Desa Jatimulyo sempat jadi pusat perburuan burung. Peraturan Desa No.8/2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup perlahan merubah perilaku masyarakat. Program seperti adopsi sarang burung pun menjadi wadah edukasi dan pendapatan alternatif.

Oleh Bambang Muryanto

Kafe “Omah Naungan” di Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, tidak hanya menyuguhkan kenikmatan kopi racikan lokal dan hawa sejuk, namun pemandangan indah beragam burung yang hidup di alam bebas.

Ditemani secangkir kopi robusta, saya memerhatikan burung Cabai Bunga Api (Dicaeum trigonostigma) mematuki sesisir pisang yang digantungkan pengelola kafe, Kelik Suparno (38), pada batang pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya.

Sedangkan di batang pohon beringin yang tumbuh di dekat kafe, saya melihat seekor bajing sedang bermain-main.

Pemandangan seperti ini tidak akan ditemui jika kita mencecap kopi di kafe-kafe yang tumbuh subur di Kota Yogyakarta.

Saat berjalan-jalan, Kelik menunjukkan sarang burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) yang menggantung pada daun pohon waru lebar di samping rumahnya. Berdiri di bawah sarang sambil memegang kamera, saya menyaksikan pasangan burung ini datang dan pergi menjenguk sarangnya.

Desa Jatimulyo adalah “surga” kehidupan burung liar. Kita dengan mudah bisa menyaksikan kehidupan aneka jenis burung yang jarang kita jumpai. Di hari lainnya, ketika “blusukan” di hutan perkebunan milik warga, saya menyaksikan burung Pelatuk Besi sedang mematuk-matuk batang sebuah pohon.

Setelah sempat jadi pusat perburuan burung, Jatimulyo kini telah menjelma menjadi desa konservasi burung. Berbekal Peraturan Desa No.8/2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup, Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi menjadi ujung tombak upaya konservasi yang memiliki beberapa program ini.

“Sejak tahun 2016 kami mempunyai program adopsi sarang burung,” ujar Kelik Suparno yang juga Ketua Divisi Konservasi, KTH Wanapaksi, Selasa (1/9).Seekor burung Ccabai Bunga Api (Dicaeum trigonostigma) sedang makan buah pisang yang disediakan Kelik Suparno di depan kedai kopi “Omah Naungan” di Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo DIY Yogyakarta. Foto: Bambang Muryanto

Adopsi sarang burung adalah program yang bertujuan meningkatkan populasi burung di Desa Jatimulyo yang sempat turun tajam karena diburu, sambil tetap memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat.

Ada enam jenis burung sasaran adopsi, salah satunya Sulingan (Cyornis banyumas) yang jika diadopsi maka sarangnya dijaga hingga anakannya bisa terbang dan keluar dari sarang.

Setelah ada warga yang menemukan sarang burung ia dapat  melaporkannnya ke KTH Wanapaksi. Tim KTH Wanapaksi kemudian memastikan dahulu di lahan siapa sarang itu dan lokasi administratifnya. Setelah itu penemuan sarang ini diumumkan melalui media sosial untuk mencari orang yang mau mengadopsinya.

“Kalau tidak ada yang mengadopsi, Kopi Sulingan yang mengadopsinya,” ujar Kelik.

Pada awalnya dana adopsi ditetapkan Rp 250.000 hingga Rp 350.000. Tetapi karena dirasa kurang cukup, naik menjadi Rp 500.000.

Dana ini diberikan kepada penemu sarang sebesar Rp 75.000, pemilik lahan Rp 100.000, dan untuk kas RT dimana lahan tanah berada sebesar Rp 50.000. Sisanya Rp 225.000 digunakan ongkos membuat papan pengumuman adopsi sarang dan penjagaan sarang.

Di lahan milik warga, saya menemukan bekas papan penanda adopsi sarang burung Kehicap Ranting (Hypothymis azurea) oleh Natalia Wibowo dari Yogyakarta, Februari 2020. Sarang berada di lahan milik Sukinah, Gunung Kelir RT25/06 Jatimulyo.

Pada bagian bawah papan tertulis, ”Memindahkan/mengambil/merusak sarang ini dan atau burung maupun telur di dalamnya merupakan pelanggaran hukum.”Papan penunjuk adopsi sarang burung oleh Natalia Wibowo pada buan Februari, 2020 di hutan perkebunan di Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, DIY Yogyakarta. Foto: Bambang Muryanto

Desi Ayu Triana seorang pengamat burung dari Jakarta pernah mengadopsi sarang burung Sulingan di Jatimulyo setelah berkunjung ke sana Oktober 2018 silam. Adopsi sarang diatasnamakan bayinya, Kenkyona Kaila Galdes.

“Saya ingin anak saya punya cerita pernah melakukan konservasi burung walaupun tidak langsung,” ujarnya, Minggu (6/9).

Sebagai pengadopsi, Desi selalu mendapat informasi berkala hingga dua anakan sulingan itu meninggalkan sarang, pada 27 Mei 2019. Salah satu anakan yang betina sempat diberi cincin oleh Kelik pada kakinya untuk kepentingan monitoring. Ini adalah pemberian cincin pertama kepada anakan burung dalam program adopsi sarang burung.

Paridi, warga Jatimulyo adalah orang yang paling sering menemukan sarang. Ia mengidentifikasi sarang dari cara burung berkicau, biasanya burung selalu berkicau dengan menghadap sarangnya.

“Saya menemukan sarang untuk adopsi sekitar tujuh kali,” ujarnya seraya tersenyum.

Beruntung jika kita bisa bertemu Paridi karena punya segudang cerita soal kehidupan burung seperti burung Kedasih yang suka mengambil alih sarang burung lainnya.

Mantan pemburu burung itu mengatakan pendapatannya memang turun jika dibandingkan dengan dulu saat masih berburu burung.

“Tetapi saya senang karena bisa ikut melestarikan burung,” tambahnya.

Kelik mengatakan hingga kini sudah ada 25 sarang yang diadopsi dan berhasil melepaskan 43 anakan ke alam bebas. Sedangkan pengadopsinya ada 19 orang.

Di tengah kesibukannya memberikan kuliah, Presiden Indonesia Ornithologist Union (IdOU), Ign. Pramana Yuda mengatakan Desa Jatimulyo menjadi contoh menarik cara pendekatan lokal dalam melakukan konservasi.

Upaya masyarakat di Jatimulyo sangat penting karena kawasan alami tempat hidup burung berkicau di Yogyakarta juga makin menyusut.

“Adopsi sarang burung adalah praktik inovasi baru yang menarik,” ujar dosen Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) itu.

Dengan melindungi burung, Desa Jatimulyo mendapatkan banyak keuntungan. Setelah menabalkan diri sebagai desa ramah burung, Jatimulyo menjadi tuan rumah Pertemuan Pengamat Burung Indonesia VIII pada 2018. Sebelumnya, desa yang menjadi habitat hidup sekitar 30 jenis capung itu, menurut data yang diperoleh dari Indonesia Dragonfly Association yang berbasis di Yogyakarta, juga menjadi lokasi Jambore Capung 2017.

Banyak wisatawan minat khusus, terutama para pengamat burung datang ke Desa Jatimuyo sehingga membuka pekerjaan baru bagi warga seperti menjadi guide, penjual makanan, dan ada pendapatan dari penjualan kopi, dan madu.

Bahkan mereka juga belajar soal fotografi burung.

Mantan Kepala Desa Jatimulyo, Anom Sucondro tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Selain desanya lestari dan makin dikenal, warganya juga mendapat ilmu-ilmu baru.

“Itu yang paling penting karena dengan ilmu itu mereka bisa berbuat sesuatu,” ujarnya.

Baca juga: Kopi Sulingan: usaha konservasi burung di Jatimulyo yang membuahkan hasil

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.