik ini, limbah tebasan berupa kayu dan semak itu dikumpulkan dan selanjutnya dibakar dalam tungku yang dirancang khusus. Dari proses pembakaran limbah itu dihasilkan, uap cair atau cuka kayu, yang dapat digunakan sebagai pupuk.

Setidaknya ada enam desa dampingan yang tersebar di wilayah Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Mempawah, yakni Desa Rasau Jaya 1, Rasau Jaya 2, Rasau Jaya 3, Jungkat, Desa Peniti Dalam II dan Punggur.

“Mereka dulunya rata-rata pelaku pembakar lahan. Setelah kami dampingi dan  diedukasi, hasilnya hampir 100 persen wilayah mereka terbebas dari kebakaran hutan dan lahan,” bebernya.

Sebelum diterapkan pada masyarakat, penerapan cuka kayu ini sudah dilakukan uji coba pada sejumlah tanaman baik palawija maupun tanaman pangan lainnya. Bahkan, ia melakukan perbandingan hasil, antara tanaman yang menggunakan pupuk kimia dengan pupuk cuka kayu ini.

“Kami sudah lakukan uji coba, dan hasilnya mengalami peningkatan lebih dari 30 persen untuk penggunaan cuka kayu. Saya yakin, dengan cuka kayu, otomatis masyarakat tidak lagi membakar lahan lahan,” kata Sahat.

Anggota Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Indonesia (Manggala Agni) Kalimantan Barat menunjukan cuka kayu hasil dari proses pembakaran limbah tebasan di tungku uap cair. Cuka kayu yang dihasilkan digunakan untuk pestisida sekaligus penyubur tanaman (19/8/20). Foto: Arief Nugroho

Kendala petani tanpa bakar

Rantono, petani asal Rasau Jaya, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, yang menanami lahannya dengan melon dan jagung, dsudah dua tahunn terakhir ini tidak lagi membakar lahannya.

Petani 42 tahun yang karib disapa Tono ini memanfaatkan limbah hasil tebasan (pasca pembersihan lahan) sebagai bahan pembuatan pupuk organik.

“Cuka kayu itu yang kemudian saya gunakan sebagai pupuk. Sulingan pertama berfungsi sebagai pestisida, sedangkan sulingan ke dua, untuk mengawetkan buah, agar tak cepat busuk,” kata pria yang karib disapa Tono.

Limbah rumah tangga, kotoran ternak, dan abu sisa pembakaran tandan sawit juga dimanfaatkannya sebagai pupuk dasar.

Selain menghindari pembakaran lahan, keuntungan dari mengubah limbah tebasan menjadi pupuk organik adalah dapat menekan penggunaan pupuk kimia antara 80 sampai 100 persen.

“Selain untung, hasilnya (tanaman) pun berbeda,” katanya.

 Diakui Tono, pengelolaan pertanian di lahan gambut agak rumit. Perlu perencanaan, hingga ketelitian. Penerapan teknologi dan pengelolaannya pun harus tepat.

Pria yang juga guru pertanian di SMK Negeri I Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya ini mengaku, ada perlakukan khusus dalam mengolah lahan gambut yang tentunya berbeda dengan tanah mineral.

“Pupuk kimia tak bisa digunakan terus menerus, karena dapat merusak struktur tanah. Tanah jadi keras (mengkristal), kandungan unsur biologis dalam tanah juga berkurang. Daya tahan tanaman terhadap hama penyakit juga berkurang,” tuturnya.

Untuk itu, penggunaan cuka kayu menjadi pilihan. Hanya saja, untuk menghasilkan cuka kayu, terlebih dahulu harus membuat tungku pembakaran yang terbuat dari drum yang didesain sedemikian rupa.

“Kendala yang dihadapi teman-teman petani ini mereka tidak semua memiliki tungku uap cair. Karena untuk membuat tungku membutuhkan biaya, Rp1,5 juta sampai Rp2 juta,” katanya.

Investasi dan kompleksitas karhutla

Namun ternyata, mengolah lahan gambut tak semudah yang dibayangkan. Untuk meningkatkan kesuburan lahan gambut perlu dilakukan tidak saja tindakan yang bertahap tetapi juga memerlukan investasi yang besar, terutama untuk pengelolaan air.

“Artinya, perlu membangun infrastruktur air untuk menjaga tidak kebanjiran pada musim hujan, dan tidak kekeringan (sehingga mudah terbakar) pada musim kemarau,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak Prof. Dr. Ir. Gusti Zakaria Anshari, MES.

Walau begitu, pola PLTB dan pertanian organik belum bisa secara optimal menekan laju kebakaran hutan dan lahan, karena persoalan Karhutla ini sangat kompleks, dan juga lebih banyak terkait isu politik hingga ekonomi.

“Untuk menekan laju kebakaran hutan dan lahan, Pemerintah perlu memastikan tata ruang gambut diterapkan. Artinya, ada pembagian yang jelas antara lahan gambut untuk budidaya dan lahan gambut fungsi lindung,” ujar Zakaria.

Dijelaskannya, pengolahan dan penanaman tanaman budidaya harusnya pada lahan gambut fungsi budidaya, dan tidak ada penanaman atau perkebunan pada lahan gambut fungsi lindung. Jika ada perambahan lahan gambut fungsi lindung, penegakan hukum wajib dilaksanakan.

“Selain tata ruang, sebaiknya ada insentif bagi kelompok tani yang tidak membakar, atau pemerintah yang berhasil mengendalikan kebakaran gambut diberikan insentif untuk meningkatkan kesejahteraan umum,” kata Zakaria.

Sebagai petani, Rantono berharap pola PLTB dan pertaniaan organic dapat menghasilkan produk yang sehat dikonsumsi, pertanian modern, namun memiliki konsep “back to nature’, agar ekosistem tetap seimbang dan pertanian yang ramah lingkungan. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.